Bongak

Stigmatisasi Sosial dan Kajian Religi

Sebagai bidang studi, agama senantiasa menjadi topik yang hangat untuk dikaji. Tak terkecuali bagi saya. Saya menyodorkan isu agama dan keragaman kepada mahasiswa untuk dibahas di salah satu mata kuliah yang saya ampu. Isu ini perlu disodorkan, karena salah satu tujuan mata kuliah ini adalah memantik sensitifitas dan mengedepankan nalar kritis dalam memahami realitas sosial dan masalah-masalah di dalamnya melalui penengahan isu atau kasus yang relevan di Indonesia. Tujuan ini kemudian saya lengkapi bahwa sensitifitas dan nalar kritis akan lebih bermakna jika dilakukan secara lebih progresif, kritis, egaliter, dan berpihak pada narasi yang dipinggirkan. Singkatnya, nomenklatur mata kuliah ini bervisi, dalam bahasa berbeda yang mungkin terkesan ambisius namun perlu, “agar lebih memanusiawikan manusia,” begitu kata Drijarkara.

Salah satu referensi utama isu agama dan keragaman ini bukan buku atau artikel ilmiah, melainkan film dokumenter yang berjudul Atas Nama Percaya. Film ini adalah film pertama dari seri Indonesian Pluralities, hasil kerja kolaborasi antara Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Watchdoc Documentary, dan Pardee School of Global Studies, Boston University (dengan dukungan dari the Henry Luce Foundation). Film ini berkisah tentang para penganut/penghayat agama leluhur. Dua yang dikisahkan dalam film ini adalah Komunitas Perjalanan di Jawa Barat dan penganut agama leluhur Marapu di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Barat. Dalam bentangan sejarahnya, mereka senantiasa mengalami diskriminasi dan dinafikan hak-hak sipilnya karena keyakinan atau kepercayaan mereka tidak diakui sebagai agama oleh negara melalui Departemen Agama (kini Kementerian Agama). Negara lebih suka pada istilah ‘kepercayaan’ ketimbang agama leluhur (indigenous religion). Sebab negara lebih memaknai agama secara politis dan cenderung mengabaikan pandangan para pemeluknya. Agama didefinisikan oleh negara sebagai yang memiliki konsep Tuhan, memiliki nabi, kitab suci, dan yang mendapat pengakuan komunitas internasional. Untuk kriteria terakhir, pengakuan komunitas internasional, para penganut agama leluhur begitu sukar memenuhinya. Mengapa? Karena agama leluhur sangat kental dengan lokalitasnya, begitu lekat dengan wilayah atau teritorinya. Karena kelokalannya ini, agama leluhur sulit rasanya memeroleh pengakuan global (internasional). Kalaupun bisa, maka akan dibutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan untuk itu. Karena lokalitas itu pula, oleh negara, agama leluhur lantas lebih dimengerti sebagai budaya dan adat serta dipandang lebih berkaitan dengan urusan-urusan yang profan dan otomatis dilepaskan dari hal-hal yang sakral (yang merupakan domain agama)—sekalipun para penghayat agama leluhur memaknai budaya dan adatnya sebagai agama.

(Perihal film Atas Nama Percaya, ada bacaan pendamping film yang ditulis oleh Dr. Samsul Maarif, koordinator riset film, yang dapat dibaca di sini.)

Ketidakberesan pemaknaan agama oleh negara ini kemudian diteruskan di level masyarakat, di mana sebagian dari kita akan dengan mudah menstigma mereka sebagai primitif dan sesat. Primitif karena mereka menganut agama leluhur (nenek moyang) yang dengan sinis dinilai ‘ketinggalan jaman’ dan sesat, karena mereka berbeda dari enam agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu) yang diakui oleh negara. Sesat di sini senada dengan label kafir. Stigma negatif semacam ini juga saya temui saat saya bersama mahasiswa mendiskusikan film Atas Nama Percaya di kelas.

Seorang mahasiswa mengungkapkan kekhawatirannya akan keberadaan agama leluhur dan para penganutnya. Ia khawatir, jika agama leluhur tidak ditertibkan dan tak kunjung digiring ke ‘jalan yang benar’ sebagaimana ‘kebenaran’ teologis yang diajarkan oleh enam agama yang diakui negara, maka akan berakibat pada semakin banyak masyarakat yang akan menjadi sesat. Saya kemudian mencoba menguji argumen ‘kekhawatiran’ tersebut. Tapi yang saya dapati bukan argumen melainkan, lagi-lagi stigma negatif, bahwa agama leluhur menyesatkan. Celakanya, seiring jalannya diskusi, ‘kekhawatiran’ ini rupanya juga diungkapkan oleh mahasiswa lain.

Stigma negatif yang nyata adanya ini jelas akan menghalangi tujuan yang diamanatkan oleh negara melalui mata kuliah yang diwajibkan ini untuk dipelajari oleh perguruan tinggi di Indonesia, yakni memanusiakan manusia (to humanior). Sebab stigma yang didasarkan perasaan superioritas (yang mengancam) ini bisa jadi akan dengan mudah mengantarkan seseorang dan bahkan sekelompok orang pada persoalan yang lebih serius, yaitu eksklusi sosial, perlakuan diskriminatif, serta menjadi rentan untuk berkonflik dengan mereka yang berbeda dan minoritas. Mengapa stigma buruk begitu berlapis dan menempel pada agama leluhur dan para penghayatnya? Selain konsekuensi logis dari ketidakberesan pemaknaan agama oleh negara yang sangat dipengaruhi oleh paradigma ‘agama-agama dunia’ (world religion), stigma demikian juga muncul karena minimnya pengetahuan tentang agama-agama, termasuk agama leluhur yang ada dan hidup di Indonesia. Dr. Samsul Maarif, secara lugas menyebut, “Di antara sebab muncul dan berkembangnya stigma negatif terhadap kelompok kepercayaan/agama leluhur karena ajarannya jarang, atau bahkan tidak dipelajari atau tidak diajarkan. Masyarakat umum tidak mendapatkan pendidikan dan pengetahuan tentang kepercayaan/agama leluhur. Sebagai warga negara yang sejatinya setara dengan warga negara lainnya, penghayat kepercayaan/agama leluhur penting diketahui dan dipelajari. Kita semua penting mengenali dan menghargai, dan bahkan mendukungnya agar mereka dapat terbebaskan dari diskriminasi.”

Dengan kata lain, kita memerlukan Kajian Religi atau Studi Agama (Religious Studies), terutama bagi calon sarjana di perguruan-perguruan tinggi. Keperluan ini rasanya setara dengan perlunya mata kuliah wajib umum seperti Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Kewirausahaan, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan lain sebagainya.

Kajian Religi yang dimaksud bukan dalam arti mempelajari agama-agama secara teologis (sebagai doktrin) seperti misalnya dalam mata kuliah Pendidikan Agama yang diwajibkan untuk perguruan tinggi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Agama dalam Kajian Religi lebih diposisikan sebagai bagian dari pembentukan budaya. Artinya, Kajian Religi lebih menempatkan agama sebagai bidang studi sebagai yang dekat dengan studi-studi humaniora. Melalui penempatan ini, agama dalam Kajian Religi tidak akan semata jatuh pada model studi keagamaan yang penuh dengan wacana teologis, melainkan juga menyentuh model studi kebudayaan (cultural studies). Bahwa agama, seperti kata Cicero yang disitir Richard King, bukan hanya religio tapi juga traditio. Bahwa agama dalam Kajian Religi, tidak ditelusuri berdasarkan klaim-klaim teologis yang yang non-empiris semata, atau pengalaman-pengalaman spiritual (transendental), tapi lebih pada pengalaman-pengalaman materialitas (material culture) yang menjadi tradisi (nilai-nilai kultural) dan telah berlangsung dalam praktik agama-agama, seperti halnya dalam agama-agama leluhur.

Dengan penempatan ini pula, Kajian Religi (mutakhir) akan menuntut perhatian pada kelompok-kelompok minoritas dalam agama. Dan secara berkelanjutan, Kajian Religi dalam perspektif budaya macam ini akan menjangkau pada situasi baru, paling tidak akan menjangkau persoalan identitas, lokalitas, dan hibriditas.

Untuk calon sarjana di tingkat S1, barangkali batasan Kajian Religi yang dimaksud cukup sebatas pada hal-hal mendasar seperti yang disebut barusan. Atau lebih tepat jika dibilang bahwa Kajian Religi yang dimaksud adalah ‘sebelum Kajian Religi’ atau aspek-aspek pengantar ke Kajian Religi, alias belum sampai pada Kajian Religi. Untuk tingkat S1, kiranya Kajian Religi di sini tidak dibayangkan sebagaimana yang berada di jenjang studi yang lebih tinggi, S2 dan S3, seperti yang dikembangkan UGM melalui CRCS, atau konsorsium tiga universitas, UGM, UKDW, dan UIN Sunan Kalijaga, dengan ICRS-nya. Juga jangan dibayangkan seperti Kajian Religi pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (kini Kajian Budaya) di USD, atau religious studies lain yang dijalankan di berbagai universitas lain di Indonesia. Sebab, Kajian Religi (mutakhir) semacam itu akan menyentuh kesadaran pada agama dan situasi ‘baru’ seperti pascakolonialitas, diaspora, globalisasi, migrasi, dan lain-lain. Termasuk juga pada kesadaran akan komodifikasi agama, budaya pop (pop culture), material culture (kebertubuhan, historisitas) dan lain sebagainya. Tentu akan memberatkan dan melelahkan jika itu diterapkan pada jenjang S1. Apalagi jika itu semua dipadatkan menjadi satu mata kuliah saja. Maka jalan tengahnya adalah, untuk calon sarjana S1, sekali lagi, Kajian Religi yang dimaksud adalah pengantar menuju Kajian Religi.

Pada akhirnya, diperlukannya pengantar Kajian Religi sebagai mata kuliah, secara mendasar agar kita bisa mengenali agama-agama lain sebagai religio sekalligus traditio. Pengenalan melalui penengahan berbagai studi kasus yang relevan, sembari secara perlahan memamah konsep demi konsep, prinsip demi prinsip dalam Kajian Religi, agar kita tidak mudah jatuh pada kubangan stigma-stigma negatif kepada yang berbeda dari kita (other/otherness). Agar kita tidak buta pada eksistensi agama-agama lain, termasuk agama leluhur. Alhasil, Kajian Religi yang demikian akan memberikan pengalaman sosial yang humanior, tidak seperti pengalaman positivistik yang diberikan melalui Pendidikan Agama yang ada dan dijalankan sekarang ini, atau pengalaman yang serba fiqh minded seperti yang ditunjukkan oleh beberapa mahasiswa yang disebut di awal tulisan ini.

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *