Belum tuntas polemik atas tuduhan Gubernur Sumbar yang menuding pers banyak memproduksi hoaks, ekosistem pers Sumbar kembali dirundung persoalan. Pelantikan Wawako Padang pada Selasa (9/5) lalu diwarnai tindakan penghalang-halangan kerja jurnalistik melalui pengusiran awak media oleh oknum pegawai Pemprov dan oknum Satpol PP.
Kasus ini bermula dari oknum pegawai Pemprov, diduga dari bagian protokoler, yang meminta agar jurnalis meninggalkan Auditorium Istana Gubernur yang menjadi lokasi pelantikan Wawako Padang. Hal itu diikuti oleh tindakan oknum Satpol PP yang meminta awak media segera meninggalkan lokasi. Tidak cukup sampai di sana. Tindakan pengusiran tanpa alasan jelas dan secara terang menghalang-halangi kerja jurnalistik itu diperkuat oleh perbuatan seorang oknum berpakaian kemeja putih, diduga sebagai pegawai Pemprov Sumbar, yang menyatakan agar jurnalis tidak perlu melakukan liputan karena setelah acara Pemprov akan memberi press release.
Setelah peristiwa tidak patut itu terjadi, Plt. Kabiro Adpim yang menemui wartawan menyampaikan komplainnya atas pengusiran tersebut. Senada dengan itu, Gubernur Sumbar yang dimintai konfirmasi oleh jurnalis mengaku tidak mengetahui adanya larangan peliputan. Pada kesempatan itu, Gubernur menyayangkan pengusiran yang dialami jurnalis dan mempersilakan para wartawan untuk membuat laporan jika hal itu dilakukan oleh oknum yang bertugas di bawah Gubernur.
Menyigi Kronologi
Berdasarkan kesaksian salah seorang wartawan yang mengalami pengusiran, telah ada perbuatan penghalangan kerja jurnalistik sejak awak media hendak memasuki Istana Gubernur. Perbuatan itu dilakukan oleh oknum Satpol PP penjaga pintu samping yang melarang jurnalis untuk memasuki Istana Gubernur tanpa alasan yang jelas.
Terlepas dari Plt. Kabiro Adpim yang menyampaikan komplainnya dan keterangan Gubernur Sumbar yang menyayangkan pengusiran tersebut, kronologi di atas dapat memberi gambaran bahwa penghalang-halangan kerja jurnalistik saat pelantikan Wawako Padang bukanlah spontanitas yang dilakukan tanpa koordinasi yang bersifat vertikal dan struktural.
Dugaan ini dapat ditarik dari peristiwa pertama yang terjadi di pintu masuk samping. Peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pertama ini dilanjutkan dengan pengusiran di Auditorium Istana Gubernur yang dilakukan oleh oknum pegawai Pemprov yang bertindak sebagai pembawa acara. Perbuatan kedua ini bersifat sistematis dibanding perbuatan pertama karena keberadaan oknum-oknum lainnya yang mempertegas pengusiran kepada jurnalis.
Kronologi ini terang memperlihatkan sifat instruktif karena dilakukan secara terstruktur dan sistematis untuk menghalang-halangi kerja jurnalistik. Dengan kata lain, perbuatan itu secara jelas telah mengangkangi ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU Pers yang memberi jaminan kepada jurnalis untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dan celakanya, hal itu dilakukan oleh Pemprov Sumbar yang digadang-gadang begitu madani.
Tindak Pidana
Peristiwa ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Kebebasan pers merupakan salah satu indikator negara hukum yang menghendaki transparansi dalam bingkai demokrasi. Arti kata, negara berikut komponen yang menyusun definisi pemerintahan harus menghormati, menjaga dan melindungi kemerdekaan pers untuk menjalankan kerja jurnalistik.
Sementara perbuatan oknum-oknum yang menghalangi kerja jurnalistik tersebut bukanlah persoalan sepele yang dapat dipandang sebelah mata, dan hal itu jelas merupakan bentuk perlawanan pada nilai-nilai demokrasi yang diniscayakan dalam konsep negara hukum. Secara simultan, perbuatan penghalangan kerja jurnalistik, terutama oleh oknum-oknum di instansi pemerintahan, berpotensi besar menghasilkan preseden buruk yang dapat merusak ekosistem pers sekaligus merongrong nilai-nilai demokrasi dan transparansi penyelenggaraan negara. Untuk itu UU Pers juga mengatur perbuatan penghalangan kerja jurnalistik melalui pengaturan Pasal 18 Ayat (1) UU Pers dengan sanksi pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Singkat kata, peristiwa pengusiran jurnalis yang merupakan bentuk penghalang-halangan terhadap kerja jurnalistik oleh oknum-oknum tersebut merupakan persoalan serius yang dapat dipidana. Kejadian ini menambah daftar panjang buruknya relasi antara Pemprov Sumbar dengan insan pers yang seharusnya terjalin secara baik untuk mengawal jalannya pemerintahan daerah.
Jikalau Gubernur bersama jajarannya benar-benar menghendaki pemerintahan madani yang berjalan dalam bingkai demokrasi, seharusnya persitiwa memalukan ini menjadi pembelajaran agar Pemprov Sumbar lebih menghormati profesi jurnalis dan secara jujur mengakui kesalahannya. Hal itu dapat dimulai dengan permintaan maaf Gubernur Sumbar atas tudingan hoaks kepada insan pers beberapa waktu lalu, berikut pengakuan kesalahan atas pengusiran yang dilakukan beberapa oknum tersebut.
Bukankah Islam mengajarkan Buya Gubernur untuk jujur dan memohon maaf atas kesalahan?