Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) menjadi salah satu komoditas perkebunan yang memberikan kontribusi perekonomian terbesar di Indonesia. Hampir seluruh produknya diolah dan digunakan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari. Nilai jualnya pun tak tanggung-tanggung bahkan menjadi sumber devisa bagi negara berpenduduk lebih dari 260 juta orang ini. Oleh sebab itu, tak heran jika perkebunan kelapa sawit maupun penanaman kelapa sawit yang digerakkan oleh petani menjadi jenis industri yang tak pernah mati. Diketahui bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan tulang punggung hampir 16 juta penduduk Indonesia, baik yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian, realitanya di lapangan budidaya kelapa sawit bisa dikatakan gampang-gampang susah. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi hingga ditemui beberapa permasalahan yang bisa menurunkan produktivitas kelapa sawit.
Mengingat besarnya peran kelapa sawit terhadap perekonomian suatu negara, maka bahan utama alias bibit kelapa sawit perlu mendapat perhatian tersendiri demi keberlangsungan industri perkebunan kelapa sawit yang berkualitas. Kebutuhan bibit akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya program revitalisasi kelapa sawit. Akan tetapi, dalam kenyataannya proses pembibitan kelapa sawit sering dijumpai beberapa kendala, salah satunya munculnya chimera. Awalnya chimera sering dikategorikan sebagai suatu jenis penyakit yang ditemui pada bibit kelapa sawit. Namun, ternyata setelah dikaji lebih lanjut chimera ini merupakan kelainan genetik. Ini merupakan bentuk kelainan atau abnormalitas pada tanaman kelapa sawit. Gejala yang mudah ditemui dan dikenali dengan mata telanjang adalah daun dan pelepah berwarna kuning. Sumber lain menyebutkan bahwa fenotip chimera yang paling umum dijumpai yaitu adanya jaringan daun yang berwarna putih di antara jaringan hijau. Chimera berkembang sebagai akibat dari mutasi yang mungkin terjadi secara spontan maupun melalui induksi iradiasi dan perlakuan mutagen kimia. Apabila sel yang bermutasi terletak dekat dengan bagian apikal (ujung yang aktif membelah) maka sel lain yang dihasilkan dari proses pembelahannya juga akan bermutasi. Hasilnya ialah sel-sel dari genotip yang berbeda akan tumbuh berdekatan pada jaringan tanaman, inilah yang dinamakan dengan chimera. Mutasi ini juga mempengaruhi proses pembentukan klorofil di dalam kloroplas yang mana beberapa sel di bagian tertentu gagal membentuk klorofil sementara bagian lainnya mampu berfungsi sebagaimana mestinya.

Chimera bisa dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu periklinal, meriklinal, dan sektorial. Chimera periklinal merupakan kategori yang paling banyak ditemukan. Tipe ini ditandai dengan mutasi yang terjadi pada ujung apikal tanaman. Akibatnya, pertumbuhan yang terbentuk ialah hasil dari pembelahan sel-sel sebelumnya dan terlihat seperti varietas baru. Chimera meriklinal merupakan jenis sebagai dampak dari mutasi sel namun terletak tidak dekat dengan ujung apikal. Oleh sebab itu, fenotipe yang tampak hanya sebagian sementara sel lain berkembang secara normal. Chimera sektorial dihasilkan dari mutasi yang mempengaruhi bagian meristem apikal, yang mana akan mengubah semua lapisan sel. Chimera pada kelapa sawit dapat dikatakan sebagai jenis chimera periklinal, meriklinal maupun sektorial, karena ada yang hanya ditemui di beberapa spot saja atau menjalar di seluruh jaringan daun kelapa sawit.
Gejala yang sering ditemui di lapangan ialah daun yang berbeda warna yaitu kuning atau agak putih. Orang awam sering menyebutnya dengan penyakit ‘daun belang’. Ditandai dengan seluruh atau sebagian dari pelepah pucat merata atau kuning terang yang sangat kontras dengan jaringan daun normal yang berwarna hijau gelap. Secara kasat mata terlihat dengan jelas batas antara jaringan daun normal dan abnormal. Jaringan abnormal ini dapat ditemui pada bagian helaian daun, lidi, dan rachis dengan sebaran yang relatif beragam, bergantung dari lokasi gen yang bermutasi pada bagian meristem. Pada bibit, chimera dicirikan dengan daun bergaris kuning, bintik hijau kuning, dan tepi daun berwarna kuning.
Berdasarkan tingkat keparahannya, chimera dapat dibedakan menjadi tingkat ringan, sedang, dan berat. Untuk tingkat ringan dan sedang, seiring berjalannya waktu dapat kembali menjadi tanaman normal, sementara untuk tingkat berat lebih baik dibongkar dan diganti dengan tanaman baru. Chimera pada bibit dapat menurunkan pertumbuhan dan perkembangan, hingga menurunkan kualitas bibit yang dihasilkan. Bibit akan menjadi kerdil, karena daun tidak mampu melakukan fotosintesis secara optimal, sehingga energi yang dihasilkan rendah. Lemahnya proses fotosintesis tanaman terjadi sebagai akibat dari tidak optimalnya kadar klorofil pada jaringan tanaman. Padahal, klorofil merupakan pigmen utama daun yang sangat penting untuk menangkap energi dari sinar matahari yang berperan dalam proses penguraian air dan karbondioksida menjadi senyawa glukosa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.
Tidak hanya menghambat pertumbuhan, chimera ini juga menurunkan produktivitas tanaman kelapa sawit. Buah yang dihasilkan pada tanaman yang terdampak chimera terlihat lebih kecil dari tanaman normal. Akibatnya rendemen yang dihasilkan sangat rendah. Lebih parahnya, beberapa tanaman yang menunjukkan gejala chimera tidak menghasilkan buah sama sekali. Kondisi ini tentu sangat merugikan petani maupun dalam sektor perkebunan kelapa sawit. Untuk itu, perlu perhatian lebih sejak pembibitan kelapa sawit meskipun tingkat kejadian mutasi secara alami ini masih tergolong rendah. Pencegahan agar terhindar dari tanaman kelapa sawit bergejala chimera adalah petani harus jeli dalam memilih bibit kelapa sawit yang akan ditanam, karena beberapa kasus chimera bisa diketahui sejak dalam pembibitan. Sementara dalam sektor perkebunan perlu lebih jeli dalam membawa bibit yang akan ditanam di lapangan agar bibit yang terdampak chimera tidak terbawa. Selain itu, memastikan proses pembibitan berjalan dengan baik dan teliti sehingga tidak ada kemungkinan paparan radiasi berbahaya maupun induksi mutagen kimia yang dapat menyebabkan mutasi.