“Orang itu terbahak. ”Itu di dunia ilmiah, Nak! Di sini, semua orang nelayan dan pedagang. Kecuali kau rajin belajar, dan kelak kuliah. Kau akan pelajari di sana. Bukan sekarang.” Ia meludah. “Tapi lihat, baju sekolah ade pun telah jadi layar.”
Kutipan di atas merupakan dialog antara dua tokoh dalam cerpen Ikan-Ikan Buta Rumphius, karya Raudal Tanjung Banua, yang dimuat di koran Kompas, pada 16 April 2023, dialog seorang petugas pelabuhan kepada seorang anak bernama Patrik. Ikan-Ikan Buta Rumphius menceritakan Patrik dan ayahnya, Muchsin, seorang nelayan yang pergi melaut. Saat itu, mereka mendapatkan seekor hiu dengan mata yang memutih dan dianggap sebagai ikan Rumphius. Padahal, pada kenyataannya, ikan dengan mata yang memutih adalah tanda keracunan.
Melalui Ikan-Ikan Buta Rumphius, Raudal seakan hendak menyuarakan berbagai kritik sosial tentang kondisi masyarakat Ambon. Kritik pertama adalah mengenai kepercayaan masyarakat tentang larangan bersiul saat melaut karena dianggap mengundang badai. Hal ini dapat dilihat dari diksi pantangan yang digunakan dalam kutipan, “Sambil berdayung, si Ayah bersiul. Si Anak ingat pantangan: bersiul di laut bisa panggil badai. Tapi, ayahnya acuh tak acuh saja.” Kutipan tersebut seakan menunjukkan kondisi masyarakat Ambon yang masih percaya dengan hal-hal tabu. Tabu yang dikonstruksi secara sosial merupakan alat kontrol masyarakat yang dapat merepresi seseorang. Melalui tabu bersiul saat melaut, masyarakat di sana seakan menjadi tidak bebas untuk melakukan berbagai tindakan.
Tabu lainnya yang terdapat dalam cerpen Raudal adalah yang terkait dengan ikan Rumphius. Rumphius pada awalnya nama seorang nenek moyang masyarakat setempat. Ketika nama Rumphius tidak disebutkan dalam doa, maka alam tidak akan mendukung seorang saat melaut, sehingga bencana pun akan datang menghampiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut, “Katanya, lama setelah laki-laki itu meninggal, kampung dilanda paceklik. Nelayan pulang melaut dengan tangan hampa. Mereka panjatkan doa. Sebut nama-nama. Roh Kudus. Maria. Sulaiman. Khidir. Yunus. Tapi tak kunjung terkabul. Sampai Bapak Kepala Soa ingat nama yang terlupa: Rumphius. Tiga hari kemudian, ikan-ikan terdampar di pantai. Seluruh kampung berpesta.”
Secara faktual, Rumphius adalah seorang ilmuwan buta perintis botani tropis dalam sejarah Ambon. Rumphius menjadi buta saat usia 42 tahun, pada tahun 1670, akibat penyakit glaukoma yang menyerang matanya. Hal inilah yang melatarbelakangi penamaan ikan-ikan Rumphius dalam cerpen Raudal. Rumphius kemudian dipersepsi masyarakat setempat dan dikutip dalam cerpen sebagai tabu tentang ikan-ikan yang dihadiahkan Rumphius sebagai keberkahan. Suatu yang kontradiktif, kiranya, bahwa pada kenyataannya, ikan dengan mata yang memutih bukanlah ikan yang disebut sebagai ikan Rumphius, melainkan ikan yang tidak lagi segar atau bahkan ikan yang mengandung racun akibat kontaminasi air laut oleh zat berbahaya.
Kedua, kritik sosial lainnya adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan, “Si Anak pangling. Sedari tadi ia berpikir hiu itu hadiah Rumphius untuk seorang ayah yang tak mau menyerah. Apakah akan ia biarkan dirampas, sekalipun oleh negara? Diksi sekalipun oleh negara, kiranya, menunjukkan skeptisme tokoh Patrik yang tidak ikhlas jika ikan yang ia dapatkan bersama ayahnya harus diberikan ke negara.
Ketiga, kritik lainnya adalah sindiran kedua petugas pelabuhan kepada Patrik yang ditandai tindakan tercela, yaitu meludah dan menghina anak kecil tersebut. Kutipan berikut menjadi penandanya, “Orang itu terbahak. “Itu di dunia ilmiah, Nak! Di sini, semua orang nelayan dan pedagang. Kecuali kau rajin belajar, dan kelah kuliah. Kau akan pelajari di sana. Bukan sekarang. “Ia meludah. “Tapi lihat, baju sekolah ade pun telah jadi layar”. Melalui diksi meludah, penggambaran hinaan dalam narasi tersebut sangatlah implisit. Hal ini dibaca sebagai sindiran keras atas tindakan tokoh ayah, Muhsin, yang memakan mentah daging ikan hiu, untuk membuktikan bahwa ikan tangkapannya adalah ikan hadiah dari Rumphius, bukan ikan yang beracun sebagaimana tudingan masyarakat. Selain itu, diksi terbahak pun semakin menguatkan hinaan yang dimaksud, sekaligus menguatkan indikasi tentang logika yang belum matang yang digambarkan melalui oleh tokoh Patrik.
Tidak dapat dimungkiri bahwa kepercayaan terhadap tabu di Indonesia adalah hal yang diwariskan secara turun-temurun dan dilakukan oleh kebanyakan masyarakat. Namun, tabu tersebut semestinya dapat dikaji ulang, baik tentang kebaikan atau kebermanfaatannya, maupun sebaliknya. Dalam hal ini, masyarakat membutuhkan referensi lain sebagai pembanding dari tabu, memasang sikap keragu-raguan agar tabu tidak serta merta dipercaya dan lantas ditelan mentah. Hal ini kemudian ditampilkan kembali oleh Raudal dalam cerpennya melalui tokoh petugas pelabuhan yang mengungkapkan, “Kecuali kau rajin belajar dan kelak kuliah. Kau akan pelajari di sana.” Dialog ini seakan menunjukkan tentang pentingnya pendidikan sekalipun disampaikan secara sarkas.
Pendidikan yang inklusif, terbuka, dan kritis diperlukan untuk mengatasi berbagai pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan tabu. Pendidikan juga akan memungkinkan masyarakat memperoleh pemahaman yang lebih luas, mempertanyakan norma-norma yang ada, mengembangkan kesadaran sosial, dan membangun pemikiran kritis yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosialnya.
Di sini, sastra dapat menjadi cermin yang efektif atas realitas sosial, politik, dan budaya dalam masyarakat. Karya sastra sering kali menggambarkan pengalaman manusia, masalah sosial, dan ketimpangan yang ada dalam masyarakat. Karya sastra memberikan gambaran yang mendalam tentang dinamika sosial dan memungkinkan pembaca untuk mengalami realitas orang lain dengan perspektif yang sering kali berbeda. Kritik sosial akan membantu pembacaan dan analisis pesan-pesan sosial yang disampaikan oleh karya sastra, sekaligus membantu mengungkapkan isu-isu yang terkandung di dalamnya, dan juga memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang konteks sosial di mana karya sastra tersebut muncul.
Selain itu, sastra dan kritik sosial juga dapat berperan dalam menyadarkan masyarakat akan isu-isu sosial yang terabaikan atau diabaikan. Karya sastra yang kuat dapat memunculkan empati dan rasa simpati terhadap pengalaman individu dan kelompok yang mungkin terpinggirkan dalam masyarakat. Karya sastra dapat memicu refleksi dan solidaritas kepada mereka yang mengalami ketidakadilan atau penderitaan. Kritik sosial membantu memperjelas isu-isu sosial yang diangkat oleh karya sastra, memperluas kesadaran publik tentang masalah-masalah penting, dan mendorong aksi sosial untuk perubahan yang lebih baik.