Bongak

Retorika Iklan Pendidikan (Bagian 2)

//4

Berbekal kerangka teoritis dari Barthes yang diurai sebelumnya, saya coba menganalisis sebuah iklan. Iklan pendidikan (dalam format baliho) dari salah satu kampus swasta di Yogyakarta, Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY). Dipilihnya iklan pendidikan, sebab adanya gejala yang rasanya telah berlangsung cukup lama, yakni sebuah pergeseran yang amat signifikan dari iklan pendidikan yang semula dikatakan sebagai iklan layanan masyarakat, kemudian dalam praktik aktualnya kini, tak ubahnya iklan-iklan produk/jasa atau jenis lain dengan logika komersialnya dan perwajahan yang seringkali berlebihan. Sementara mengapa iklan dari kampus swasta? Alasan sederhananya adalah bahwa gaung kampus swasta lebih lemah terdengar dibanding kampus-kampus negeri. Maka dengan begitu, kampus swasta kiranya lebih butuh beriklan. Terlebih dalam peta perguruan tinggi di Yogyakarta kota pelajar yang begitu tumpah-ruah ini. Ketika kebutuhan tersebut semakin kuat dan mendesak serta persaingan makin ketat, maka tak jarang kampus swasta akan beriklan dalam jumlah yang berlipat, begitu masif, dan dengan cara dan bahasa yang cenderung bombastis dan klise. Iklan kampus swasta jadi lebih mudah ditemukan dibanding kampus-kampus negeri. Mengapa pilihan hanya jatuh pada UTY? Selain keterbatasan waktu dan sebab-sebab lainnya, adapula alasan ketertarikan pribadi (dimensi personal) yang akan dijabarkan bersamaan dengan analisis atas iklan UTY.

//5

Iklan UTY yang dimaksud berlokasi di persimpangan jalan Affandi (Gejayan)–jalan Colombo (UNY), dan dalam format baliho.

.

Bila kita berjalan dari arah Barat (UGM, Panti Rapih, Sagan, atau dari UNY) iklan ini akan jelas terbaca sebab memang dimaksudkan menghadap ke arah tersebut. Ditambah pula dengan posisi ketinggian iklan yang lebih tinggi dibanding iklan-iklan lain di sekitarnya, iklan ini semakin mudah mencuri perhatian. Sementara dilihat dari waktu pemasangan (tayang), iklan UTY ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaring calon mahasiswa baru tahun ajaran 2018/2019. Maka terkait kepentingan yang terbaca inilah, ada beberapa hal yang dapat saya daftar sebagai hal yang sengaja ditonjolkan (dijadikan highlight) oleh UTY dalam berpromosi, seperti:

Pertama, Slogan atau TaglineSlogan yang diusung iklan UTY ini berbunyi ‘The Better Choice‘. Sebagai pesan linguistik yang berada pada level denotasi, UTY ingin mengunjukkan bahwa Ia adalah pilihan terbaik yang tak kalah dengan kampus-kampus mentereng lain di Yogyakarta, baik negeri maupun swasta. Stereotip Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar di mana bermukim banyak lembaga pendidikan, turut menjadikan ‘The Better Choice’ sebagai pilihan slogan yang strategis. Sementara di level konotasinya, kekuatan slogan UTY terletak dalam penggunaan bahasa Inggris. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang ‘Inggris’ adalah yang ‘maju’ dan ‘terbaik’—sebuah patologi khas pascakolonial. Dengan ditulis dalam bahasa Inggris, UTY seperti ingin menunjukkan dirinya sebagai kampus (rasa) global, sebagai kampus internasional yang maju dan terbaik.

Untuk menguatkan perolehan makna dari slogan ini, kiranya saya perlu mencermati lokasi iklan ini dipasang. Pemilihan lokasi iklan UTY yang berada di antara Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) (plus Universitas Sanata Dharma) selain terbilang sebagai lokasi strategis sebab di persimpangan keramaian, secara tersirat ada upaya UTY untuk memperoleh pengakuan masyarakat bahwa UTY adalah kampus yang sejajar dengan UGM dan UNY—yang pada dasarnya kedua kampus tersebut justru mempunyai gaung lebih besar dalam peta perguruan tinggi di Indonesia dibanding UTY. Bila pemilihan lokasi oleh UTY ini adalah sebuah kebetulan (kebetulan lahan promosi strategis yang tersedia berada di lingkungan UGM dan UNY) maka bisa jadi pencermatan lokasi ini dirasa berlebihan dan tidak perlu jadi bagian analisis.

Kedua, Tiga Jalur Penerimaan. Masih dalam pembacaan pesan lingusitik, sebagai informasi atau keterangan penerimaan mahasiswa baru (PMB) TA 2018/2019, disebutkan tiga jalur penerimaan: PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), Beasiswa, dan Reguler. Sementara untuk informasi lebih detilnya, tertera rujukan lebih lanjut yang bisa diakses melalui website resmi pmb.uty.ac.id, atau melalui narahubung tertera. Informasi ini dibaca sebagai pesan linguistik yang menunjuk tentang keragaman cara bergabung dengan UTY, sekaligus bisa pula ditambahkan maknanya, yakni, UTY adalah fasilitator keragaman minat dan kebutuhan calon mahasiswanya. Dari tanda linguistik ini pula, saya menangkap kemampuan UTY dalam memilah materi (linguistik) untuk beriklan. Daya selektif ini kemudian menjadikan perwajahan iklan UTY tidak terasa penuh dan sesak. Pokok informasi tentang penjaringan mahasiswa tersampaikan dengan lugas dan cepat (relay) dalam iklan UTY. UTY seakan hendak ‘keluar’ dari tren umum beriklan perguruan tinggi di Yogyakarta yang seringkali menyajikan informasi fakultas dan jurusan yang tersedia, hingga sajian perolehan akreditas institusi.

Ketiga, Gambar/Ilustrasi. Ada 13 orang saling bergandeng tangan. Mereka melakukannya di depan gedung kampus pusat yang berada di Ring-road Utara (yang diperlihatkan megah-asri-rimbun). Baik laki-laki maupun perempuan, semua terlihat tersenyum sambil masing-masing melemparkan kaki kanan mereka ke depan. Gambaran ini yang secara pasti paling banyak memakan tempat di Iklan UTY. Sebagai salah satu materi iklan, ukuran gambar ini paling besar dibandingkan materi yang lain. Dalam gambar tersebut, terlihat ada nilai keintiman (komune/kekerabatan) yang coba dipromosikan, sekaligus rasa bahagia yang didapat ketika berada dalam ‘keluarga’ UTY. Keintiman di sini terjalin antara dosen dan mahasiswa. Nilai dan rasa ini seakan berhasil diwujudkan di tengah keragaman latar belakang dan orientasi, baik sex dan gender, profesi, suku (ras), dan agama. Ini terlihat dari tipologi fisik dan pakaian yang dikenakan ketiga belas orang tersebut yang berbeda satu sama lain. Ada yang mengenakan pakaian formal (seperti jas), ada yang semi-formal (kemeja, jeans), ada pula yang memakai jilbab dan tidak memakai, ada WNI dan WNA, ada yang berbadan tinggi dan rendah, dst. Saya pikir nilai keintiman dan rasa bahagia inilah yang diutamakan oleh UTY dalam promosi mereka. Sebuah pesan yang paling ditonjolkan guna memikat calon mahasiswa baru. Di sisi lain, sebagai sebuah pesan dan cara bagaimana disampaikan, apa yang ditonjolkan UTY ini terbilang tidak biasa dilakukan iklan-iklan perguruan tinggi lain di Yogyakarta. Umumnya, iklan perguruan tinggi akan lebih menonjolkan perolehan akreditasi mereka atau prospek lulusan (kerja), hingga suasana/aktivitas perkuliahan. Pada aspek ini, UTY kembali ‘membedakan’ dirinya. Selanjutnya, secara teoritik pesan ini tergolong sebagai pesan ikonik yang terkodekan. Sebab ditunjukkan oleh gambar dan bersifat konotatif. Lebih spesifik lagi, konotator dari gambar ini adalah sikap tubuh yang saling bergandengan.

Keempat, Warna Dominan. Ada warna biru dan merah dalam iklan UTY. Warna biru menjadi pengapit latar gambar/foto 13 orang yang saling bergandengan tadi. Sementara warna merah adalah latar dari ‘tiga jalur penerimaan’Umumnya, secara psikologis warna biru seringkali diasosiasikan dengan ketenangan atau kedamaian. Sementara warna merah ditautkan pada makna daya (power). Ketenangan warna biru berbanding lurus dengan latar gambar yang menyajikan keintiman tadi. Pun dengan warna merah yang sejalan dengan upaya menyatakan UTY sebagai penyelenggara pendidikan yang berdaya di tengah kampus-kampus lain di Yogyakarta. Unsur yang kelima ini dapat dikategorikan sebagai pesan ikonik yang terkodekan.

Kelima, Ikon-ikon Pendukung Lainnya. Selain logo UTY, ada juga ikon-ikon dari media sosial seperti YoutubeInstagramFacebook, dan Twitter. Kehadiran ikon ini untuk mempromosikan kanal informasi yang dimiliki UTY. Para pejalan/pengendara bisa mengakses informasi lebih lengkap di kanal-kanal tersebut. Ikon media sosial ini bisa jadi masuk dalam dua kategori pesan, yakni pesan ikonik terkodekan dan juga pesan ikonik tak terkodekan. Sebagai yang terkodekan, tentu pembaca iklan akan paham maksud dari ikon-ikon tadi bila ia akrab dengan media sosial atau paling tidak punya pengetahuan akan YoutubeInsatgram, dst. Sedangkan sebagai yang tak terkodekan, asumsinya ada pada rasa kesulitan untuk mengatakan bahwa Youtube, Instagram, dst, adalah barang asing di masa kini—di mana hanya satu-dua orang yang tahu. Pula, apakah masih ada makna lain yang bisa di dapat dari ikon media sosial (beserta tulisan/alamat kanal sebagai pesan linguitik) UTY ini, selain sebatas infromasi tentang kanal media sosial UTY?

//6

Dari pembacaan atas iklan UTY tadi, secara umum, saya mencermati kencenderungan UTY untuk berbeda dari iklan-iklan (baliho) perguruan tinggi lain di Yogyakarta, khususnya swasta di tahun 2018. Bahwa dalam beriklan, UTY lebih menonjolkan pesan nilai keintiman dan rasa bahagia yang terjalin di sivitas akademika UTY, ketimbang nilai akreditasi, prospek lulusan, serta suasana perkuliahan di kampus—sebagaimana umumnya iklan perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Pula, UTY terbilang selektif dalam menentukan materi iklan, sehingga baliho iklan UTY tidak tampak penuh-sesak akan informasi (unfocus). Sekalipun dinilai berbeda, tetap saja iklan UTY terasa berlebihan, klise, dan bombastis seperti iklan lainnya. Apa hubungan signifikan dan riil antara nilai keintiman dan rasa bahagia dengan perkuliahan di UTY? Apakah kampus rasa global sebagai identitas yang dipromosikan akan selalu berbanding lurus dengan kualitas pendidikan di UTY? Saya rasa, tidak ada.


Bagian pertama tulisan ini dapat dibaca di Retorika Gambar/Foto (Bagian 1).

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *