Tulisan ini diilhami oleh tulisan B. Hari Juliawan, yang berjudul Kajian Budaya (2015), yang dimuat di salah satu edisi Majalah Basis. Bila tulisan Romo Beni berfokus pada pengenalan gagasan-gagasan metodologis dalam Kajian Budaya (Cultural Studies), maka tulisan ini hanya berfokus pada budayawan.
Budayawan adalah salah satu gelar atau atribusi unik yang barangkali tidak ditemukan di tempat lain, kecuali di Indonesia. Bahkan di Indonesia, budayawan tidak sebatas gelar atau atribusi semata, melainkan juga dapat dipertukarkan sebagai sebuah profesi. Dipertukarkan dengan profesi seniman, misalnya, atau dengan pengkaji kebudayaan bahkan pemangku adat tertentu.
Apa definisi budayawan? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengentri lema budayawan sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang budaya; atau seorang ahli budaya. Artinya, budayawan tidak bisa lepas dari kata budaya. Lantas apa itu budaya? Menjelaskan budaya tentu bukan perkara mudah. Karena sebagai konsep, budaya dipakai oleh berbagai bidang ilmu. Pemakaian ini berdampak pada definisi yang beragam pula, sehingga sulit rasanya untuk menarik satu penjelasan yang definitif, utuh, mapan, dan yang mampu mewakili karakteristik berbagai bidang ilmu. Jangankan pengertian budaya yang formulaik untuk berbagai bidang ilmu, untuk satu bidang ilmu saja, pengertian budaya bisa bermacam-macam seturut ahli yang mengemukakannya, dari klasik hingga mutakhir. Bahkan pengertian budaya yang definitif semakin mustahil diperoleh rasanya, bila melihat sifat budaya yang lentur dan dinamis dalam bentangan waktu sejarah, sehingga memungkinkan definisi konsep budaya berkembang secara diakronis.
Terlepas dari kesulitan-kesulitan tersebut, setidaknya kita bisa mengutip penjelasan budaya dalam lanskap ilmu-ilmu sosial humaniora, khususnya antropologi, dan semakin khusus sebagaimana yang diajarkan di Indonesia. Di sana, budaya dijelaskan sebagai seluruh gagasan, sistem, dan karya cipta, rasa, dan karsa manusia; yang diperoleh melalui proses belajar dan dipakai untuk menunjang kehidupan bermsyarakat. Definisi klasik yang awet nilainya ini, jelas kita ketahui bersama, diungkapkan oleh begawan antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Mahasiswa antropologi pasti mengenal nama besar Pak Koen ini lebih dahulu ketimbang nama kepala program studinya. Koentjaraningrat kemudian menyertakan tujuh unsur budaya untuk menguatkan definisi tersebut, yakni unsur bahasa, pengetahuan, kekerabatan dan organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, ekonomi dan pencaharian hidup, agama, dan kesenian. Ketujuh unsur tersebut dimaterialisasi ke dalam tiga wujud budaya, yakni yakni ide, aktivitas, dan artefak.
Dari Koentajaraningrat, kita tahu bahwa konsep budaya rupanya begitu luas karena menjangkau segala yang berhubungan dengan manusia. Selain Koentjaraningrat, kita bisa mengetahui keluasan konsep budaya dari Kajian Budaya. Centre for Contemporary Cultural Studies, sebagai lembaga yang merintis Kajian Budaya dan berbasis di Universitas Brimingham, Inggris, yang memulai geliatnya sejak tahun 1964, memaksudkan budaya sebagai segala dimensi dan unsur dari seluruh praktik hidup manusia sehari-hari. Bedanya, budaya yang dikaji dalam Kajian Budaya lebih mengarah pada budaya pop yang dianggap sepele dan yang diyakini dapat mengisi kesenggangan (leisure) dan memberi kenikmatan (pleasure) kepada banyak orang dalam waktu yang relatif singkat. Pada Kajian Budaya yang bersifat lintas disiplin itu, budaya dianalisis dengan menggunakan berbagai pendekatan sekaligus, seperti teori sastra, linguistik, antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat, ilmu komunikasi, ilmu politik, bahkan ekonomi. Kajian Budaya juga memposisikan dirinya sebagai kritik atas ideologi dominan yang acapkali mengkonstruksikan relasi kuasa yang hierarkis dan binaris.
Kembali ke ihwal budayawan yang khas Indonesia tadi. Dari dua penjelasan konsep budaya yang setidaknya dikutip dari bidang ilmu antropologi dan Kajian Budaya, kita bisa menarik pemahaman sementara tentang budayawan, bahwa budayawan yang diketahui di Indonesia adalah seorang yang maha tahu dan serba bisa! Tahu banyak hal, tentang adat dan ritual etnis tertentu, sepak bola, sejarah, politik, pendidikan, kebangsaan, agama, kemanusiaan, dan sederet hal lain yang menjadi perhatian publik luas. Budayawan juga bisa banyak hal, bisa menulis, menyanyi, bermain musik, mendalang, menjadi aktor teater atau film, menjadi bintang iklan, berdansa, bahkan berwirausaha. Barangkali karena pengetahuan dan keserbabisaan yang luar biasa banyak inilah, budayawan lantas sering dimintai pendapatnya untuk menengahi berbagai persoalan pelik kehidupan manusia Indonesia. Budayawan pun sering tampil di televisi dan radio untuk mengomentari kejadian-kejadian hangat di tengah masyarakat. Budayawan adalah narasumber segala bidang di berbagai forum diskusi di berbagai level, dari lokal hingga nasional. Budayawan adalah superstar yang sering menulis di koran dan majalah, atau ia sekadar diwawancarai wartawan. Bahkan kata-kata bijaknya pun berserak di banyak unggahan media sosial. Budayawan mirip dengan sebagian lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang memaksa diri atau dipaksa secara sosial untuk tampil di berbagai forum keagamaan, di mana ia diminta berperan sebagai modin, muazin, pendakwah, petugas doa, sebagai orang yang faqih, ahli tafsir Al-Quran, ahli hadis, atau ahli sejarah Islam, padahal selama di PTAI ia mencukupkan diri belajar sastra atau ilmu fisika, atau hal lain yang jauh panggang dari api.
Atau barangkali sebaliknya, karena seseorang mengklaim dirinya sebagai budayawan atau karena ditahbiskan secara sosial sebagai budayawan, lantas seorang budayawan secara ajaib mampu berbicara banyak hal di berbagai kesempatan dan tempat. Bukan karena seorang tahu dan bisa banyak hal lebih dulu, baru diakui sebagai budayawan, melainkan karena seorang di plot sebagai budayawan oleh masyarakatnya, maka ia lantas menyulap diri sebagai yang tahu dan bisa banyak hal. Mana yang lebih dulu antara klaim budayawan atau pengetahuan dan keserbabisaan budayawan, tentu sulit diketahui. Namun yang jelas, budayawan adalah seorang laki-laki, karena dominan yang diketahui massa adalah budayawan laki-laki. Kalau toh ada budayawan perempuan, maka KBBI perlu mengentrikan lema seksis, budayawati, bilamana kata budayawan tidak cukup netral menjelaskan dua gender sekaligus.