Bongak

Retorika Gambar/Foto (Bagian 1)

… silent, God provides no possibility of  choosing between signs.

(Roland Barthes, Rhetoric of the Image)

//1

Dalam studi media dan kajian iklan, sulit rasanya untuk tidak menyinggung nama Roland Barthes. Terlebih bila yang menjadi perhatian adalah gambar/foto, lebih spesifik lagi seperti yang kita temui dalam berita dan iklan. Ada dua esai penting yang tulis Barthes yang sering dirujuk ketika membicarakan gambar/foto tadi, The Photographic Message (1961) dan Rhetoric of the Image (1961). Menjadi penting, sebab dengan pendekatan strukturalnya, Barthes memberikan dasar teoritik guna pengembangan semiotika gambar yang diharapakan tidak terbatas pada gambar/foto di berita dan iklan saja, melainkan pula gambar/foto pada umumnya. Selain itu, esai ini juga bisa dibilang sebagai langkah awal kritik ideologis yang sistemik atas budaya media [1]. Sebuah kritik yang disarankan agar paling mendasar kita tidak limbung berada di kerumunan tanda-tanda, “… silent, God provides no possibility of choosing between signs.” [2]

Dalam kesempatan dan kepentingan tulisan saya kali ini, hanya esai Rhetoric of the Image saja yang dibahas dan diurai. Sebab pada akhir tulisan ini, saya akan mencoba menengahkan analisis sederhana saya atas sebuah iklan pendidikan yang saya temui di jalanan di Yogyakarta. Setidaknya, sebagai peta analisis atas kerangka konseptual yang telah diberikan Barthes.

//2

Dalam Rethoric of the Image, Barthes menengahkan iklan pasta Panzani yang tayang di Perancis untuk dibedah dengan semiotika konotasi. Dalam analisisnya, Barthes mendapati tiga jenis pesan: pesan lingusitik (a massage without a code), pesan ikonik yang terkodekan (a coded iconic massage), pesan ikonik yang tak terkodekan (a non-coded iconic massage).

Pertama, pesan linguistik. Secara keseluruhan (totalitas), iklan Panzani dengan mudah akan menyarankan audiensnya (orang Perancis) pada sebuah brand pasta Panzani dari Perancis dengan berbagai macam produk keluarannya. Selain pesan ‘brand pasta Panzani’, bila digali lebih dalam, Barthes mendapati juga pesan tambahan, yaitu: yang khas atau berbau Italia. Pesan-pesan ini yang disebut Barthes sebagai pesan linguistik atau literal—yang didapat dari single typical sign: bahasa sebagaimana yang dimaksud dalam linguistik. Jadi, kunci dari pesan jenis ini adalah tanda-tanda linguistik, yang biasanya berupa tulisan (label dan caption) yang menyertai (melekat: menyatu) dalam gambar, dan berada dalam dua level pemaknaan: denotatif dan konotatif. Di iklan Panzani, kita bisa melihat label ‘Pates Panzani’ di produk utama keluaran Panzani: dua bungkus (persegi panjang) pasta. Label ini sengaja ditonjolkan agar jelas bagi audiens bahwa ini adalah iklan pasta dari Panzani. Semakin dipertegas dengan keberadaan caption yang terletak dibagian bawah yang berbunyi: ‘Pates-Sauce-Parmesan, A L’Italienne De Luxe’. Label dan caption ini amat membantu audiens (orang Perancis) yang sudah secara ‘otomatis’ memiliki pengetahuan kebahasaan Perancis. Dengan mudah mereka akan mepersepsikan makna yang ‘benar’ dari iklan Panzani sesuai dengan yang dimaui produsen iklan, yakni tentang pasta, saus, dan keju dari perusahaan pasta Perancis, Panzani. Suatu keniscayaan makna sebab pesan linguistik ini berada pada level denotatif, yakni pesan tanpa kode (a massage without a code) yang langsung menyapa audiens secara intensional tanpa diperlukan kerja penafsiran. Audiens tidak memerlukan seperangkat kode historis maupun kultural untuk membaca pesan ini. Andai tanda-tanda lingusitik tidak ada pada Panzani, maka kita akan dirundung ketidakpastian makna. Kita bisa saja mengira bahwa gambar dalam iklan Panzani adalah makanan sejenis mi lidi, ikan sarden, roti kupas, atau apa saja sesuai dengan persepsi kita yang tidak dimaui produsen iklan. Tanpa tanda lingusitik kita akan mudah ‘mengambang bebas’ di antara rantai petanda-petanda (a floating chain of signifieds). Jadi, selain mempermudah atau mempercepat penyampaian pesan (relay) yang dimaui produsen pada audiens, tanda-tanda linguistik (seperti caption dan label) juga berfungsi menjangkarkan makna dari gambar iklan agar tidak kemana-mana (anchorage).

Selain makna denotatif iklan pasta Panzani yang dijelaskan barusan, Barthes juga mendapati makna tambahan dari tanda-tanda linguistik dalam iklan Panzani, yaitu ‘yang khas atau berbau Italia (Italianitas)’. Berbeda dari makna denotatif yang tidak membutuhkan kode historis, makna konotatif di sini justru membutuhkan hal itu. Italianitas di dapat dari asonansi kata/kalimat (sekalipun dalam bahasa Perancis) ‘Pates Panzani’ dan ‘Pates-Sauce-Parmesan, A L’Italienne De Luxe’. Sebab ‘berasa’ Italia, maka Panzani Perancis menyiratkan soal rasa yang tak kalah kualitasnya dengan rasa asalnya, yakni rasa Italia. Asonansi ini didasarkan oleh pengalaman orang Perancis yang bergaul dengan turis-turis Italia. Dari sana, pengetahuan-pengetahuan stereotip orang-orang Perancis tentang Italia disusun—paling tidak tentang bahasa dan makanan khas orang Italia.

Kedua, pesan ikonik yang terkodekan (a coded iconic massage). Bila pesan linguistik tadi ditunjuk oleh tanda-tanda linguistik, maka pesan ikonik yang terkodekan ditunjukkan oleh tanda-tanda berupa ikon/gambar. Dalam pembacaan tanda-tanda ini diperlukan pengetahuan (kode). Apa yang diketahui oleh seorang audiens memegang peranan kunci dalam membaca pesan ikonik ini. Jenis pesan ini berada pada level konotasi atau simbolik. Guna kepentingan inilah, Barthes melakukan pembacaan secara fragmentaris alias memereteli iklan Panzani hingga ke unit-unit terkecil sesuai dengan ketertarikannya secara personal. Hal ini dilakukan Barthes dengan tujuan ekpslorasi tanda. Pada unit pertama, Barthes fokus pada gambar (tepatnya, foto) keranjang tali (seperti jala) yang seolah tidak mampu memuat (hingga terkesan menumpahkan) berbagai produk dari Panzani yang berupa dua bungkus pasta Panzani, sekaleng Panzani, sebungkus keju, tomat, jamur, lada, dan bawang putih. Fokus pertama ini dibaca Barthes sebagai ‘belanjaan dari pasar yang dibeli untuk disimpan sebagai persediaan’, Kedua, Barthes fokus pada gambar tomat, lada, dan jamur. Gambar ini menyarankan sebuah gagasan tentang ‘kesegaran’, lengkapnya, ‘kesegaran produk Panzani’. Makna kesegaran ini semakin kokoh bila kita melihat tiga warna dominan dalam iklan Panzani, kuning, hijau, dan merah. Warna cerah memang sengaja dipilih, sebab kesegaran akan menyangkut suatu yang berseri dan terang. Ketiga, Barthes fokus pada komposisi gambar. Berbagai jenis makanan produksi Panzani yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk komposisi tertentu. Ini dibaca Barthes sebagai gagasan bahwa ‘segala jenis makanan telah disediakan Panzani’. Dengan kata lain, brand Panzani menyediakan segala kebutuhan makanan khas Italia bagi orang Perancis, lengkap, semua ada, dan tak perlu melirik brand lain. Komposisi makanan iklan Panzani ini kemudian merangsang Barthes pada tanda yang keempat, yang sifatnya estetis. Yaitu seperti gambar yang stil life. Seperti lukisan dari benda mati namun berasa benar-benar hidup.

Sampai di sini, dari pembacaan empat fragmen macam ini, dapat disimpulkan secara ringkas bahwa pesan ikonik yang terkodekan ditunjukkan oleh ikon atau gambar, dan dalam menangkap pesan ini, diperlukan kerja penafsiran berdasarkan pengetahuan (kode) yang dimiliki si pembaca—sekalipun pengetahuan tersebut bersifat stereotip, umum atau global.

Ketiga, pesan ikonik yang tak terkodekan (a non-coded iconic massage). Iklan Panzani utamanya dibangun oleh gambar (foto) (berbagai produk Panzani yang disertai beberapa tomat, jamur, lada, dan bawang putih dalam sebuah keranjang Jala). Sifat khas dari gambar (foto) adalah merekam (mengopi) realitas secara sempurna, analogon. Gambar (foto) tidak mentransformasi (mengkodekan) sebuah realitas sebagaimana gambar atau lukisan, dlsb. Oleh karena sifat khas inilah, maka gambar dalam media iklan juga termasuk pesan ikonik yang tak terkodekan. Gambar iklan juga berada di level pemaknaan denotatif, tidak melulu konotatif seperti di pesan ikonik yang terkodekan. Bila seorang fotografer memotret buah tomat, misalnya, maka gambar yang dihasilkan adalah persis sebagaimana objek buah tomat. Sekalipun fotografer tersebut memotret dengan berbagai kebutuhan dan teknik fotografi, tetap saja tidak mengurangi sifat analogon dari gambar. Sifat hubungan antara penanda dengan petanda di sini adalah tautologis—tidak seperti bahasa yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat arbitrer. Dengan kata lain, penanda tidak lagi memerlukan petanda, alias penanda di sini adalah yang berdiri sendiri tanpa petanda. Atau dengan kata lainnya lagi, penanda telah padu dengan petanda sebab penanda sebagai analogon telah mengambil alih sepenuhnya petanda. Terasa paradoks dengan pesan linguistik (a massage without a code) di awal, bukan? Selain itu juga terasa kontradiktif dengan konsep trikotomotis tanda (tanda, penanda, dan petanda) dari Saussure yang diamini Barthes? Secara terminologis, jelas bahwa pesan linguistik dan ikonik yang tak terkodekan adalah berbeda. Paling mendasar, pesan linguistik ditunjukkan oleh bahasa linguistik, sedang ikonik yang tak terkodekan ditunjukkan oeh ikon/gambar. Kemudian, bila ditinjau dari audiens yang mengonsumsi gambar, maka kedua jenis pesan ini tidaklah bertentangan. Barthes mengatakan bahwa ini adalah sejenis pengalaman baru akan ruang dan waktu yang diberikan oleh gambar/foto. Pengalaman baru yang berbeda dari pemberian pesan linguistik.

//3

Pada penjelasan pesan ikonik yang terkodekan (a coded iconic massage) di atas, Barthes melakukan pembacaan secara fragmentaris. Iklan Panzani dipecah menjadi empat unit terkecil. Empat unit ini adalah penanda konotasi yang disusun gambar-gambar yang tersedia di iklan. Penanda kontasi ini disebut Barthes sebagai konotator. Singkatnya, Barthes mendapati empat konotator dalam iklan Panzani. Sekalipun terkesan fragmentaris, konotator-konotator ini tetap bersifat parsial. Parsial dalam arti memiliki keterhubungan sintagmatik (sekaligus paradigmatik). Konotator sebagai retorika budaya konsumsi. Retorika adalah konotator dan ideologi adalah petandanya. Iklan Panzani adalah cara produsennya untuk menyampaikan gagasannya tentang Italianitas, tentang belanja untuk persediaan, tentang kesegaran produk, tentang produk yang alamiah, dll. Sebuah cara yang begitu retoris, kiranya, agar audiens terbujuk dan menjadi yakin untuk (terus) membeli produk-produk dari Panzani. Sebuah ideologi konsumsi yang khas dari iklan, yang begitu subtil—sebab telah dinaturalisasi dengan sempurna oleh perpaduan tanda-tanda dalam iklan Panzani.


Bagian kedua tulisan ini dapat dibaca di Retorika Iklan Pendidikan (Bagian 2)

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *