Pelaksanaan pemilu legislatif melalui sistem proporsional terbuka tengah dimohonkan pengujian status konstitusionalitasnya. Melalui registrasi Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, para pemohon yang terdiri dari 2 orang anggota partai politik (PDI-P dan Nasional Demokrat) dan 4 orang WNI memohonkan pengujian 9 norma pada 8 pasal dalam UU Pemilu. Di antara pasal-pasal yang dimohonkan adalah Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), dan Pasal 426 Ayat (3). Pasal-pasal tersebut, terutama Pasal 168 Ayat (2), mengatur ihwal penyelenggaraan pemilu legislatif melalui mekanisme proporsional terbuka yang oleh Pasal 342 Ayat (2) sistem tersebut mensyaratkan surat suara memuat nama caleg, dan Pasal 353 Ayat (1) huruf b mengamanatkan salah satu pilihan pencoblosan dapat dilakukan pada nama caleg.
Dengan dalih mengoptimalkan kontrol partai politik terhadap kadernya yang duduk di parlemen, para pemohon menghendaki Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan norma-norma tersebut. Dengan kata lain, para Pemohon menginginkan pada pemilu legislatif 2024 mendatang surat suara hanya berisi daftar partai, dan pemilih tidak mengetahui siapa sajakah yang kelak akan mewakili kepentingannya.



Sebab para Pemohon menilai, 9 norma tersebut telah menjadikan partai politik kerap dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya memanfaatkan partai sebagai motor politik untuk melaju ke parlemen. Keadaan itu, hemat Pemohon, menjadikan caleg yang telah mencapai parlemen tidak loyal pada kebijakan partai dan seolah mewakili kepentingannya sendiri di Senayan. Tak pelak, hal itu rentan berujung pada konflik internal di tubuh partai politik.
Tiga Dalih PDI-P
Memang terdapat 2 politisi dari 2 partai berbeda yang tampil sebagai Pemohon pada Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022. Namun berdasarkan keterangan resmi Nasional Demokrat, langkah salah satu kadernya yang menghendaki sistem proporsional tertutup merupakan keputusan pribadi dan tidak mewakili pandangan partai. Hal itu dapat ditinjau dari keberadaan Nasional Demokrat bersama 7 partai lainnya dalam barisan yang menolak sistem proporsional tertutup, sekaligus mengajukan permohonan sebagai pihak terkait pada Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Sementara, dari 9 partai yang kini menyusun komposisi DPR, PDI-P merupakan satu-satunya partai yang kukuh menginginkan kembalinya sistem proporsional tertutup sekaligus tampil sebagai aktor utama di balik kisruh perpolitikan Indonesia yang sejak semula memang telah menyerupai benang kusut. Alasannya dapat ditebak, PDI-P ingin agar partai memiliki kontrol penuh atas kadernya yang melaju ke parlemen. Kesimpulan itu dapat ditarik dari paparan Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, yang mengemukakan 3 alasan di mana pada dasarnya alasan ini serupa dengan permohonan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Pertama, memungkinkan partai untuk mendorong pihak yang kompeten sebagai wakil rakyat. Menurutnya, dengan sistem proporsional tertutup partai memiliki kewenangan untuk mendorong akademisi, atau tokoh agama hingga purnawirawan untuk dapat duduk sebagai wakil rakyat karena partai menggunakan tolok ukur kompetensi. Sementara sistem proporsional terbuka hanya bertumpu pada popularitas caleg. Kedua, hemat anggaran. Hasto menilai sistem proporsional tertutup lebih irit biaya dibanding sistem proporsional terbuka karena tidak adanya nama caleg akan mengakibatkan ukuran surat suara yang jauh lebih kecil. Ketiga, sesuai dengan konstitusi. Hasto mendasari alasannya dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta pemilu legislatif adalah partai politik.
Sungguhpun alasan-alasan Hasto sekilas menggambarkan betapa sempurnanya sistem proporsional tertutup, akan tetapi alasan itu harus dicarah satu per satu untuk menguji apakah benar sistem proporsional tertutup tak bercela.
Pertama, dalih keterbukaan partai untuk menyediakan kursi bagi para ahli, tokoh dan orang-orang berpengalaman. Akan tetapi bukankah parameter keahlian atau kepakaran, ketokohan dan pengalaman itu ditentukan secara subjektif oleh partai? Adakah partai akan bersusah-payah untuk melakukan jajak pendapat bagi orang-orang yang akan dipasang di parlemen atas parameter nisbi tersebut kepada publik? Bila kekonyolan itu terjadi apa bedanya jajak pendapat tersebut dengan sistem proporsional terbuka? Bahkan lebih luas bila disigi dari nilai oportunitas yang tidak mungkin dipisahkan dari genealogi partai politik dan latar belakang diinginkannya sistem proporsional tertutup, adalah keniscayaan bahwa partai akan memilih orang-orang yang dapat dikendalikan terlepas seberapa tinggi keahlian atau gelar akademis yang disandang di belakang namanya. Bahwa ia tetaplah robot dengan remote control yang dipegang partai.
Nyatanya kecenderungan umum yang terjadi pada pemilih di Indonesia ketika menjatuhkan pilihan di pemilu legislatif justru didasari pada caleg, bukan pada partainya. Masyarakat Indonesia cenderung memilih wakilnya berdasarkan kenal atau tidaknya mereka pada caleg, baik itu dilatarbelakangi oleh ketokohan, kepedulian caleg pada konstituen, hingga pada politik uang yang lahir sebagai produk budaya kontestasi politik. Fenomena ini disebabkan oleh banyak hal, mulai dari kultur masyarakat, politik identitas, hingga tradisi perpolitikan Indonesia. Sebagai negara dengan sistem pemerintahan presidensial yang dipadupadankan dengan sistem multipartai, perhatian masyarakat Indonesia teralihkan dari program-program partai kepada eksistensi perseorangan yang maju di pemilu legislatif. Itulah mengapa terdapat begitu banyak nama legislator yang dapat kembali mencapai kursi parlemen meski telah berpindah partai, fenomena ini terjadi secara merata baik itu di DPR-RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota.
Kedua, perihal biaya. Pada pemilu legislatif yang diselenggarakan secara serentak dengan pemilu Presiden 2019 lampau, Indonesia menghabiskan biaya sebesar Rp24,9 triliun. Sistem proporsional tertutup yang mengakibatkan diperkecilnya ukuran surat suara justru tidak akan mengurangi biaya kontestasi politik secara signifikan, seperempat total biaya pun tidak. Penilaian Hasto seharusnya dibandingkan dengan betapa royalnya negara ini menghamburkan uang demi Anggota DPR. Merujuk PP Nomor 75 Tahun 2000, gaji anggota DPR ditetapkan sebesar Rp4.200.000 per bulan. Sementara untuk posisi Ketua DPR sebesar Rp5.040.000 per bulan, lalu Wakil Ketua DPR mendapatkan gaji pokok sebesar Rp4.620.000 per bulan. Nominal itu belum termasuk tunjangan yang bila dicarah terdapat 11 jenis, belum lagi biaya perjalanan dan uang representasi daerah, sehingga tiap Anggota DPR yang berjumlah 575 orang menghabiskan lebih dari Rp50 juta per bulan. Bukan cuma itu, negara juga menyediakan fasilitas rumah dinas yang berada di kawasan elit Jakarta berikut dengan biaya pemeliharaanya. Sekalipun hanya menjabat satu periode atau bahkan tidak penuh satu periode karena berhenti secara terhormat, negara ini menyediakan dana pensiun bagi Anggota DPR yang dibayarkan seumur hidup dengan besaran 60% dari gaji pokok per bulan. Belum lagi markup biaya untuk mengganti gorden, mempermewah ruang kerja, beli kursi, cincin emas bertakhtakan permata, dan tetu saja mempernyaman bilik buang hajat bagi para Anggota Dewan Yang Terhormat. Itulah mengapa pada tahun 2023 saja, DPR memperoleh alokasi APBN lebih dari Rp5,8 triliun. Jika Hasto, bersama PDI-P, menilai sistem proporsional terbuka begitu mahal, seharusnya mereka menyadari betapa besar pemborosan uang negara yang digelontorkan atas nama wakil rakyat miskin yang menjalani hidup dengan tamak.
Ketiga, isu konstitusionalitas berdasarkan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945. Sekalipun pasal tersebut menyatakan bahwa peserta pemilu legislatif adalah partai politik, namun sistem proporsional terbuka sama sekali tidak menghapuskan eksistensi partai politik. Bahwa partai politik tetap memiliki porsi yang layak dalam pemilu legislatif melalui otoritas yang mandiri untuk menentukan siapa saja yang dimotorinya untuk maju sebagai calon legislatif. Bahkan sistem proporsional terbuka justru menyeimbangkan peran partai politik sebagai peserta pemilu dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di tengah fenomena oligarki partai politik yang sulit diruntuhkan (Khairul Fahmi, Kompas 2/2/2023).
Berkaca melalui sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini, partai politik sejatinya tidak mengalami turbulensi yang dapat dikategorikan dapat membahayakan eksistensinya. Di samping adanya kemandirian untuk menetapkan daftar caleg yang akan dipilih konstituen, partai politik juga dibekali hak untuk mencopot kadernya yang dinilai tidak sejalan dengan kepentingan organisasi melalui pengaturan Pasal 16 Ayat (1) huruf d. Ketentuan yang mengatur pemberhentian keanggotaan bila melanggar AD/ART partai itu diberlakukan tanpa membatasi status anggota yang tengah menjabat di parlemen. Artinya, dalam keadaan apapun, partai tetap memiliki kontrol penuh atas kadernya sekalipun eksistensi individu tersebut telah mengalami pergeseran sebagai wakil rakyat melalui kehendak konstituen. Dengan kata lain dalam proses penggantian antarwaktu tersebut telah terjadi pembalikan kedaulatan rakyat kepada kedaulatan partai, dan organisasi politik itu tetap bersifat determinan terhadap anggotanya.
Bagian kedua dari tulisan ini dapat dibaca di Proporsionalitas Sistem Pemilu Legislatif (Bagian II): Kasus PKN, Pilihan Sistem, dan Open Legal Policy.
One Comment