Di era Orde Baru, dalam keluarga politik Indonesia yang membenarkan paternalistis, Soeharto menegaskan dirinya sebagai bapak. Di sini, kata bapak memperoleh tiga pengertian sekaligus: pertama, orang tua lelaki atau ayah; kedua, seseorang yang menjadi pelindung (pemimpin, perintis jalan, yang banyak pengikutnya); dan ketiga, pejabat. 

Soeharto adalah orang tua laki-laki (ayah) dari anak-anaknya (rakyat). Soeharto juga seorang pejabat, ia adalah seorang presiden; pemimpin negara Indonesia yang diikuti para menteri dan ribuan bawahannya (termasuk juga rakyat). Hubungan antara bapak dan anak ini dibaca oleh Saya Sasaki Shiarishi (2001) sebagai hubungan hierarkis yang berlaku di keluarga nasionalis Indonesia. Bila masa Soekarno, hubungan bapak-anak adalah yang masih memungkinkan anak untuk berbeda pendapat dengan bapak, atau dengan kata lain anak ‘diperbolehkan’ menentang bapak (sebagaimana dalam peristiwa Rengasdengklok), maka di masa Soeharto, hal ini tidak lagi memungkinkan karena otoritarianisme yang fasis dan militeristik. Melalui penyebutan bapak, Soeharto menegaskan supremasi kuasanya yang absolut, mapan, dan tidak dapat diganggu gugat. Segala hal menjadi sah dan halal dilakukan selagi untuk melanggengkan kuasa bapak, termasuk mendalangi genosida 1965, misalnya.

Secara historis, penyebutan bapak dipakai oleh Ki Hadjar Dewantara dalam konsep kekeluargaan atau famili-isme yang berkembang di Taman Siswa. Penyebutan bapak juga berlangsung di era demokrasi terpimpin Soekarno. Seperti ungkap Sasaki, ini terjadi ketika para guru Taman Siswa dan lulusannya bergabung dalam pemerintahan dan menjadi pejabat, dan mereka lantas menghadapi Soekarno sebagai Bapak Guru yang par excellence. Sejarah kata-makna (diakronis) bapak lantas bergeser secara radikal, di saat Soeharto muncul sebagai bapak pada Oktober 1965. Sebagai proyek nasional di lingkungan pemerintahan, Soeharto yang mengandaikan dirinya sebagai raja Jawa, menegaskan kekuasaannya melalui kata bapak. Di sini, kata bapak laksana mantra ampuh guna menjinakkan segala hal. Kata bapak yang beririsan dengan hypermasculinity juga diam-diam menebar ketakutan pada setiap anak (rakyat), ketakutan yang kemudian menyarankan pemaksaan pada kepatuhan.

Sampai di sini, saya kira benar adanya jika ada yang mengatakan bahwa ideologi meresap dalam diri seseorang melalui bahasa. Bahwa kegiatan pemaknaan bapak yang menghasilkan makna-makna tertentu (sebagaimana yang diinginkan dan ditampilkan Soeharto) adalah sesuai kepentingan dominasi dan menjadi vital dalam otoritarianisme Orde Baru. Kiranya, salah satu cara meresapkan ideologi ‘kepatuhan’ Orde Baru adalah melalui penyebutan bapak pada Soeharto dalam keluarga politik yang patriarkis kala itu.

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *