Sele - Sele

Nasionalisme dan Religiusitas dalam Film Buya Hamka Vol. I

Buya Hamka Vol. I merupakan film drama biopik Indonesia yang dirilis pada tahun 2023 dan disutradarai Fajar Bustomi. Film ini dibintangi Vino G. Bastian sebagai Hamka, Laudya Cynthia Bella sebagai Siti Raham, istri Hamka; serta pemeran pendukung lainnya, seperti, Donny Damara, Desy Ratnasari, dan Ben Kasyafani.

Pada volume pertama ini, film ini berupaya mengisahkan fragmen hidup Buya Hamka antara tahun 1933 sampai 1945. Bermula sebagai pengurus Muhammadiyah di Makassar, lalu berpindah ke Medan untuk mengembangkan majalah Pedoman Masyarakat karena kepiawaian Hamka menulis roman dalam surat kabar. Saat memimpin majalah tersebut, Hamka sering terlibat konflik dengan Jepang karena tulisan-tulisan yang terbit di Pedoman Masyarakat kerap dianggap berbahaya oleh Jepang.

Tidak hanya sebatas karya seni semata, film juga cermin kehidupan yang dapat dirujuk ke kehidupan nyata. Dalam film Buya Hamka Vol. I, fakta dalam film tentu dapat dirujuk ke tokoh nyata, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka. Hamka adalah seorang ulama, penulis, dan intelektual muslim terkenal asal Indonesia. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Agam, Sumatra Barat, dan wafat pada 24 Juli 1981 di Jakarta.

Hamka dikenal sebagai tokoh yang memiliki kecakapan di bidang bahasa, sastra, sejarah, dan juga agama Islam. Ia memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan sastra Indonesia, khususnya sastra profetik yang bernuansa Islam. Hamka juga dinilai turut andil memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional melalui karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.

Selain aktif menulis, Hamka juga terlibat dalam kegiatan sosial dan dakwah Muhammadiyah di Makassar, serta mendukung gerakan Muhammadiyah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan memajukan umat Islam di Indonesia.

Film Buya Hamka Vol. Isetidaknyamemuat dan menyatakan dua hal penting dan signifikan, yaitu tentang nasionalisme dan religiusitas. Nasionalisme ditunjukkan pada sikap cinta tanah air dan berbagai tindakan bela negara yang dinarasikan dalam film. Salah satu sikap nasionalis yang dimaksud dapat ditemui dalam adegan saat Hamka bernegosiasi dengan Jepang agar Jepang segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun di saat yang bersamaan, negosiasi dan hubungan dekat Hamka dengan pemerintahan Jepang justru dianggap oleh pejuang kemerdekaan lainnya sebagai sesuatu yang bertentangan dan bernilai pengkhianatan, sehingga Hamka pun harus turun dari jabatannya sebagai ketua Muhammadiyah Makassar saat itu.

Jika dirunut pada sejarah biografi Hamka, Hamka memang memiliki hubungan yang baik dengan Jepang. Pada awal pendudukan Jepang di Indonesia, Hamka memilih untuk bekerja sama dengan Jepang karena ia melihat bahwa Jepang dapat membantu Indonesia memperoleh kemerdekaannya dari penjajahan Belanda.

Hamka juga mendirikan sebuah organisasi yang bernama Persatuan Perjuangan pada tahun 1943, yang bertujuan membantu Jepang dalam rangka melawan sekutu dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah melihat kekejaman dan penindasan yang dilakukan oleh Jepang terhadap rakyat Indonesia, Hamka berbalik menjadi kritis terhadap pendudukan Jepang dan mulai menarik diri dari hubungannya dengan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Hamka mengkritik keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang selama pendudukan dan menekankan pentingnya merawat persahabatan antara bangsa Indonesia dan Jepang yang berdasarkan pada kerja sama dan saling menghargai.

Pasca perang, Hamka sempat dituduh sebagai kolaborator Jepang oleh pihak yang tidak setuju dengan sikap dan pendiriannya pada masa pendudukan. Namun, Hamka berhasil membela dirinya dan membuktikan bahwa ia selalu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan kepentingan bangsa, meskipun harus bekerja sama dengan Jepang pada masa-masa sulit.

Di banyak tulisannya, Hamka menekankan pentingnya perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mengecam segala bentuk kolonialisme. Ia memandang bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak yang wajib dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia, dan bahwa nasionalisme adalah semangat yang harus ditanamkan dalam diri setiap orang Indonesia.

Sebagai penulis, nasionalisme Hamka juga dapat terlihat di beberapa karya sastra yang ia tulis. Salah satu karyanya yang paling terkenal dan dianggap mempromosikan semangat nasionalisme dan persatuan bangsa adalah Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Roman ini menggambarkan bagaimana tokoh utama, ‘Engku’ Zainuddin, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada gadis cantik di persukuannya yang bernama Hayati. Namun, cinta mereka terhalang oleh adanya adat dan istiadat yang kuat. Hal ini karena Zainuddin tidak bersuku karena ibunya berdarah Makassar dan ayahnya berdarah Minang. Pahit kehidupan berusaha dilalui oleh Zainuddin hingga ia berhasil walaupun tidak bersama dengan perempuan yang ia cintai. Pada suatu ketika, Zainuddin bertemu kembali Hayati, tetapi mereka tidak dapat bersama. Lalu, Hayati pulang ke kampung halamannya dengan kapal yang sesuai dengan judul novel tersebut, Kapal van der Wijck yang akhirnya tenggelam.

Novel tersebut dianggap sebagai sebuah karya sastra yang menunjukkan semangat persatuan dan nasionalisme yang tinggi, serta menjadi inspirasi bagi gerakan nasionalisme di Indonesia. Hamka menyadari bahwa keragaman etnis, bahasa, dan agama di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang harus diakui dan diperlakukan secara adil dan merata. Ia menekankan pentingnya sikap toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan persatuan dalam membangun bangsa Indonesia. Hamka juga menegaskan pentingnya semangat nasionalisme dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia memandang bahwa bangsa Indonesia harus memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk memperjuangkan kemerdekaannya.

Selain produktif menulis, Hamka juga terlibat dalam perjuangan politik dan sosial untuk kemerdekaan Indonesia, dan bergabung dalam organisasi-organisasi, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Partai Masyumi. Ia juga menjadi anggota BPUPKI yang bertugas menyusun dasar negara Indonesia yang merdeka.

Secara keseluruhan, kontribusi Buya Hamka dalam gerakan nasionalisme Indonesia sangatlah besar. Ia salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mempunyai pengaruh yang kuat dalam membangun kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Tidak hanya nasionalis, Hamka juga seorang religius yang kuat. Sebagai orang Minang-Islam yang taat, Hamka sangat memperjuangkan nasionalisme yang berketuhanan. Hal ini juga diperlihatkan film Buya Hamka Vol. 1, di mana Hamka lahir dan tumbuh di lingkungan yang kental dengan keberislaman. Terlebih lagi, saat Jepang mengatur pribumi untuk turut menyembah Matahari, Hamka dengan lantang menolak paham ini karena bertentangan dengan ajaran agama yang berlaku di Indonesia kala itu.

Dalam pemikirannya, Hamka menekankan pentingnya religiusitas dalam memperkuat semangat nasionalisme. Ia memandang bahwa keagamaan dapat menjadi motivasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia serta dapat menjadi fondasi moral dalam membangun bangsa Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Dengan demikian, nasionalisme dan religiusitas bagi Hamka adalah dua hal yang saling berkaitan dan saling melengkapi.

Hamka juga menekankan pentingnya toleransi antar agama dalam membangun bangsa Indonesia yang berdaulat. Ia menyadari bahwa keragaman beragama Indonesia adalah sebuah keniscayaan dan harus dihormati, serta mengajak seluruh umat beragama untuk bekerja sama membangun bangsa yang damai, sejahtera, dan berkeadilan.

Secara keseluruhan, Hamka memandang bahwa nasionalisme dan religiusitas harus saling mendukung dan memperkuat satu sama lain baik yang tercermin dalam film Buya Hamka Vol. I maupun dalam kenyataan hidup seorang Hamka. Hamka berusaha memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang sejalan dengan semangat nasionalisme, serta aktif dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan Islam sebagai upaya untuk membangun bangsa Indonesia yang berdaulat, damai, dan sejahtera.

Roma Kyo Kae Saniro

Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *