Dua orang santri putri terlibat percakapan mendalam di penjemuran pakaian yang terletak di atap dak beton gedung asrama santri putri. Pecakapan lantas menjurus ke pertanyaan, “Mengapa santri putri selalu tidak mendapat tempat, baik sebagai pemenang maupun juri dalam kompetisi tahunan yang diadakan oleh internal pesantren? Jika memang santri putri kalah kompeten dibanding santri putra, lantas mengapa ada banyak santri putri yang justru berprestasi di berbagai kejuaraan yang diadakan di luar pesantren?” Dugaan pun muncul sebagai jawaban, barangkali karena pesantren masih kuat dengan kultur patriarkis. Kultur ini disesalkan oleh keduanya karena terus direproduksi dengan berpegangan pada tafsir atas satu-dua ayat Al-Quran terkait posisi dan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Tak lama kemudian, percakapan berpindah ke ruang kelas. Di ruang ini, percakapan melibatkan lebih banyak orang, antara seorang Kiai dengan para santrinya, putra sekaligus santri putri. Mereka terlihat duduk khusyuk membahas ayat-ayat Al-Quran yang acapkali ditafsirkan sebagai ayat yang menguatkan superioritas laki-laki atas perempuan. Kiai yang dimaksud adalah KH. Husein Muhammad, atau yang akrab disapa Buya Husein. Sementara kelas yang dimaksud adalah salah satu kelas di Ma’had Aly, satuan pendidikan tinggi di lingkungan pesantren yang setara dengan universitas. Buya Husein dikenal akan kegigihannya mengkampanyekan isu kesetaraan gender, terutama dalam pandangan Islam. Karenanya ia sering dijuluki ‘Kiai Feminis’. Di kelas tersebut, dengan mengutip ayat ke-13 surah al-Hujurat dalam Al-Quran, Buya Husein menekankan bahwa manusia itu setara di mata Allah, tanpa peduli pada jenis kelamin. Setara dalam hal hak-hak kemanusiaannya. Kalau toh ada yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, karena semua laki-laki diasumsikan lebih unggul dibanding perempuan, dengan berdalil pada potongan awal ayat ke-34 surah an-Nisa dalam Al-Quran, maka Buya Husein menyebut pemahaman demikian amatlah bias dan fragmentaris karena telah mengabaikan kalimat-kalimat selanjutnya dalam ayat yang sama yang mengatakan bahwa hanya sebagian saja laki-laki yang unggul atas perempuan, atau dengan kata lain ada sebagian perempuan yang lebih unggul dibanding laki-laki. Keunggulan dan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, atau sebaliknya, semestinya lebih ditentukan oleh kapasitasnya, bukan jenis kelamin. Salah satu kapasitas yang utama adalah daya akal pikiran. Akal pikiran perempuan akan terasah sama tajamnya dengan laki-laki jika perempuan diberi hak dan akses yang setara dengan laki-laki atas pendidikan. “Selama ini kita telah menormalisasi bahwa kesalahan perempuan terletak pada ketidakmampuan akalnya untuk memikiran suatu hal, yang kemudian menyebabkan perempuan disubordinasi di ketiak laki-laki. Tetapi sesungguhnya, kesalahan terletak pada sikap kita yang tidak adil pada perempuan tertutama dalam membuka akses ke pendidikan atas mereka.” tegas Buya Husein dalam pembahasaan ulang. Normalisasi ini kemudian berlarut sekalipun pendidikan telah terbuka bagi perempuan. Karena berlarut, pada gilirannya nyaris semua orang pun terpatri pada pola pikir kolektif tentang laki-laki berhak menjadi pemimpin karena dipandang unggul atas perempuan, karena laki-laki diasumsikan lebih cerdas. Inilah yang turut digelisahkan oleh dua santri putri saat bercakap di penjemuran pakaian sebelumnya.
Dua percakapan di atas adalah dua adegan di film dokumenter Pesantren (2022). Shalahuddin Siregar yang menggarap film ini seakan mendorong kita untuk lebih peka dan kritis dalam memahami serta menghargai berbagai isu keberagaman dalam masyarakat melalui potret keseharian para santri di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Ada banyak isu yang eksplorasi oleh film ini. Mulai dari kemandirian dan kebersamaan santri di tengah pluralitas latar belajang sosial-ekonomi; lalu tentang bagaimana Islam memandang dan memuliakan kedudukan Anjing yang dipandang najis; tentang musik dan seni dalam Islam; tentang pengertian ulama yang perlu diperluas sebagai orang yang alim tidak hanya di bidang agama saja, melainkan diberbagai bidang dan keahlian lainnya; tentang pengabdian santri kepada masyarakat; hingga tentang trauma dan memori atas konflik Partai Komunis Islam (PKI) dengan kalangan Islam. Meski terdapat banyak isu, yang dominan terasa dalam film Pesantren adalah isu keberagaman dan kesetaraan gender dalam sudut pandang Islam. Melalui narasi yang lugas, pengadeganan yang natural, dan rangkaian gambar yang sinematik, film berdurasi 1 jam 40 menit ini menjelaskan bahwa pemahaman yang baik atas keberagaman gender akan menyarankan pada sikap mental dan perilaku yang menjunjung kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Dalam visi pemahaman ini, film Pesantren dinilai berhasil mengajak penonton, yakni saya, untuk memahami prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam sudut pandang Islam.
Di adegan lain dalam film ini, perihal kesetaraan dan keadilan gender kembali diperlihatkan sebagai penguat isu dominan. Yakni adegan saat Nyai Hj. Masriyah Amva tampil begitu karismatik memberi pengarahan di hadapan santri putra dan putri sekaligus. Bagi saya, adegan ini memiliki peran penting dalam menegaskan sekaligus mempromosikan isu kesetaraan dan keadilan gender. Bahwa perempuan adalah manusia yang setara dengan manusia lainnya, dan dengan kompetensi yang dimiliknya, perempuan berhak mengisi posisi-posisi penting dalam institusi sosial-agama, bahkan institusi formal sekalipun.
Dalam pengalaman saya yang sempat nyantri di dua pesantren di Yogyakarta dan Sumatra Selatan, momen seperti yang tergambar dalam adegan Nyai Amva tadi, biasanya diambil alih oleh seorang Kiai. Jika seorang Nyai mesti memberikan pengarahan, maka audiensnya menjadi terbatas pada santri putri semata, dan umumnya pengarahan berlangsung di asrama putri. Lain halnya jika pengarahan diberikan kepada santri putra dan putri sekaligus, maka peran pengarah, dalam pengalaman nyantri saya, umumnya akan dilimpahkan kepada Kiai. Adegan Nyai Amva tadi, kiranya suatu hal yang jarang ditemui. Menjadi semakin jarang bila turut melibatkan pengetahuan bahwa Nyai Amva adalah pimpinan Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy. Suatu hal yang tidak terbayang dalam benak saya sebelumnya, bahwa pesantren dipimpin oleh seorang perempuan. Suatu hal yang mesti diapresiasi, alih-alih distereotipisasi. Di bagain lain, bila kita menghubungkannya pada adegan Buya Husein sebelumnya, maka posisi Nyai Amva memeperoleh pembenaran logisnya. Bahwa secara faktual memang ada sebagian perempuan yang unggul atas sebagian laki-laki. Termasuk faktual dalam lingkungan pesantren yang sering berkesan begitu maskulin.
Film Pesantren seolah memberi imaji alternatif tentang wacana dan praktik kesetaraan sekaligus keadalian gender, paling tidak di lingkungan pesantren. Sekaligus memberikan pemahaman bahwa pada prinsipnya Islam sangat menghargai perempuan, melalui ayat-ayat yang mengajarkan kesetaraan dan keadilan gender. Hanya saja tafsir umat yang bias yang sering kali memberikan batasan dan belokan saat memposisikan perempuan.