“Sah…?”
“Saaaah!!!”
“Pertanyaan Pak Penghulu itu dijawab dengan sigap dan serempak oleh para saksi. Lalu saksi dan hadirin mengucap syukur. Setelah itu penghulu kampung membaca doa. Semua yang hadir mendengarkan dengan khusuk dan mengaminkan, termasuk segelintir tamu undangan lain yang hadir baik secara off-line maupun virtual, karena acara ini digelar live melalui medsos mempelai perempuan. Elliza, perempuan cantik itu, telah resmi dan sah bersuamikan telepon selulernya.”
Kutipan di atas diambil dari cerpen Elliza Mengaku Kawin dengan Telepon Selulernya, karya Zaenal Radar T. Secara garis besar, cerpen yang dimuat di koran Kompas (21 Mei 2023) ini, mengisahkan Elliza yang menikahi telepon selulernya. Kisah ini tentu tidak dapat ditelan mentah-mentah karena di dalamnya terdapat makna yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. Di sini, pengarang merepresentasikan makna tersebut melalui tanda-tanda semiotis, yang kemudian membuat cerpen ini terasa hidup dan memberikan sebuah gambaran bagi masyarakat, khususnya perempuan. Oleh karena itu, untuk mengerti maksud atau makna yang hendak disampaikan pengarang, perlu kerja-kerja interpretasi atau upaya pembongkaran makna.
Penerapan semiotika sebagai alat analisis karya sastra akan memusatkan perhatiannya pada tanda dan simbol yang ditemui. Semiotika akan memandang tanda (termasuk tanda pada karya sastra) sebagai sistem representasi yang kompleks, di mana setiap elemen seperti kata, setting suasana, karakter tokoh, dan tema, diyakini mengandung makna tambahan yang melebihi makna literalnya.
Dalam penerapan semiotika, para peneliti dan kritikus sastra akan menggunakan konsep-konsep semiotis untuk membahas bagaimana tanda-tanda dalam karya sastra dapat menyarankan makna tertentu. Analisis akan menyasar tanda-tanda verbal dan non-verbal yang muncul dalam teks, termasuk metafora, simbol, motif, dan konvensi sastra. Misalnya, burung merpati dapat melambangkan kedamaian atau spiritualitas dalam sebuah cerita.
Selain itu, semiotika juga memperhatikan cara penggunaan tata bahasa, struktur naratif, dan gaya penulisan dalam karya sastra. Semua elemen ini dapat dianggap sebagai tanda-tanda yang membantu membangun makna suatu teks. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, pembaca dapat memahami bagaimana tanda-tanda dan simbol-simbol yang digunakan dalam karya sastra berkontribusi terhadap tema, pesan, dan pengalaman estetis yang dihadirkan penulis.
Dalam cerpen Elliza Mengaku Kawin dengan Telepon Selulernya, telepon seluler dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dibutuhkan seluruh golongan masyarakat. Pada era modern saat ini, telepon seluler adalah keharusan yang mesti dimiliki semua orang. Telepon seluler menjadi bagian integral dari budaya dan masyarakat modern.
Perkembangan teknologi komunikasi dan kemajuan dalam desain dan fungsi telepon seluler telah mengubah cara kita berkomunikasi, mengakses informasi, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar. Komunikasi menjadi mudah dan instan. Telepon seluler memungkinkan kita untuk terhubung dengan orang lain, di mana pun dan kapan pun. Melalui panggilan suara dan pesan singkat, kita dapat berkomunikasi secara instan tanpa batasan jarak. Hal ini telah mengubah cara kita menjalin hubungan, berkoordinasi, dan berbagi informasi.
Tidak hanya itu, telepon seluler dengan dukungan internet juga memberi kemudahan dan kecepatan dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Dengan menggunakan telepon seluler, dalam hitungan detik, kita dapat mencari informasi, membaca berita, mengakses media sosial, dan mengeksplorasi berbagai sumber pengetahuan.
Selain informasi dan pengetahuan, telepon seluler juga memberikan hiburan. Dari mendengarkan musik, menonton video, membaca buku, bermain gim, hingga mengikuti konten digital terbaru lainnya, semua ada di telepon seluler melalui aplikasi atau platform yang terinstal. Di sini, telepon seluler telah memberikan hiburan yang portabel dan personal bagi penggunanya.
Telepon seluler juga telah mengubah cara kerja dan produktivitas kita. Dengan adanya aplikasi perkantoran, email, kalender, dan bank penyimpanan data digital, telepon seluler telah memungkinkan kita untuk bekerja secara efisien, di mana pun kita berada. Telepon seluler juga meningkatkan mobilitas sosial yang memungkinkan kita untuk tetap terhubung dan produktif saat bepergian. Secara keseluruhan, telepon seluler telah mengubah cara kita hidup, berkomunikasi, bekerja, dan bersosialisasi. Keberadaannya yang luas dan penting bagi masyarakat modern telah mengubah dinamika sosial, ekonomi, dan budaya secara menyeluruh.
Berdasarkan hal tersebut, tentulah, telepon seluler dapat menjadi entitas yang sangat penting sehingga posisinya dinilai dapat menggantikan peran lelaki sebagai suami, sebagaimana telepon seluler yang dinikahi Elliza, tokoh dalam cerpen yang dibahas di sini. Kutipan berikut ini memperlihatkan betapa pentingnya arti telepon seluler.
“Makhluk yang dia katakan tidak pernah neko-neko, tidak pernah protes, tidak pernah ngambek, dan selalu setia bersama menemani hari-harinya, yeah si telepon selulernya itu. Kalau netizen yang kerap memberi komentar negatif kepada pasangan baru ini, Elliza cukup menonaktifkan kolom komentar telepon selulernya, eh suaminya. Beres!”
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa makna telepon seluler tidak sebatas denotatif (seperti yang dijelaskan sebelumnya), melainkan dapat dipahami pula sebagai pilihan kebebasan perempuan.
Dalam kilas balik tokoh Elliza, ia dikisahkan gagal menikah karena pembatalan sepihak calon suaminya. Kegagalan ini lantas mengubah hidup Elliza. Elliza menjadi murung dan menghilang dari pergaulan di lingkungan kerjanya. Kutipan berikut menunjukkan kondisi Elliza:
“Dia sudah tidak seceria sebelumnya. Elliza berubah menjadi sosok pendiam dan tertutup. Bahkan hilang dari pergaulan dengan karyawan lain”.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa perempuan adalah subjek penderitaan. Sebagaimana pendapat Beauvoir yang menyebut bahwa secara biologis perempuan lebih memberatkan perasaan daripada logika.
Tidak hanya itu, pandangan lain dari tokoh Aku turut menguatkan pemikiran tokoh Elliza. Tokoh Aku turut menganggap skeptis hubungan pernikahan antarmanusia. Hal ini dapat dilihat dari adanya kutipan berikut:
“Elliza sudah seringkali mendengar ada pertemanan yang harus bubar gara-gara perceraian. Padahal, sebelum menikah hubungan mereka baik-baik saja. Itulah yang membuat Elliza berharap hubungan dengan saya dengannya cukup sebatas sahabat. Elliza hanya ingin hidup seperti sekarang ini, terus menjalin persahabatan dengan saya, merawat pertemanan yang sudah sekian lama terjalin, lalu memutuskan kawin dengan telepon selulernya.”
Kutipan barusan merepresentasi banyaknya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,3% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus. Data tersebut menguatkan diksi perceraian dalam monolog toko Aku.
Namun, pada akhirnya, Elliza berupaya mematahkan penderitaan yang ia rasakan. Kebangkitan Elliza ini seakan menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan. Elliza pun mengambil keputusan untuk menikahi telepon selulernya, sekalipun terkesan absurd dan dianggap tabu. Kutipan monolog tokoh Aku berikut ini menerangkan tabu dan absurditas pernikahan Elliza dengan telepon selulernya .
“Mendengar jawabannya, entah kenapa saya seolah terhipnotis kata-katanya. Saya jadi berpikir untuk menjadi seperti dirinya, kawin dengan telepon seluler saya. Tapi ini tentu sulit terjadi. Saya harus menghadapi keluarga besar saya, yang tentu akan menentang keinginan itu. Saya berbeda dengan Elliza, yang hidup sebatang kara, tidak seorang pun mampu menghalangi keinginannya memutuskan hidup sesuai dengan pilihannya.”
Secara tersurat, kutipan di atas menunjukkan pengambaran tokoh Elliza sebagai yang merepresentasikan eksistensi perempuan. Terlebih jika merujuk pada pernyataan, “Elliza, yang hidup sebatang kara, tidak seorang pun mampu menghalangi keinginannya memutuskan hidup sesuai dengan pilihannya”.
Beauvoir menekankan bahwa manusia tidak lahir dengan esensi atau tujuan yang tetap, tetapi ia menciptakan maknanya sendiri melalui tindakan dan pilihan yang dia buat. Dia menolak pandangan deterministik dan mengklaim bahwa manusia harus mengambil tanggung jawab penuh atas hidupnya dan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan mereka.
Dalam bukunya yang terkenal, The Second Sex (1949), Beauvoir menganalisis status dan pengalaman perempuan dalam masyarakat patriarki. Dia menekankan pentingnya kesetaraan gender dan menentang penindasan dan stereotip perempuan. Dengan demikian, kebebasan, tanggung jawab, dan pilihan individu, perlu ditekankan, dalam menciptakan makna dan menentukan arah hidup perempuan, serta perlunya melawan ketidakadilan sosial seperti seksisme dan penindasan gender.
Sebagai perempuan, tokoh Elliza diungkapkan sebagai objek dari laki-laki. Namun, ia berani memasuki pilihan yang terkesan tabu secara sosial, karena seperti yang diungkapkan Beauvoir bahwa perempuan dapat memilih kebebasan yang diberikan kepadanya. Tentunya, melalui pilihan tersebut, perempuan dapat menemukan makna dan arah hidup yang diinginkan. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut:
“Elliza tidak bicara di telepon selulernya, melainkan menekan-nekan tuts telepon selulernya sambil tertawa-tawa, entah sedang mengetik apa. Dia terus menatap layarnya, memandanginya beberapa saat, setelah itu dia tertawa lagi. Elliza tampak bahagia sekali. Saya belum pernah melihat perempuan itu sebahagia seperti sekarang. Tawanya begitu lepas.”
Diksi belum pernah melihat perempuan itu sebahagia seperti sekarang jelas menunjukkan sebuah kebahagiaan yang dirasakan Elliza dan turut pula dirasakan tokoh Aku. Apa yang dikatakan tokoh Aku sungguh dapat dipercaya, karena perannya yang dominan dalam cerita, walaupun terkadang sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama dengan kata ganti saya sebagai pengamat dalam cerita.
Tabu lingkungan sosial bagi seorang perempuan adalah sebuah kungkungan, karena dapat menghambat perempuan dalam menentukan dan menjalani pilihan hidupnya. Oleh karena itu, eksistensi perempuan seyogianya ditempatkan dalam ruang kebebasan. Memilih makna dan arah hidup yang diinginkan perempuan adalah kebutuhan, seperti yang digambarkan tokoh Elliza dalam cerpen ini.