//1
Belum lama ini, seorang mahasiswa bertanya pada saya, “Jika semiotika dan hermeneutika adalah tradisi Barat, apakah tidak bertentangan dengan hadis yang melarang kita tasyabbuh?” Pertanyaan tersebut diajukan saat kami berdiskusi perihal asumsi dan signifikansi semiotika dan hermeneutika diintegrasikan ke dalam kerja penafsiran Al-Quran. Sedangkan tasyabbuh yang dimaksud merujuk pada hadis (sebagian ulama hadis menyebut hadis ini dhaif atau lemah) Nabi Muhammad saw., yang dalam bahasa Indonesia berbunyi, “Barang siapa yang meniru/menyerupai suatu kaum, maka dengan tidak langsung dia termasuk bagian kaum itu.”
Selain berupaya memahami manusia dan kompleksitas kehidupannya, semangat awal hermeneutika memang untuk memahami Bible. Kebanyakan para pemikir hermeneutika pun adalah orang Jerman, Perancis, dan sedikit Italia. Mereka adalah orang Barat yang non-Muslim. Sama halnya dengan semiotika, yang pada perkembangannya, khususnya yang digagas Roland Barthes, juga merambah pada upaya memahami Bible, dan Barthes adalah orang Perancis yang lahir dari Ibu yang taat pada iman Protestan. Kenyataan inilah yang kiranya melatari pertanyaan mahasiswa tadi.
Di titik ini, saya kemudian digiring ke kontroversi semiotika dan hermeneutika yang masih saja bermuara pada sentimen negatif berlatar keagamaan dan polemik pembaratan, alih-alih diletakkan pada persoalan filosofis maupun teoritik. Masih saja ada anggapan, jika semiotika dan hermeneutika menjadi aspek metodis tafsir Alquran, maka akan merusak tatanan diskursus ulumul Qur’an. Atau ekstrimnya, jika semiotika dan hermeneutika diletakkan dalam kajian tafsir Al-Quran, maka si pengkaji/penafsir menjadi bagian dari Barat, dan lantas menjadi kafir.
Di tulisan ini saya tidak berwenang untuk meninjau dalil hukum menyerupai suatu kaum yang didasarkan pada hadis tertentu. Sebab saya bukan ulama hadis juga bukan ulama fikih. Saya tidak mempelajari hadis dan fikih secara saksama. Saya juga tidak ingin mengeksplorasi argumen penyanggah bagi yang ‘anti’ integrasi semiotika dan hermeneutika ke dalam praktik penafsiran Al-Quran. Saya sedang tidak berhasrat untuk itu. Saya sedang tertarik meletakkan pertanyaan mahasiswa tadi ke dalam gagasan autentisitas dan hibriditas dalam masyarakat pascakolonial.
//2
Pertanyaan mahasiswa di atas juga paralel dengan ‘tradisi tahunan’ keberagamaan kita di Indonesia. Tiap tahun kita selalu disodorkan (oleh mereka yang puris) pada hukum haram mengucapkan selamat natal bagi umat Islam dan larangan merayakan tahun baru masehi dengan petasan atau kembang api, karena dianggap menyerupai umat Nasrani dan Majusi. Atau larangan merayakan ulang tahun dengan kue dan meniup lilin, dengan alasan yang sama. Di saat bersamaan, mereka lupa, bahwa keberadaan menara dalam arsitektur Islam (masjid) diadopsi dari tradisi kaum Majusi yang meletakkan api sebagai sesembahannya di manaaroh, tempat api. Begitu pula dengan kubah masjid yang dikenal sekarang merupakan transformasi dari kubah-kubah sacred space kaum pagan, lalu ke Persia, Greco-Roman, Byzantium, kemudian Islam.
Sikap menolak menyerupai (tasyabbuh) dan alpa dalam mengidentifikasi pengalaman hidup (lived experience) yang begitu campur-aduk tadi hanya sedikit contoh yang berkenaan dengan pemikiran dan arsitektur. Masih ada contoh-contoh lain yang akan menjadi daftar panjang, jika disebutkan.
Seperti kaset lama yang terus diputar, seorang masih saja merasa dirinya autentik (murni dan asli). Merasa tidak mengadopsi kebudayaan lain, baik dalam berperilaku maupun berpikir. Meyangka diri telah final, padahal hidup itu dinamis dan berkembang. Merasa tidak menyerupai orang lain, padahal hidup dan lingkungannya begitu hibrid!
Konsep hibrid yang dimaksud merujuk pada pandangan Homi K. Bhabha, salah satu dari ‘trinitas’ Kajian Pascakolonial—selain Edward Said dan Gayatri Spivak. Dalam bukunya The Location of Culture (1994), Bhabha menyebut bahwa sifat hibrid merupakan keniscayaan bagi setiap orang atau kelompok masyarakat. Hibrid, yakni kondisi berbaur dan bercampurnya banyak budaya, bahasa, dan ras, sebagai konsekuensi logis dari interaksi antar manusia yang saling memengaruhi. Hibriditas akan selalu ada dalam setiap subjek dan kebudayaan, dan wacana kolonial kemudian menginterupsi keniscayaan ini dengan memberi kesan bahwa setiap budaya itu terpisah secara tegas, dan final. Dengan kata lain, wacana kolonial menolak sifat individu atau kelompok masyarakat di tanah koloninya sebagai yang cair dan dinamis.
Konsep hibriditas diketengahkan Bhabha sebagai upaya mengkritisi fiksasi tadi, yang dijalankan melalui proyek sterotipisasi. Kolonial akan selalu berambisi menstereotipisasi yang terjajah di tengah realitas yang hibrid. Stereotipisasi oleh wacana kolonial selalu mengasumsikan kondisi yang terjajah adalah fix dan koeksis dengan keadaan yang tidak teratur dan berantakan. Padahal realitasnya, tidak semua yang terjajah demikian. Namun oleh wacana kolonial, realitas ini kemudian diprasangkakan sebagai yang disorder. Mengapa? Sebab dengan menstereotipisasi terjajah, penjajah dapat mengeliminasi kecemasan (anxiety) penjajah, bahwa hibriditas akan mengancam hierarki identitas antara penjajah yang selalu ‘baik’ dan terjajah yang selalu ‘buruk’.
Pada dasarnya, efek kolonialisme secara pasti akan terus ditanggung oleh umat beragama—yang ‘bekas’ jajahan. Sehingga, beragama (Islam) bagi masyarakat pascakolonial acapkali mengagankan gagasan autentisitas yang mustahil. Mustahil, sebab dalam bentang sejarahnya, Islam menyebar luas ke penjuru dunia berkat berkelindan (bercampur) dengan masyarakat dan kebudayaan lokal. Oleh kenyataan ini, mempertanyakan atau berupaya mencari jawabnya atas Islam yang ‘asli’ adalah buang waktu, merupakan pekerjaan yang sia-sia. Individu dan kelompok yang puris selalu mendambakan menjadi yang khas dan tersendiri, berbeda dari yang lain, terutama dari umat agama Ibrahimiah terdahulu: Yahudi dan Kristen. Untuk itu mereka menolak untuk tasyabbuh. Mereka merasa cemas (anxiety) jika sama dengan yang lain, bahkan sampai pada urusan di luar iman dan akidah, seperti pada persoalan semiotika dan hermeneutika (yang bisa saja sesuai dengan nature of the Qur’an, yang sakral dan sebagai wahyu Allah Swt.), mengucap selamat Natal, dan meniup lilin di kue ulang tahun dan merayakan tahun baru masehi dengan petasan dan kembang api.
Dan, anxiety di sini justru datangnya dari masyarakat pascakolonial! Kecemasan atas identitas yang distereotipisasi sebagai yang fix, demi menyangkal kenyataan yang hibrid: dalam berpakaian, berpikir, berbahasa tubuh, dan bergama sekalipun, demi meneguhkan identitas yang diangankan ‘murni’.
Di sisi lain, mereka yang puris memandang bahwa meniru berarti menjadi sama, menjadi tunduk. Hal yang sebaliknya jika kita menengok pandangan Bhaba terkait meniru (mimic). Bhaba menyebut bahwa mimikri adalah tindakan terjajah yang meniru (mimic) penjajah. Peniruan ini bukan murni ketertundukan, melainkan menjadi mockery (ejekan)—“mimicry is at once resemblance and menace”—kepada kolonial. Di satu sisi, terjajah ‘benci’ pada penjajah karena dominasi dan represi kolonial. Namun di sisi lain, terjajah berkompromi dengan berupaya tampil sama dengan penjajah dalam hal bahasa, budaya, sikap dan gaya berpikir, tujuannya untuk resistansi. “Mimicry represents an ironic compromise,” ujar Bhabha. Bhabha memandang mimikri sebagai strategi perlawanan terjajah pada wacana kolonial, resistansi. Meskipun resistansi seringkali dilakukan secara tidak sadar. Dengan konsep mimikri, terjajah dipandang bukan sebagai objek pasif yang dikuasai (oleh penjajah, wacana kolonial). Terjajah meniru, tapi bukan berarti tunduk.
Bagi mereka yang puris, meniru dipandang melunturkan yang ‘asli dan autentik’. Padahal, pertanyaan kritis terbesar yang diajukan para pemikir pascakolonial, adalah “Apakah yang dimaksud asli dan autentik? Apakah asli dan autentik itu masih ada dan bisa dilacak? Apakah bisa seorang kembali ke kondisi yang asli dan autentik, sehingga kondisi yang terlanjur hibrid bisa dibatalkan?” Pertanyaan-pertanyaan ini mendapat ruang dalam kajian nativisme—yang juga bagian dalam Kajian Pascakolonial. Secara ringkas, nativisme merupakan kemauan yang kuat untuk kembali kondisi budaya lokal seperti ‘sedia kala’ sebelum ‘bercampur’ atau dipengaruhi oleh penjajahan. Dalam konteks perlawanan terhadap penjajah, nativisme amat dibutuhkan sebagai motor resistansi. Namun, jika perlawanan itu telah berakhir alias bila kemerdekaan secara formal telah didapat, maka nativisme seyogianya ditinggalkan, sebab cenderung bebahaya dan akan menyebabkan seorang nativis menjadi reaksioner—seperti yang ditunjukkan oleh mereka yang puris. Dalam konteks nativisme ini pula, mereka yang puris, di sisi lain juga nativis, yang mendambakan yang asli dengan mereproduksi stereotipe (rasis) yang di pernah dilakukan penjajah!
//4
Saya kira, hidup kita sudah terlampu hibrid. Di ranah apa pun, termasuk dalam beragama (Islam). Menginterupsi kondisi hibrid kita, justru sama saja menstereoripisasi diri dan kelompok tertentu, menolak sifat cair dan dinamis yang sejatinya niscaya. Lagi pula, meniru (mimic) bukan berarti tunduk, bukan? Dalam situasi ini, menegahkan sikap eklektik-kritis jauh lebih menguntungkan ketimbang menolak meniru dan menyangkal diri sebagai yang hibrid.