Mungkin judul tulisan ini terlampau sinis bahkan pesimis atas berbagai kampanye dan praktik keberdayaan para pelaku dalam mata rantai komoditas kopi. Baik berdaya di kelompok hulu kopi, petani kopi, hingga ke hilir kopi, konsumen kopi. Semua ingin berdaya! Berdaya lewat kopi! Lebih-lebih disaat kopi semakin ingar-bingar dibicarakan dan digiati di beberapa tahun terakhir, khususnya di Indonesia.

Mengapa gema “Berdaya Lewat Kopi” saya pandang sinis dan pesimis? Pada dasarnya pandangan demikian amat mungkin keliru, bisa disangsikan dan bisa disangkal. Sebab sinisme dan pesimisme yang kemudian terangkum dalam proposisi “Diperdaya Lewat Kopi” masih sebatas tesis yang perlu diselediki lebih lanjut dan diuji ketahanannya. Meskipun begitu, saya coba memberanikan diri untuk menguraikan secara singkat mengapa saya sinis dan pesimis terhadap “Berdaya Lewat Kopi”.

Ada sebuah fakta yang tidak bisa dihindari bahwa negara-negara produsen kopi adalah negara-negara pascakolonial, di mana kondisi masyarakat (negara) hingga hari ini terbentuk akibat peristiwa historis kolonialisme. Dalam arti lain, terus berurusan dengan pengalaman imperialisme Eropa/Barat yang terhitung sejak abad ke-16, sekalipun secara formal implementasi imperialisme dalam bentuk kolonialisme secara langsung memang telah berakhir. Sifat dan karakter kolonialisme masih berjejak dan begitu terasa dalam berbagai aspek hidup negara-negara bekas jajahan, hingga kini.

Seberapa sering kita mengonsumsi kopi konsumsi di kafe-kafe atau kedai-kedai (out-of-home consumption)? Sebuah gaya konsumsi yang dinternasionalisasikan pertama kali oleh kedai ikonik Amerika Serikat bernama Starbucks, pada tahun 1996, yang kemudian kopi menjadi budaya populer khas Amerika? Seberapa sering kita memperbincangkan beragam konsep dalam manual brewing coffee (kopi yang diseduh secara manual/non-mesin) yang sekarang sedang naik daun? Seberapa sering kita meminjam lidah orang-orang Eropa/Barat ketika mencicip kopi atau menguji mutu-rasa kopi dengan cupping protocols, coffee taster’s flavor wheel, sensory lexicon, dan seterusnya yang diformulasikan oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA) dan lembaga-lembaga lain yang terafiliasi dengannya? Seberapa besar kemauan kita untuk memenuhi maklumat sertifikasi kopi yang sejalan dengan prinsip, yang konon dikatakan adil dan berorientasi pada lingkungan, seperti yang digadag-gadang Fair Trade, misalnya? Bukankah semua perilaku ini mengisyaratkan bahwa subjektivitas kita dikonstruksi oleh orang di luar diri kita? Kita dipersuasi untuk menyikapi kopi yang kita tanam di tanah sendiri dengan perspektif Eropa/Barat? Bukankah ini sebentuk dominasi ekonomi, pengetahuan, dan kebudayaan (yang seringkali disebut neo-kolonialisme) dari the colonizer terhadap negara-negara the colonized yang secara formal telah merdeka dari kolonialisme? Inilah yang dimaksud situasi pascakolonial, kiranya. Bahwa kolonialisme Eropa/Barat secara nyata masih berlangsung di berbagai wilayah yang dulu menjadi jajahannya, meski dalam wajah yang berbeda dan seringkali begitu subtil.

Brazil, Vietnam, Kolombia, Indonesia, Ethiopia, India, Meksiko, dan berbagai negara yang tersebar di tiga benua: Asia, Afrika, dan Amerika (Selatan), adalah negara-negara pascakolonial yang berpredikat sebagai negara-negara produsen kopi terbesar dunia seturut International Coffee Organization yang bermarkas di London, Inggris (bahkan untuk menyatakan predikat itu pun, Inggris mengambil peran). Sementara Eropa, yang mencakup Italia, Spanyol, Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, serta Amerika Serikat di belahan lainnya adalah negara-negara konsumen kopi utama dunia cum the colonizer. Persis dalam relasi dua rumpun negara-negara ini, kopi sebagai komoditas konsumsi dibicarakan dalam tulisan ini. Agar lebih kongkrit, saya mencoba menengahkan bagaimana Indonesia yang menanam kopi diperdaya oleh Eropa/Barat yang mengonsumsi kopi, khususnya yang dipotret dari istilah (konsep) specialty coffee.

Specialty Coffee

Ada banyak istilah terkait kopi yang telah menjadi pengetahuan umum di lingkaran pelaku kopi. Kebanyakan dari istilah-istilah ini berkesan “ilmiah” [1] dan dinyatakan dalam bahasa asing: Inggris dan Italia. Sebut saja: American Roast, Espresso, Americano, Fair Trade Coffee, Mocha Java, Single Origin Coffee, Specialty Coffee, Hulling,  Manual Brewing Coffee, Natural Process, Artisan Coffee, Micro-Lot, dan banyak lagi yang lainnya. Bila mengikuti pendapat umum, saya pun akan maklum dengan dalih: pertama, selain dengan inderawi, kopi juga bisa diukur secara rasio/akal-budi; kedua, dengan begitu, maka kopi tergolong sebagai fakta ilmiah dan praktik pengetahuan yang objektif; dan ketiga, hal ini (mulanya dan umumnya) dirumuskan oleh negara-negara konsumen kopi utama dunia, yakni: Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Akan tetapi bila dipikir kritis, saya justru mengernyit heran dan geli. Sebab istilah-istilah kopi yang ‘berasa’ ilmiah ini telah memprovokasi saya untuk berpikir secara bertautan, terutama pada kuasa Barat terhadap negara-negara produsen kopi yang notebene adalah negara-negara pascakolonial.

Specialty Coffee dipakai pada tahun 1974 oleh Erna Knutsen di Tea & Coffee Trade Journal. Knutsen memakai istilah ini untuk menyebut (biji) kopi terbaik dengan rasa istimewa dari area ideal tanam kopi (micro-lot). Dalam industri kopi, dikenal tiga tingkatan (grade) dalam kopi, yakni specialty coffeegourmet atau rare origin yang menempati peringkat pertama, lalu disusul oleh kopi premium ditingkat kedua, dan kopi komersil ditingkat ketiga.

Oleh SCAA, ditegaskan bahwa hanya kopi dengan skor uji citarasa (cupping test) 80-100 lah yang layak disebut sebagai specialty coffee. Untuk mendapat skor ini, tentu tidaklah mudah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, selain kopi harus berasal dari area micro-lot tadi, calon kopi specialty haruslah dimuliakan pohon dan lingkungan tanamnya. Kemudian bila sudah berbuah, hanya buah merah (coffee cherry) saja yang boleh dipetik-dipanen—yang betul-betul matang sempurna. Dari coffee cherry, proses kemudian berlanjut ke proses pascapanen untuk kemudian dijadikan green bean atau kopi beras/gabah. Tidak boleh ada cacat primer pada green bean kopi specialty dan harus memenuhi total defect atau biji kopi yang rusak (secara bentuk dan warna) <4%. Misal, jika dalam 1 kg green bean kopi specialty, maka total defect tidak boleh lebih dari 40 gram. Dan tentunya, masih ada serangkaian proses lagi bagi kopi agar bisa dikatakan specialty: penyangraian, uji cita rasa, penyeduhan, hingga pengonsumsian.

Syarat-syarat specialty coffee seperti ini diregulasi dan didominasi oleh SCAA dan rekan dekatnya, SCAE (Specialty Coffee Association of Europe) untuk kemudian diberlakukan secara langsung dan menyeluruh kepada negara-negara produsen kopi, seperti Indonesia. Pemberlakuan ini diperantarai oleh ‘orang dalam’ (jika tidak mau disebut komprador), seperti SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia) dan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia). Mengapa Indonesia, misalnya, harus mengikuti regulasi ini? Apa karena pangsa pasar specialty coffee Indonesia adalah Amerika Serikat dan Eropa sehingga mereka merasa berhak mendapat kopi yang spesial sesuai dengan kategori ‘ilmiah’ meraka sendiri? Atau, apa karena Indonesia, Brazil dan Vietnam (sebagai produsen terbesar kopi dunia) atau Kenya, Ethiopia (yang menghasilkan kopi-kopi bercitarasa aduhai) kalah pandai dan kalah cepat dibanding Eropa/Barat dalam memperhitungkan kopi secara ‘ilmiah’? Bukankah Indonesia dan negara produsen kopi lainnya adalah negara yang paling aktual-empiris dalam menghidupi kopi? Sampai di sini, dapat dirasakan bahwa Amerika Serikat dan Eropa begitu kuasa dalam industri kopi. Belum lagi dalam perkara harga kopi specialty yang harus mengikuti New York Board of Trading, dan juga berbagai cara menyeduh kopi, baik yang manual ataupun elektrik, berikut teknik tetek-bengeknya yang diperoleh dari Italia dan lainnya.

Dominasi yang ditengarai berselubung saintifikasi kopi (lewat berbagai istilah seperti specialty coffee) ini lantas melahirkan fenomena lain: kontestasi specialty coffee. Yang lagi-lagi, kontes ini meniscayakan Amerika Serikat dan Eropa sebagai aktor utamanya. Lebih-lebih di saat industri kopi yang konon kabarnya berada di third wave era [2] yang orientasinya adalah mengejar kualitas kopi terbaik, specialty coffee. Karena kejaran ini, kontestasi pun berlangsung, logika pasar bekerja, dan kapitalisme merasuk. Setiap orang berupaya menghasilkan kopi yang terbaik. Begitu pula dalam hal mengonsumsi kopi.

Kontestasi specialty coffee ini riuh di banyak negara, termasuk negara-negara produsen kopi—yang terkategorikan secara problematis sebagai negara dunia ketiga. Bahkan kontestasi specialty coffee di era third wave ini juga melibatkan para artisanal kopi, mulai dari artisanal pekebun, artisanal roaster hingga artisanal barista. Artisanal kopi (selanjutnya akan disebut artisan kopi) adalah pegiat kopi yang bisa dibilang terlampau idealis. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda. Mereka mengapresiasi kopi tidak sekadar sebagai produk atau komoditas, tapi lebih sebagai ‘yang luhur nilainya’,sebagaimana karya seni, sebagai artisanal foodstuff. Para artisan kopi dikenal sebagai orang yang menyajikan specialty coffee tanpa mau tunduk pada logika industri kopi specialty. Mereka adalah orang-orang ahli dalam bidang kopi sekaligus yang resistan terhadap ideologi kapitalisme global—dengan cara, salah satunya adalah melakukan perdagangan kopi langsung dengan para petani, bukan pada kartel. Tren para artisan kopi adalah anti mainstream, menolak bergaya seperti kedai kopi trans-nasional (Starbucks  dari  Seatle,  Illy  Coffee  dari  Italia,  hingga  ke  pemain  lokal,  semacam  El’s Coffee,  Excelso). Karena itu artisan kopi kadangkala dijuluki independent coffee dan umumnya berformat usaha mikro. Hemat kata, artisan kopi adalah pegiat kopi yang bisa dikatakan sebagai subjek-subjek yang otonom.

Tapi bagaimana jadinya, bila artisan kopi dengan paham yang dianutnya ini menyerap istilah-istilah kopi yang berlabel ‘ilmiah’ tadi, sedangkan istilah-istilah tersebut diasumsikan tidak sekadar istilah, karena kental dengan asumsi politik neo-kolonial? Bagaimana mereka, para artisan kopi termakan regulasi cupping test dari SCAA? Bagaimana mereka juga membeli beragam alat seduh brand Eropa sekaligus mengamini pengetahuannya Sebuah situasi yang paradoks, kiranya. Di satu sisi artisan kopi menolak ideologi kapitalisme global di bidang kopi, tapi di sisi lain mereka justru babak belur oleh istilah-istilah kopi yang berlabel ‘ilmiah’ tadi. Sebuah situasi yang juga menunjukkan begitu ampuh dan sistematisnya politik konsumsi kopi di era gelombang ketiga ini yang dilihat dari istilah-istilah berlabel ‘ilmiah’ yang disertakannya.

Sampai di sini, ada dua hal yang ingin saya katakan. Pertama, istilah-istilah kopi yang berasa ‘ilmiah’ ini ditengarai sebagai politik bahasa; proyek dominasi Barat; sebagai praktik budaya yang amat ideologis-ekonomis dari negara-negara yang notabene hanyalah pengonsumsi kopi, tapi bertindak sebagai negara-negara kanonik dalam urusan kopi. Mereka membangun diskursus kopi yang saintifik sebagai pengetahuan netral dan objektif. Sebuah wacana yang kiranya lebih tepat dilihat sebagai mitos karena ada praktik kekuasaan di sana dan pastinya kepentingan ekonomi, ketimbang sebagai praktik pengetahuan yang nir-kepentingan. Kedua, di tengah fenomena itu semua, ada artisan kopi yang bersikap paradoks, yang resistan sekaligus yang memeluk erat politik budaya dan ekonomi kopi spesial yang diwacanakan Eropa/Barat.

Berdaya?

Patri bahwa kopi mesti pahit, hitam, seklaigus kental di masyarakat Indonesia umumnya akan terkesan wajar saja. Wajar, karena pemikiran itu setidaknya berangkat dari pengalaman keseharian akan kopi. Pengalaman meminum kopi yang pahit sehingga perlu ditambah gula, susu, atau bahan lainnya yang dapat merekayasa cita rasa kopi. Semakin wajar bila kita menengok ke belakang bahwa hal ini telah berlangsung sejak lama. Di masa masyarakat kapitalis produksi, kemungkinan kopi dibuat pahit karena dahulu kopi kita dimonopoli oleh VOC untuk keperluan ekspor. VOC menstandarkan kopi agar disangrai hingga mencapai titik gelap, bahkan hampir gosong untuk mengatasi cita rasa kopi yang berbeda-beda dari tiap daerah di Indonesia, dan hasilnya kopi terasa pahit. Hal ini dilakukan VOC untuk menjaga konsistensi kualitas ekspor mereka. Jadi, hendak dikatakan bahwa kopi pahit, hitam, dan kental adalah sebuah konsep dan praktik yang diwarisi dari kolonialisme hingga sekarang. Dengan berlebihan, bisa dibilang sebagai ampas kolonial.

Sementara di masa sekarang , di mana terjadi pergeseran dari masyarakat kapitalis produksi ke kapitalis konsumsi, kopi yang kita minum pun masih berupa ampas, yakni ampas neo-kolonial. Sebab segala tentang kopi masih dijejaki Eropa/Barat, baik ditingkat kopi di tanam agar menjadi spesial, maupun di tingkat kopi diminum (terutama yang diminum/diseduh oleh kelas menengah sebagaimana di kafe-kafe atau di kedai-kedai kopi di perkotaan atau di rumah-rumah urban masing-masing). Sebuah contoh kecil saya sertakan. Saya teringat sebuah ujaran yang jamak saya dengar di berbagai kedai kopi (coffee shop), khususnya, di Yogyakarta. Ujaran ini masih berlaku sampai sekarang (setidaknya sampai tulisan ini selesai dibuat), meski gaungnya tidak sekuat beberapa tahun sebelumnya. Ujaran itu berbunyi, “Kopi enak itu dari Italia!” Ujaran ini biasanya dituturkan oleh barista ataupun sesama konsumen kopi. Konotasi enak adalah specialty. Bagi pendengar seperti saya, ujaran “Kopi enak itu dari Italia!” bisa disikapi dengan dua hal sekaligus. Pertama, bisa dimaklumi mengingat Italia adalah negara yang unggul dalam hal pengolahan biji kopi gabah/beras (green bean), dari penyangraian hingga penyeduhan (espresso, cappuccino, dll). Pula, diketahui bahwa beragam mesin/alat penyeduhan kopi banyak yang lahir dari tangan orang-orang Italia. Kedua, tidak masuk akal, sebab fakta bahwa tidak ada satu pun pohon kopi dapat tumbuh dengan baik di Italia. Sehingga Italia tetaplah sulit diterima sebagai negara di mana ada kopi paling enak ada di sana. Namun, dari dua sikap ini, Italia tetaplah berpredikat sebagai penghasil kopi enak karena bagitu kuatnya pengaruh yang pertama tadi, yang kemudian mengantarkan Italia sebagai negara kanonik soal kopi, yang sekaligus mengaburkan (atau bahkan menghapus) negara seperti Ethiopia, Kenya, Indonesia, Vietnam dan Brazil sebagai negara penghasil kopi terbesar dan terbaik. Pada titik inilah, ujaran/predikat “Kopi enak itu dari Italia” adalah mengada-ada.

Lantas, bagaimana “Berdaya Lewat Kopi” di era industri kopi kini yang hanya mementingkan keuntungan yang mengalir ke pusat-pusat kapital Eropa/Barat? Sebuah pertanyaan pokok yang menggelayut—setidaknya bagi saya yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai terkait hal tersebut. Tapi ada landasan berpikir yang dapat dipegang guna merancang tanggapan atas problematisasi di atas bahwa kopi adalah komoditas. Dengan menyebut kopi sebagai komoditas, maka sangat mungkin berlangsung kontes dagang-ekonomis yang kemudian disertai kontes kuasa pengetahuan/wacana, maupun kontes kuasa budaya yang ideologis. Segala hal bisa diangkut oleh kopi dengan tujuan perolehan berbagai keuntungan baik ekonomis maupun power. Karena pada dasarnya demikian, maka tidak akan ada yang mau merugi karena kopi, baik si penjual maupun yang membeli.

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *