Tiba-tiba hari berubah kian mencekam. Langit menghitam dihujani bebatuan. Udara yang sebelumnya dingin, kini telah berubah menjadi panas. Api amarah telah membakar seluruh emosi masyarakat. Mereka dendam antar sesama. Perang saudara sepertinya akan berlangsung.
Sejak hari itu pula, luntur semua persaudaraan mereka. Deklarasi pahit dari pemimpin kelompok telah dikumandangkan. Saling siap mati demi menjaga kepentingan dan prinsip masing-masing. Apa yang telah diwariskan oleh ompung mereka tentang merawat alam, serta menghargai tanah yang sejak dulu memberikan hidup, kini perlahan mulai memudar. Semuanya perlahan hancur oleh kedatangan perusahaan panas bumi itu. Perusahaan yang menjadi biang dari segala persoalan. Mereka semua harus bertanggung jawab, sebab karena mereka perang saudara bermula, pertumpahan darah terjadi, dan kerusakan lingkungan tak dapat dihentikan. Perusahaan itu awal mula lahirnya malapetaka bagi masyarakat Mandailing.
“Apa kau masih ingin terus menerus miskin,” teriak pemimpin Moksa.
“Lebih baik miskin, daripada diperbudak kepalsuan.” balas pemimpin Sidordor.
“Pemikiran kolot, dan takkan pernah maju, kau tak layak jadi pemimpin Sidordor.”
“Aku? Tidak layak? Harusnya kau yang lebih pantas mendapatkan kata-kata itu. Kau telah lupa diri, dengan bangga meludahi ke atas, memperkosa seluruh peninggalan leluhur hanya karena kepentingan pribadi. Kau itu lupa diri, lupa budi, pada tanah yang sejak kecil memberimu makan. Tawaran mereka lebih besar, tapi ingatlah kerugian hidupmu jauh lebih besar.”
Dialog itu alot, tidak ada titik tengah. Keduanya punya prinsip yang teguh. Tidak ada jalan untuk mempertemukan mereka, selain kesepakatan keduanya, yang sangat ingin berperang antar desa.
Sejak pertemuan kedua pemimpin itu, lembah dan puncak Sorik Marapi tampak lebih horor. Bukan sebab persoalan mistis, namun lebih kepada perang saudara yang tak tahu entah kapan akan berakhir. Kepentingan perusahaan yang sejatinya tak pernah menguntungkan warga dan lingkungan, kini telah dilindungi oleh seorang pemimpin yang ingin merubah nasib untuk hidup lebih berpunya.
Melihat hal ini, barang tentu para pemilik perusahaan akan tersenyum manis, sembari duduk dengan ditemani kepulan asap rokok. Perusahaan panas bumi yang tak jauh berbeda dengan kompeni. Menumpahkan perpecahan, dan mengadu domba antar mereka yang sudah ratusan tahun menjalin hubungan dengan urat tanah Sorik Marapi.
Akan sangat sulit untuk meredam emosi mereka. Orang-orang yang kecewa dan penuh khawatir menatap masa depannya. Emosi itu kian memuncak, tampak jelas dari mata mereka yang menyala. Mata yang penuh dendam dan darah yang mendidih. Tersirat makna bahwa semuanya telah berakhir. Mulai hari itu juga mereka tak lagi mengenal antara satu dengan yang lain.
Jalan lintas diboikot. Batu-batu mulai melayang, berhamburan kemana-mana, seperti biji buah lerak yang dihamburkan demikian ringan. Tak lebih parah dengan tragedi reformasi, ketika batu juga turut menghujani peristiwa perang antar desa kala itu.
Batu-batu yang dilemparkan, ada yang tepat mengena pada bagian kepala, wajah, badan, hingga membuat mereka yang terkena tersungkur dan mengerang kesakitan. Tidak sampai di situ saja, batu-batu itu tak jarang pula menyasar pada rumah warga, hingga memecahkan kaca rumah-rumah mereka. Segera perempuan dan anak-anak kecil diungsikan, menjauh dari lokasi pecahnya konflik.
Entah berapa kerugian yang datang menghampiri peristiwa itu. Mulai dari putusnya tali persaudaraan, korban jiwa, dan kerusakan alam yang tak akan pernah terjamin lagi setelah nanti digerogoti oleh perusahaan itu.
Sejak kedatangan perusahaan itu, kerusakan lingkungan berlomba-lomba datang, bahkan tidak berapa lama setelah perusahaan itu berdiri, telah memakan korban yang membuat berbagai nyawa melayang, disebabkan pipa gas yang bocor dan menyebabkan keracunan. Korbannya adalah warga desa yang tinggal dan dekat dengan lokasi berdirinya perusahaan itu.
Tidak ada harapan untuk keras kepala dan bertahan. Rakyat desa yang tadinya memilih untuk bersikukuh tinggal lambat laun menjadi tak berdaya dan akan terusir. Keteguhan hati mereka perlahan memudar dengan seribu dorongan keterpaksaan. Tidak ada yang lebih kuat dari para pengelola perusahaan itu. Ditambah dengan sokongan dari beberapa orang penting yang terdiri dari tetua adat, dan pemilik kuasa atas tanah-tanah itu. Mereka yang tergabung dalam perusahaan panas bumi itu bukan sembarang orang, dan berbilang penting. Mereka semua orang kuat. Punya modal, dan apalagi kalau bukan pemegang kuasa.