Setelah melalui 8 tahap dalam proses pengajuan permohonan uji materiel sistem pemilu proporsional terbuka, kini Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 memasuki tahap pemeriksaan persidangan pada 9 Mei 2023. Perkara yang pada pokoknya menghendaki MK untuk menyatakan 9 norma pada 8 pasal dalam UU Pemilu inkonstitusional itu sejatinya mengandung persoalan serius yang mesti disigi satu per satu.
Secara historis dan teoritis, diselenggarakannya sistem proporsional terbuka pada pemilu legislatif di Indonesia bukanlah persoalan kesempurnaannya dibandingkan sistem proporsional tertutup. Bahwa kedua model tersebut sama-sama memiliki kelemahan, dan proporsional terbuka merupakan sebuah pilihan yang disepakati untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas partai politik dalam sistem perwakilan. Sementara bila berlindung di balik dalih penguatan kontrol partai politik terhadap kadernya di parlemen, hal itu dapat dibantah melalui mekanisme penggantian antarwaktu oleh partai. MK sebagai muara perkara konstitusionalitas undang-undang turut terseret dalam arus ini, bahwa penentuan sistem pemilu harus melalui konfigurasi politik yang terjadi di DPR, dan MK mesti sadar diri untuk tidak melangkah lebih jauh.
Dari Ketaksempurnaan kepada Pilihan
Varian proporsional terbuka ataupun proporsional tertutup pada dasarnya memiliki cacat bawaan yang lahir sebagai sebuah sistem yang menjalankan mekanisme partisipatif. Dari sudut pandang pihak yang menilai sistem proporsional terbuka sebagai varian yang menekan kemungkinan terjadinya politik uang, pemikiran itu dapat dibantah dengan dalil adakah partai dapat menjamin transparansinya dalam menentukan siapa saja kader yang berhak untuk didudukkan ke parlemen? Bila sistem proporsional terbuka menjadikan pemilih sebagai objek jual-beli suara, maka sistem proporsional tertutup mengalihkannya kepada elit partai. Fenomena itu menampilkan kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri, bahwa menggunakan sistem manapun, politik uang tetap saja akan mewarnai kontestasi politik.
Sementara bila ditinjau kembali pada sistem proporsional tertutup yang pernah diterapkan Indonesia sejak pemilu legislatif 1955 hingga pemilu legislatif 1999, varian itu memberi kekuatan besar kepada partai untuk mengendalikan kadernya yang duduk di parlemen. Akibatnya Anggota DPR tidak lagi memiliki kemandirian untuk menentukan sikap karena terlanjur dibalut belenggu kepentingan yang bahkan telah mengikatnya sebelum mencecap kursi panas legislator. Hal itu adalah pintu masuk untuk digulirkannya kepentingan kelompok elit partai secara transaksional yang bahkan jauh lebih berbahaya karena tidak terprediksi dibandingkan ancaman kelemahan sistem proporsional terbuka. Indonesia perlu menjemput ingatan ke belakang betapa tiga dekade Orde Baru, melalui Golkar, begitu kuat mencengkeram mayoritas Anggota DPR untuk meloloskan agenda Bapakisme Negara yang telah mandarah daging di balik senyum misterius Soeharto.
Adalah jamaknya setelah rezim ditumbangkan pilihan dijatuhkan secara berlawanan atas apa yang pernah diterapkan rezim tersebut, terutama dalam penentuan sistem pemilu, dan hal itu juga terjadi pada penentuan sistem proporsional terbuka yang merupakan sebuah pilihan. Sistem proporsional terbuka pertama kali diterapkan pada pemilu legislatif 2004 yang membalikkan tradisi pemilu yang pernah dilaksanakan Orde Baru, namun sistem ini tidak terbentuk secara instan dan mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu melalui sengketa konstitusionalitas di MK. Kenyataan itu dapat ditelisik pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menggariskan penentuan calon terpilih melalui raihan suara terbanyak. Pada perkara tersebut MK tidak melangkah lebih jauh untuk menentukan sistem mana yang diberlakukan, namun MK justru memperkuat pilihan pembentuk undang-undang pada sistem proporsional terbuka.
Belajar dari Kasus Lily Chadijah Wahid-Achmad Effendy Choirie versus PKB
Beberapa kasus memang dapat ditarik sebagai contoh, namun salah satu yang patut dicatat adalah kasus Lily Chadijah Wahid dan Achmad Effendy Choirie versus PKB. Bermula dari perbedaan sikap Lily dengan fraksi PKB di DPR atas hasil kerja Pansus Bank Century, 3 Maret 2010, di mana F-KB berdiri di pihak pemerintah yang menerima hasil kerja Pansus, sedangkan Lily menolak laporan kerja tersebut. Dalam pandangan yang berseberangan itu, Lily adalah satu-satunya anggota DPR dari F-KB yang memilih opsi C yang menyatakan ada permasalahan hukum dalam bailout Bank Century. Pilihan itu menempatkan Lily sebagai satu di antara 315 orang Anggota DPR yang memilih opsi C, sedangkan F-KB berdiri bersama 212 orang Anggota DPR yang menyetujui bailout Bank Century.
Sebelas bulan berselang, 2 Februari 2011, Lily kembali tidak sejalan dengan keputusan partai yang menolak usul hak angket mafia pajak atas kasus Gayus Tambunan. Kala itu Lily bersama Effendy dan Anggota DPR lainnya menginisiasi seraya menggalang dukungan di DPR untuk mengajukan hak angket atas kasus perpajakan.
Langkah progresif Lily dan Effendy semakin menggusarkan PKB di hadapan putusan MK Nomor 8/PUU-VIII/2010 tanggal 21 Januari 2011 yang membatalkan keseluruhan UU Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Mengakali kekosongan hukum itu, Lily dan Effendy beserta Anggota DPR yang berkeinginan agar Hak Angket terlaksana mengajukan UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjadi dasar hukum penggunaan Hak Angket mafia pajak. Upaya itu membuahkan hasil besar, pada hari-hari awal inisiasi saja, para inisiator Hak Angket mengantongi 150 suara Anggota DPR, padahal berdasarkan tata tertib DPR pengajuan hak angket hanya mensyaratkan 25 suara agar usul hak angket dibicarakan di tingkat paripurna.
Tidak menunggu waktu lama bagi Lily dan Effendy, satu bulan kemudian Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, telah memegang surat keputusan yang berisi Penggantian Antarwaktu (PAW) bagi keduanya. Terhitung 5 Maret 2011, Lily dan Effendy resmi dipecat dari partainya, dan surat pemberhentian mereka sebagai Anggota DPR diserahkan PKB pada tanggal 7 Maret 2011 kepada Pimpinan DPR. Mekanisme pencopotan itu berujung pada tanggal 14 Maret 2011 melalui surat bernomor PW.01/2278/DPR RI/III/2011, Hal: Pergantian Antar Waktu Anggota DPR/MPR RI dari Kebangkitan Bangsa yang ditujukan kepada Ketua KPU. Maka pada 20 Maret 2011, PKB resmi memecat dua politisi pembangkang kebijakan partai, sekaligus mencatatkan lembar sejarah hitam bagi partai Islam itu.
Dari Open Legal Policy hingga Konsistensi MK
Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dapat dijadikan pengingat betapa peradilan konstitusional itu pernah bijak untuk tidak melangkah ke wilayah norma yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Bahwa penentuan sistem proporsional terbuka atau proporsional tertutup membutuhkan konfigurasi politik yang, secara langsung ataupun tidak, melibatkan suara rakyat melalui lembaga perwakilan. Betapa pun pahitnya kenyataan wakil rakyat di DPR yang kerap tidak mempedulikan kehendak konstituen, seperti halnya langkah trengginas PDI-P, etika kehidupan di negara demokrasi tetap tidak dapat menceraikan fungsi legislasi dari aspirasi yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang, dan di sinilah konsistensi MK diuji.
Tahun 2022 hingga awal 2023 merupakan saat-saat berat bagi MK. Setelah pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto secara serampangan oleh DPR, MK kembali dirundung persoalan amat serius melalui drama pemalsuan putusan oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah yang menjabat secara inkonstitusional. Kasus yang merupakan aib bagi peradilan konstitusional itu mempertontonkan betapa libido politik DPR begitu sulit dipuaskan, dan di baliknya elit partai duduk sebagai pengatur skenario.
Pengujian sistem proporsional terbuka melalui Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 adalah ujian bagi MK, apakah peradilan konstitusi yang seharusnya menjadi aktor tunggal rekonsiliasi konstitusional itu mampu berdiri di atas kaki sendiri, ataukah MK benar-benar telah beralih asuh dari anak kandung reformasi menjadi anak adopsi oligarki melalui tiga hakimnya; yang menjadi semenda Presiden, yang 2 kali melanggar kode etik, dan yang menjadi Hakim Konstitusi secara ilegal.
Bagian pertama dari tulisan ini dapat dibaca di Proporsionalitas Sistem Pemilu Legislatif (Bagian I): Menakar Dalih PDI-P.