Indonesia akan kembali menyambut hangat pesta demokrasi. Ada yang unik menjelang pesta demokrasi 2024 kali ini. Jika pada periode pra-pemilu sebelumnya kita hanya menemui aktor politik senior yang maju sebagai calon legislatif, maka kali ini kita bisa pula menemui generasi milenial yang juga mencari peruntungan di panggung politik legislatif.
Generasi milenial atau yang biasa disebut generasi Y adalah generasi yang lahir pada akhir tahun 1980an hingga akhir 1990an. Seorang sosiolog, Mainnheim (1893-1947), mendefinisikan milenial sebagai generasi penikmat dari sebuah teknologi. Disebut milenial karena menjadi satu-satunya generasi yang melewati masa transisi milenium kedua. Mainnheim menyatakan dalam The Problem of Generation (1952), bahwa setiap manusia yang hidup pada generasi yang sama cenderung akan mengalami sosio-sejarah yang sama.
Panggung politik legislatif Indonesia di tahun 2024 kini tengah digandrungi generasi milenial. Sebut saja yang tengah viral hari ini adalah Verrell Bramasta dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Aldi Taher yang entah dari Partai Bulan Bintang (PBB) atau Perindo, serta deretan bakal calon legislatif (bacaleg) milenial lainnya. Mereka mencitrakan diri sebagai insan yang kreatif, unik, serta jauh dari konservatisme tertentu.
Bacaleg milenial memiliki cara tersendiri dalam berkampanye. Mereka tidak hanya mengandalkan spanduk atau poster, visi misi, serta foto dengan berpakaian baju kebanggaan masing-masing partai pengusung, melainkan juga memanfaatkan keberadaan media sosial sebagai sarana kampanye. Dimulai dengan framing poster digital yang menarik, seruan visi-misi yang segar, dan orientasi politik yang berjiwa anak muda yang energik. Mereka juga mewacanakan program terbarukan seperti start up, UMKM, seruan partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat desa, ajakan sadar berpartisipasi politik bagi generasi muda, dan lain sebagainya.
Ketika bacaleg senior menggunakan serangan fajar dan money politic untuk menarik massa agar memilih mereka, milenial punya cara tersendiri dalam memperbanyak suara. Mereka yang milenial paham betul bagaimana menangkis kekalahan dengan kerap berpartisipasi dan aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Milenial juga mengadakan program kepemudaan hingga mengantisipasi tingginya angka pengangguran dengan mengadakan pelatihan. Singkat kata, mereka berusaha menang tidak dengan cara memberi uang.
Pengelolaan media sosial menjadi elemen yang sangat penting pencalonan milenial dalam pemilu 2024 kali ini. Sebagaimana yang telah dibahas oleh Mainheimm, hadirnya dimensi kehidupan yang baru akan menciptakan pola kehidupan yang baru pula. Dengan memaksimalkan kampanye digital, bacaleg milenial juga akan menarik perhatian pemilih sesaama milenial. Pemilih milenial akan merasa terwakilkan berbagai kebutuhan dan keinginan mereka dalam berbagai kebijakan-kebijakan publik.
Selain itu, bacaleg milenial juga pribadi yang progresif dan cenderung idealis. Pada umumnya, mayoritas pemilih milenial adalah lulusan dari perguruan tinggi. Maka tidak salah jika bacaleg milenial memiliki kreatifitas yang lebih tinggi daripada caleg senior. Mereka bisa dengan cepat menemukan strategi yang lebih inovatif, unggul, dan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Harus diakui, meski bacaleg milenial unggul di beberapa hal, mereka juga memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut masih menjadi perhatian utama bagi pemilih dalam menentukan pilihan. Memilih atau tidak bacaleg milenial masih menjadi dua mata pisau yang wajib dipertimbangkan penuh untuk pemilu ke depan.
Pertama, masih mencari peruntungan bukan perjuangan. Bacaleg milenial pada umumnya adalah mereka yang baru saja lulus dari bangku perkuliahan. Banyak dari mereka yang belum mendapatkan pekerjaan. Bisa dikatakan mendaftarkan diri sebagai calon legislatif merupakan sebuah pilihan di tengah potensi menjadi pengangguran. Jika hal ini menjadi alasan dari seorang milenial, eksistensi mereka sebagai seorang insan kreatif dan harapan bangsa akan suram karena perjuangan mereka dibungkus dengan sebuah peruntungan. Padahal, mimpi bangsa dengan hadirnya milenial adalah terwujudnya legislasi bernegara yang sehat dan ideal bagi kehidupan saat ini yang memaksa rakyat sadar teknologi dalam melek perubahan.
Kedua, kurang pengalaman dan terkungkung janji klise. Milenial merupakan manusia muda yang akan terus bertumbuh, khususnya tumbuh dalam kontestasi politik. Wajar jika mereka kalah dalam pengalaman dibandingkan politisi senior. Mereka juga terkesan klise dan idealis sehingga kurang mampu menanggapi hal-hal yang sewajarnya dihadapi secara realistis. Milenial juga banyak yang terjerat paham-paham teoritik yang ia dapatkan di bangku perkuliahan. Padahal, mungkin saja sebuah teori bisa menjadi sebuah pertimbangan, namun juga harusnya diiringi pembacaan empiris atas berbagai permasalahan kehidupan. Dipengaruhi juga oleh faktor umur yang masih muda, milenial dirasa belum bisa mengatur emosi dan sangat reaktif. Pertimbangan mengambil keputusan mesti disertai tata kelola emosi yang baik. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa terjun ke dalam dunia politik berarti harus siap jatuh bangun, dicerca dan dipuji, serta digenggam atau dikhianati.
Terakhir, bacaleg milenial hanya mampu menguasai pemilih milenial. Ia hanya sigap pada persiapan digital, berkampanye di Instagram, Facebook, Youtube, atau Twitter. Namun, pemilih non milenial banyak yang tidak melek media sosial sehingga mereka membutuhkan pendekatan analog. Bacaleg milenial pun mungkin berkekurangan dalam hal finansial. Untung jika diberi bantuan oleh keluarga dengan keadaan ekonomi yang cukup baik. Jika tidak, bacaleg milenial juga harus bersiap-siap kalah dari mereka yang menguasai demokrasi elektoral, kalah dari seorang pemilik modal. Pada akhirnya, lahirnya milenial sebagai aktor politik terobosan baru, mereka yang berkualitas tetap akan kalah dari orang-orang yang memiliki kuantitas.