Ada yang menarik bagi saya di bab pertama, Pengantar atawa Introduksi kepada Indonesia Orde Baru dalam buku Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (2001). Di sana, penulis, Saya Sasaki Shiraishi menggunakan cerpen-cerpen yang di muat majalah Bobo (majalah anak-anak yang diapriorikan oleh sebagian besar orang dewasa sebagai bacaan yang ‘ringan-santai’) untuk menerangkan relasi anak di ruang publik. Relasi yang dimaksud adalah relasi anak dengan orang dewasa, baik dengan keluarga (orang yang dikenal), maupun dengan lingkungan di luar keluarganya (kerumunan: sejumlah orang yang tidak saling mengenal). Bisa jadi, relasi anak di sini juga berarti analogi ‘anak’ adalah ‘rakyat’ yang hidup di tengah ‘keluarga’ Orde Baru, di mana Soeharto sebagai ‘bapak’-nya. Terkait relasi itu, ada dua ekstrem yang saya kira ditunjukkan Sasaki dalam kajian etnografisnya tersebut. Ekstrem pertama adalah relasi anak yang ‘ideal’, yakni anak yang lahir dan dibesarkan dalam kenyamanan keluarga; yang dibelikan buku anak-anak dan mendapat fasilitas antar-jemput oleh keluarganya; yang riskan dan ringkih bila berada di luar jaringan keluarga. Sedang esktrem kedua adalah relasi anak yang ‘riil’, yakni anak-anak yang akrab dengan jalanan sejak belia; yang biasa menjadi pengasong, pengamen, dan sebagainya; yang tidak takut di jalanan di luar jaringan keluarga.
Guna menjelaskan ekstrem pertama, Sasaki justru mengutip cerpen-cerpen di majalah Bobo. Saya mencatat ada empat cerpen yang dikutip Sasaki. Pertama, cerpen yang berjudul Ketika Kakek Datang yang ditulis oleh Theresia Mery (Bobo edisi ke-17, 6 Agustus 1988). Cerpen pertama ini dinilai Sasaki amat baik menggambarkan sebuah kehangatan dalam upacara pertemuan keluarga di ruang publik, yaitu bandara. Kedua, cerpen yang berjudul Perampok dan Pencopet karya Yutha D. (Bobo edisi ke-22, 10 September 1988). Oleh Sasaki, cerpen kedua ini ditangkap sebagai cerpen yang mengangkat bahaya yang lazim ada di luar jaringan perlindungan kawan-kawan dan keluarga, seperti di ruang publik: jalanan. Cerpen kedua ini dibaca Sasaki sebagai sorotan atas kenyamanan dan keamanan yang diberikan keluarga. Lalu cerpen yang ketiga, yang ditulis oleh Kemala P. dengan judul Suatu Siang di Atas Bus (Bobo edisi ke-25, 1 Oktober 1988). Pada cerpen ketiga ini, Sasaki masih menyoroti isu yang sama dengan cerpen kedua sebelumnya, yakni tentang kerawanan bila berada di jalanan, khususnya di Jakarta. Kerawanan yang amat bergantung pada kondisi cuaca. Misal, dalam cerpen disebutkan, panas matahari di jalanan (baca: di luar naungan keluarga) yang ‘menyiksa’ adalah penanda akan datangnya bencana (yang mewujud pada pencopet yang berhasil dengan aksinya). Dan terakhir, cerpen keempat yang dikutip Sasaki yang berjudul Susi, Cucu Kakek karangan Widya Suwarna (Bobo edisi ke- 22, 20 September 1988). Di cerpen keempat ini, Sasaki kembali melihat bahwa naungan keluarga amat sangat dibutuhkan seseorang untuk menciptakan kenyamanan, lebih-lebih bila di jalanan yang ‘panas’.
Mengapa untuk menjelaskan gagasan ekstrem pertama, Saya Sasaki Shiraishi, antropolog dari Jepang jebolan Cornell, justru mengutip cerpen-cerpen Bobo? Apa mungkin ini berkaitan dengan masa (menjelang) kejayaan (booming) media anak (majalah, lagu, film, dll). Sebuah masa yang berlangsung di akhir 80-an hingga 90-an? Mengapa Sasaki tidak mengutip saja cerpen-cerpen ‘serius’ yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan ‘beken’ semacam Ali Akbar Navis, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Nh. Dini atau nama-nama lainnya, agar kajian antropologis Sasaki dinilai ‘serius’ pula? Atau, mengapa Sasaki tidak melakukan observasi lapangan (secara langsung, tidak melalui cerpen) sebagaimana yang ia lakukan untuk melihat ekstrem kedua, relasi anak yang ‘riil’?
Dari pengutipan empat cerpen Bobo tersebut, tampaknya Sasaki memahami betul bahwa bacaan untuk anak-anak adalah bacaan yang ‘gamblang’ meski didistorsi oleh seperangkat ‘aturan ars poetica’. Cerpen Bobo menyatakan hal yang nyata tentang anak dengan cara yang representatif, di mana gambaran anak ‘riil’ coba ditutupi dengan gambaran anak ‘ideal’ sebagaimana yang tergambar dalam cerpen Bobo. Gambaran anak ‘ideal’ adalah hasil rekayasa politik ‘keluarga’ Orde Baru agar terkesan berhasil memberikan perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan hidup bagi anak Indonesia, yang disaat bersamaan juga berhasil memberi gambaran bahwa ruang publik atau ruang ketika anak berada di luar jaringan keluarga, di tengah kumpulan orang asing, adalah ruang yang belum tentu aman bagi anak. Provokasi ‘ketakutan’ ini diperlukan, karena semakin takut anak berada di luar jaringan keluarga seperti yang ditakuti oleh anak ‘ideal’, maka semakin kuat pula kuasa Orde Baru atas kehidupan anak dan keluarganya, begitu tegas Sasaki. Karena ‘ketakutan’ itu ada, maka ‘keluarga’ Orde Baru perlu hadir memberikan rasa aman. Melalui narasi cerpen Bobo, Orde Baru merekayasa semua ini guna menguatkan kesan keberhasilan pemerintahan Orde Baru yang dengan demikian akan melanggengkan kuasa pemerintahannya, karena semua orang bergantung pada ‘keamanan’ Orde Baru.
Di sini, Sasaki terlihat sebagai seorang yang amat sensitif sekaligus jeli, bahwa apa pun (selagi relevan) bisa menjadi bahan dan rujukan kajian etnografis, termasuk cerpen Bobo. Pula, terlihat kalau Sasaki menyadari bahwa cerpen-cerpen Bobo yang sering dianggap sepele dan remeh-temeh justru berguna dalam membongkar ideologi famili-isme Orde Baru, yang dimaterialisasi lewat cerita anak. Sasaki, tampaknya paham betul akan daya dan posisi cerpen-cerpen Bobo yang mampu begitu jauh menyentuh subjektivitas kolektif, serta yang mampu menggiring dan mengkonstruksi pemahaman tertentu atas kenyataan hidup sebagaimana yang dimaui Orde Baru.