Setelah melalui sembilan tahapan dengan intensitas 16 kali persidangan, kini pengujian konstitusionalitas sistem pemilu legislatif melalui Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tinggal menunggu pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara yang menyita atensi publik ini memiliki beberapa isu yang menggambarkan peta perpolitikan Indonesia mendekati tahun politik 2024. Beberapa di antaranya seperti belasan Pihak Terkait, mencakup delapan partai politik yang kini menyusun komposisi DPR, dan terpecahnya argumentasi DPR kepada dua keterangan berbeda di antara pilihan sistem proporsional terbuka atau proporsional tertutup.
Dari besaran jumlah Pihak Terkait, perkara ini memperlihatkan betapa sistem pemilu merupakan esensi demokrasi yang menarik berbagai pihak untuk memberi keterangan di MK. Sementara dari sisi dua keterangan berbeda DPR, yang baru pertama kali terjadi, memperlihatkan adanya polarisasi politik di lembaga legislatif tersebut.
Meninjau Konstitusi
UUD 1945 memang tidak secara tegas menentukan sistem pemilu legislatif, akan tetapi UUD 1945 tersusun atas konstruksi sistem norma yang dapat ditafsirkan untuk menyigi makna yang terkandung di dalamnya. Sementara isu konstitusionalitas di antara pilihan proporsional terbuka atau proporsional tertutup tidak dapat dikesampingkan mengingat perlu didudukkannya apa yang dimaksud dengan konstitusi.
Pertama, tafsir orisinalitas. Pemohon benar sepanjang argumentasi yang menyatakan bahwa peserta pemilu adalah partai politik, namun keliru menjadikannya dasar argumentasi bahwa sistem proporsional tertutuplah yang konstitusional. Argumentasi yang didasari sebagian ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 itu harus dibandingkan dengan redaksional utuh yang menyatakan bahwa, “Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik”. Artinya terdapat dua subjek dalam konstruksi norma tersebut, yakni caleg dan partai politik. Dengan kata lain, ketentuan itu memosisikan individu caleg dan partai politik sebagai satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga dalam batas penalaran yang wajar, konstruksi norma Pasal 22E Ayat (3) memperlihatkan relasi yang seimbang antara caleg dan partai politik, di mana pemilu diselenggarakan untuk “memilih anggota DPR” bukan memilih partai politik yang mengusung caleg.
Bila disigi lebih jauh, konstruksi norma Pasal 22E Ayat (3) menyiratkan keberadaan partai politik sebatas legalitas melalui fungsinya sebagai kendaraan bagi caleg. Itulah mengapa secara sintaksis posisi frasa “partai politik” berada di akhir sebagai subjek dari frasa “peserta pemilu”, sementara frasa “memilih anggota” merupakan subjek yang akan dipilih dalam kontestasi politik.
Melalui pendekatan penafsiran orisinalitas ini dapat disimpulkan bahwa Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 justru menghendaki sistem proporsional terbuka melalui pemilihan yang dilakukan secara langsung kepada caleg, bukan partai.
Kedua, apa itu konstitusi? Secara positivistik konstitusi kerap diidentifikasi sebagai undang-undang dasar, atau produk hukum tertinggi yang bersifat abstrak serta berfungsi sebagai norma dasar bagi peraturan perundang-undangan. Pengertian ini perlu kembali didudukkan, apakah benar konstitusi sebatas redaksional undang-undang dasar yang rigid?
Pertukaran gagasan tentang apa yang dimaksud dengan konstitusi sejatinya telah berakar sejak Abad Pencerahan. Misalnya Bolingbroke (1733) yang bahkan menilai konstitusi bukan sekadar dokumen undang-undang, melainkan gabungan hukum, institusi, hingga kebiasaan. Bahkan Thomas Paine (1791) menyusun definisi lebih kompleks, bahwa konstitusi merupakan anteseden pembentuk negara dan tidak dapat diidentifikasi sebatas dokumen hukum.
Dua gagasan ini dapat dipertemukan dengan pengamatan Strong dan Wheare yang menyigi konstitusi di banyak negara dan mengelompokkannya kepada jenis konstitusi terkodifikasi atau berupa dokumen, seperti halnya Indonesia, dan konstitusi tidak terkodifikasi atau tidak berupa dokumen, seperti halnya Inggris, Arab Saudi, Selandia Baru dan Israel. Kenyataan itu pula yang memberi bentuk pada definisi konstitusi yang disusun Charles Howard McIlwain (1947), bahwa konstitusi mencakup karakteristik pembentuk sifat khas negara, termasuk tekstur sosial, yang tidak terhitung banyaknya.
Hal sama juga terjadi pada Indonesia. Bahkan pada bagian Penjelasan Umum UUD 1945 sebelum amademen, undang-undang dasar diakui hanya sebagian dari konstitusi yang mencakup norma tidak tertulis. Bahwa konstitusi juga harus dipahami dari suasana kebatinan ketika normanya dirumuskan. Meski UUD 1945 pascaamandemen tidak memiliki bagian penjelasan dan kesepakatan kala itu memilih untuk memasukkan bagian penjelasan ke batang tubuh, makna konstitusi pada hakikatnya tidak beranjak dari diskursus yang begitu luas.
Tinjauan tersebut dapat ditarik ke dalam pembahasan tulisan ini; manakah yang konstitusional, sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup?
Luasnya definisi konstitusi yang tidak sebatas dokumen undang-undang dasar meniscayakan penelusuran untuk tiba pada pilihan pembentuk undang-undang untuk menarapkan sistem proporsional terbuka. Bahwa pilihan sistem itu merupakan upaya demokratisasi partai politik melalui pelibatan rakyat secara nyata untuk menentukan pilihan atas wakilnya, bukan atas nama partai.
Bahkan bila ditinjau dari empat kali penyelenggaraan pemilu sejak 2004 melalui UU Nomor 12 tahun 2003, pemilu 2009 melalui UU Nomor 10 tahun 2008 yang dilengkapi Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, pemilu 2014 melalui UU Nomor 8 tahun 2012, dan pemilu 2019 melalui UU Nomor 7 tahun 2017, sistem pemilu legislatif selalu menggunakan sistem proporsional terbuka. Akibatnya pilihan pembentuk undang-undang harus diposisikan sebagai konvensi ketatanegaraan yang menghendaki transparansi daftar caleg. Dengan kata lain, pilihan pembentuk undang-undang atas sistem proporsional terbuka dapat diposisikan sebagai bagian konstitusi.