Bongak

Indonesia, Pemboros Makanan

Food Loss and Waste (FLW) atau Kerugian dan Pemborosan Pangan adalah istilah yang merujuk pada jumlah makanan yang hilang atau terbuang dalam rantai pasokan pangan, mulai dari produksi dan pengolahan hingga distribusi dan konsumsi. Kerugian pangan terjadi saat ada penurunan kuantitas atau kualitas makanan selama produksi, penanganan pascapanen, dan penyimpanan. Pemborosan pangan, di sisi lain, terjadi saat makanan yang masih layak dikonsumsi dibuang, baik oleh pengecer maupun konsumen, karena berbagai alasan seperti kerusakan, pembelian berlebihan, atau penanganan yang tidak tepat. FLW adalah masalah global yang memiliki dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan, termasuk pemborosan sumber daya berharga seperti air, lahan, energi, dan tenaga kerja, serta kontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dan kelaparan. Berbagai upaya pun dilakukan di tingkat internasional, nasional, dan lokal untuk mengurangi kerugian dan pemborosan pangan, mempromosikan sistem pangan yang berkelanjutan, dan mengatasi tantangan yang terkait dengan FLW.

Secara global, FAO memperkirakan 14% Global FLW pada makanan yang terjadi antara panen dan distribusi dengan total kerugian mencapai 400 miliar USD. Di Indonesia, menurut BAPPENAS RI mengungkapkan bahwa FLW menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp213-551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5% PDB Indonesia per tahun. Pada periode 2000–2019 atau selama 20 tahun, data menunjukkan bahwa FLW didominasi oleh beras, jagung, gandum, dan produk terkait. Sementara itu, jenis pangan yang prosesnya paling tidak efisien adalah sayur-sayuran, di mana kehilangannya mencapai 62,8% dari seluruh suplai domestik sayur-sayuran yang ada di Indonesia. Penyebab FLW di Indonesia di antaranya adalah kelebihan porsi, pilihan menu yang terlalu banyak, penyajian yang berlebihan dan tidak sesuai permintaan konsumen, serta kebiasaan menimbun makanan sehingga terjadi kebusukan sebelum sempat diolah.

Beberapa negara telah berhasil melakukan mitigasi terhadap kondisi ini, sebut saja negara Perancis. Penanggulangan FLW di Perancis adalah dengan mengeluarkan hukum baru terkait food waste sejak 2012, yang mewajibkan seluruh masyarakat meminimalisir sampah organik dengan cara mewajibkan donasi makanan, melakukan diskon untuk sektor bisnis dan kuliner, dan mendaur ulang sampah. Selain itu, melarang toko swalayan untuk membuang limbah makanan. Swalayan diharuskan untuk menyumbang kelebihan makanan ke badan amal dan bank makanan.

Bagi mereka yang melanggar, akan dikenakan denda. Dan juga, memberlakukan layanan pembuangan limbah rumah tangga dengan mendorong rumah tangga untuk mendaur ulang limbah makanan mereka. Sampah yang dikumpulkan kemudian akan diubah menjadi pupuk atau dikelola di pabrik mekanisasi untuk mengubahnya menjadi panas dan listrik atau biofuel. Di sisi yang lain, pemerintah Perancis menginisiasi kerjasama dengan sektor privat untuk bergabung dalam aksi anti food waste. Dengan berbagai langkah yang dilakukan, Perancis berhasil menekan FLW dengan angka food sustainability index sebesar 83,80 persen.

Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) tujuan 12 butir ke-3 yaitu dengan memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Pada tahun 2030, mengurangi separuh jumlah sampah pangan global per kapita pada tingkat retail dan konsumen dan mengurangi kerugian makanan sepanjang produksi dan rantai penawaran, termasuk kerugian pasca panen. Kebijakan pengelolaan FLW menjadi bagian dari kebijakan pembangunan rendah karbon yang telah menjadi program prioritas dalam RPJMN 2020-2024. Beberapa kegiatan prioritas dalam pembangunan rendah karbon seperti pertanian berkelanjutan dan penanganan limbah menjadi rangkaian upaya untuk mewujudkan ekonomi sirkular sekaligus mengelola FLW secara lebih berkelanjutan di Indonesia.

Kerja sama lintas sektoral diperlukan untuk menyukseskan program yang telah dirancang tersebut dengan berbagai macam strategi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan pemerintah tersebut, maka dapat pula dilakukan dengan merancang sebuah model rantai pasok cerdas berkelanjutan untuk memitigasi FLW yang sedang terjadi di Indonesia. Model ini merupakan bagian dari strategi pembenahan penunjang sistem pangan. Model ini didukung dengan sistem informasi yang terintegrasi untuk melakukan fungsi tracking, monitoring dan kontrol sehingga mewujudkan rantai pasok yang stabil dari hulu ke hilir, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan umur simpan serta mempercepat proses kemandirian pangan. Dukungan sistem informasi dalam program juga dimaksudkan untuk melacak beberapa kebutuhan yang akan diintegrasikan dari pemasok sampai end user, untuk mengetahui komoditas atau produk yang akan di kirimkan, memantau proses produksi, serta mengatur proses distribusi.

Indonesia perlu segera menghadapi tantangan serius yang dihadapi dalam hal FLW. Dengan langkah-langkah yang tepat, seperti peningkatan infrastruktur dan teknologi pangan, edukasi publik tentang pengelolaan pangan yang berkelanjutan, dan kolaborasi aktif antara pemerintah, produsen, dan konsumen, Indonesia dapat mengatasi darurat FLW dan mencapai sistem pangan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Hanya dengan langkah-langkah konkret ini, kita dapat meminimalkan kerugian sumber daya, mengurangi dampak lingkungan, dan memastikan bahwa setiap orang di Indonesia memiliki akses yang cukup dan aman terhadap pangan yang berkualitas.

Kiki Yulianto

Dosen Departemen Teknologi Industri Pertanian, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *