BongakSele - Sele

Ragam Tren Bahasa ‘Gaul’ di Indonesia

Language is a system of arbitrary vocal symbols used for human communication.”

Bahasa merupakan sesuatu yang dinamis. Bahasa senantiasa berubah seiring dengan perubahan pola pikir manusia yang terus berkembang. Salah satu perubahan bahasa yang menarik untuk disimak adalah tren bahasa gaul di Indonesia, yang seperti tidak ada habisnya. Kemunculan bahasa gaul di Indonesia dapat dipengaruhi oleh beragam aspek, dari figur kenamaan, efek globalisasi, hingga kemunculan komunitas tertentu, serta maraknya penggunaan media sosial.

“Probably, gw tuh yang kek confuse gimana, ya … yang kek skeptical gitu gak, sih, ya … which gw masih enter sandman gitu, yang behind, pokoknya don’t look back in anger gitu2, lah.”

Kreativitas orang Indonesia dalam memainkan bahasa memang patut diacungi jempol. Kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni dalam kode campur ala Jaksel, misalnya, menunjukkan penguasaan yang baik dalam bahasa Inggris, walaupun penggunaannya dicampur secara acak dengan bahasa Indonesia. Sisi baiknya, penggunaan kode campur ala Jaksel dapat meningkatkan perolehan bahasa khususnya bahasa Inggris. Faktanya, penggunaan bahasa ini ramai digunakan oleh remaja dalam komunikasi mereka sehari-hari. Balqis, dkk. (2023) mengatakan bahwa penggunaan bahasa Jaksel dalam komunikasi sehari-hari menjadi wadah eksistensi diri bagi remaja. Hal ini merupakan efek dari media sosial yang kemudian menjadikan bahasa tersebut semakin populer dan lantas banyak digunakan. Kemunculan fenomena bahasa ala Jaksel ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh globalisasi, khususnya di bidang bahasa dan budaya.

“Selamat riyadi, hari minggat, yaa … yukk”

Namun pada kenyataannya, bahasa gaul ala Jaksel ini bukan satu-satunya kreasi bahasa yang pernah muncul di kalangan anak negeri. Sebut saja Debby Sahertian dengan bahasa gaul ala tahun 1990an yang dulu marak muncul di televisi dan majalah. Bahasa yang awalnya hanya digunakan oleh kalangan tertentu kemudian menjadi media komunikasi banyak orang untuk keseruan dan pencair suasana. Sekilas mungkin kita penasaran tentang bagaimana bahasa ini bisa muncul dan bagaimana pola perubahannya. Namun jika dianalisis dengan pendekatan linguistik, bahasa ini memiliki pola pembentukannya tersediri secara morfologis. Dewi (2002) menyebutkan bahwa bahasa gaul ala Debby Sahertian memiliki pola tertentu dalam pembentukan katanya sehingga dapat dikenali, walaupun polanya tidak seketat bahasa baku. Menariknya lagi, Debby juga telah mematenkan bahasa gaul-nya melalui sebuah kamus yang diberi judul Kamus Bahasa Gaul Debby Sahertian.

Kamus Gaul Debby Sahertian (Instagram/@debbysahertian54)

“Ciyus, miapa? Sumpe, lo? Semunggud eaaaa …”

Cuplikan kalimat di atas juga merupakan salah satu contoh bahasa gaul yang pernah ramai digunakan oleh remaja Indonesia. Bahasa yang dilabeli sebagai bahasa alay ini muncul sekitar tahun 2010an dan masih digunakan hingga saat ini oleh kalangan tertentu. Bahasa ini memiliki bentuk yang unik dan terkesan berlebih-lebihan. Wajar saja jika bahasa ini disebut sebagai bahasa alay. Kata alay merupakan akronim dari anak layangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan anak layangan sebagai gaya hidup berlebihan untuk menarik perhatian. Penggunaan bahasa alay tidak hanya ramai digunakan dalam komunikasi lisan pada zamannya namun juga banyak digunakan dalam komunikasi melaui media sosial, khusunya Facebook.

“Di luar nayla; gak abis fikri; gak masuk haikal; sungguh herman sekali; semoga nurul fatimah.”

Daftar plesetan di atas adalah bahasa gaul yang saat ini marak digunakan oleh pengguna aktif media sosial, khususnya Tiktok dan Twitter. Bahasa kekinian ini memiliki konstruksi yang terkesan nyeleneh dan penuh parodi. Berbeda dengan bahasa Jaksel dan bahasa gaul ala Debby Sahertian, bahasa yang tengah hits ini bisa-bisanya menemukan persamaan bunyi dalam plesetannya. Kosakata ‘normal’ yang terdengar umum dan biasa diplesetkan menggunakan kata berbeda dan menggantinya nama populer anak-anak Indonesia. Jika kita mengingat masa sekolah dulu pada medio1980an hingga 1990an, tentunya nama-nama seperti Fikri, Nurul, dan Haikal, adalah nama yang hampir selalu kita temukan pada daftar hadir siswa di kelas, bukan?

Tidak ada pola baku dalam konstruksi bahasa gaul Indonesia dari masa ke masa. Kreativitas dalam berkomunikasi dan mengekspresikan diri terus menciptakan sesuatu yang baru dan menarik untuk dibicarakan. Kita patut berbangga dan memberikan apresiasi terhadap kreativitas anak bangsa yang tidak pernah bosan memberikan kebaruan dalam bahasa. Kendati demikian, bahasa gaul tetaplah bahasa komunikasi sehari-hari yang digunakan dalam suasana santai saja dan bukan bahasa baku yang tetap harus dikuasai dalam komunikasi formal, baik lisan maupun tulisan.

Anne Pratiwi

Dosen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *