Di rentang tahun 2015 awal hingga pertengahan tahun 2017, saya akrab dengan mal yang ada di Palembang. Maklum saja, sebagai orang yang merintis dan menjalankan kedai seorang diri, saya harus sering kulak barang: belanja kebutuhan kedai. Mengapa di mal? Sebab barang-barang yang saya butuhkan tersedia di sana; sementara di pusat perkulakan/perbelanjaan barang lainnya, tidak ada. Ada tiga sampai empat mal yang harus saya kunjungi dengan alasan selisih harga tiap-tiap barang. Mal yang satu menawarkan harga yang relatif murah untuk satu-dua barang yang saya incar, sementara untuk barang yang lain saya harus pergi ke mal kedua, karena jauh lebih murah bila dibeli di sana—sekalipun di mal yang pertama tadi tersedia barang yang saya maui. Begitu seterusnya. Sekali belanja, saya membutuhkan waktu lebih dari empat jam. Durasi yang terbilang lama dan seringkali berada dalam rentang waktu salat zuhur, asar, bahkan magrib. Oleh karena itulah saya pun menyempatkan diri ke musala yang disediakan pengelola mal: melaksanakan salat.
Umumnya, musala yang saya temui terbilang kecil dan menyempil. Kira-kira berukuran 8×6 meter, dengan daya tampung sekitar 20–25 orang saja, baik untuk jemaah laki-laki maupun perempuan. Oleh pengelola mal, kebanyakan musala diletakkan di sudut-sudut sempit, atau di lantai bawah tanah yang ‘sulit’ dijangkau. Hingga boleh dikatakan, musala di mal tidak representatif, dan berbanding terbalik dengan keadaan mal yang terbilang mewah dan besar—lebih dari empat lantai.
Setiap kali belanja, saya dapati mal-mal selalu ramai pengunjung. Bila demikian keadaannya, maka musala pun akan turut penuh sesak, utamanya di awal memasuki waktu salat. Ini menyebabkan saya dan pengunjung lainnya harus terlibat antrean panjang saat hendak salat, termasuk saat hendak berwudu. Lebih-lebih di saat magrib yang tenggat waktunya terbilang pendek, maka antrean pun akan semakin mengular. Dan kondisi begini ini berlaku untuk semua mal yang saya kunjungi.
Di sini, saya tidak hendak menyoal kecilnya musala di dalam besarnya bangunan mal hingga menyebabkan antrean panjang, ataupun mengkritik pengelola mal yang mengesampingkan sarana ibadah di ruang publik. Di tulisan ini, saya hendak melihat bagaimana antrean salat di musala yang ada di mal-mal tersebut berbanding lurus dengan konsumerisme, dan sebagai peristiwa yang mengundang tanya atau bahkan tawa.
Iseng, suatu kali saya sempat bertanya pada sesama pengunjung mal yang hendak salat magrib. Yang saya tanyai adalah suami-istri. Pasangan muda, kira-kira keduanya berumur 30 tahun-an. Saya bertanya dalam bahasa Melayu-Palembang, tentang apa pendapat mereka atas fenomena antrean salat di musala dalam mal. Kurang lebih, suami-istri itu menjawab senada. Bunyinya kira-kira begini:
“Alhamdulillah. Bahkan seorang muslim tidak lupa akan kewajibannya di segala aktivitasnya, termasuk dalam belanja. Mereka begitu antusias dalam beragama. Lihat! Terbukti dengan kerelaan mereka mengantre untuk salat.”
Jawaban atau komentar di atas telah jamak terdengar. Ada benarnya komentar demikian dan sepintas saya memafhuminya. Bahwa fenomena ini memang menyarankan untuk disyukuri dan dibanggakan—sekaligus sebagai landasan kritik kepada pengelolal mal atas keadaan musala yang tidak memadai. Namun bila mencerna lebih dalam, apakah demikian adanya? Rasa-rasanya fenomena berikut komentarnya ini justru terasa ironis.
Mal dan Ruang Konsumsi
Di era globalisasi sekarang ini, di mana ekonomi kapitalisme menjangkarkan diri di dalamnya, mal tidak lagi dimaknai sebatas tempat belanja. Lebih dari itu, mal adalah representasi gaya hidup konsumtif, khuususnya bagi masyarakat urban perkotaan. Orang mendatangi mal tidak hanya untuk berbelanja, namun lebih sering untuk menyatakan diri bahwa: saya adalah orang modern—yang tidak ketinggalan zaman. Di mal, orang modern melampiaskan hasrat (desire) konsumtifnya, baik dalam mengonsumsi barang maupun mengonsumsi gaya hidup. Dan sampai kapan pun, hasrat tidak akan pernah terpuaskan/terpenuhi [1].
Kapitalisme global dengan entitas mal-nya akan senantiasa merekayasa pikiran dan hasrat seorang dan/atau sekelompok orang agar berperilaku konsumtif—atau pemboros agung, kata Jean Baudrillard. Mal menanamkan konsepsinya pada banyak orang sebagai pasar modern yang lengkap, nyaman, dan trendi. Mal adalah ruang konsumsi di mana segala keubutuhan hidup ada di sana, baik berupa barang ataupun jasa. Dalam perkembangan kontemporernya, Mal juga menegaskan bahwa ia tidak sekadar menyediakan berbagai kebutuhan duniawiah (imanen-profan), tapi juga kebutuhan batiniah (sakral-transenden). Mal kini juga berwajah agamis. Tengok saja, di mal kita bisa belanja macam-macam, dari mobil hingga tusuk gigi, dari buku-buku Pramoedya hingga Felix Siaw, dari bikini renang hingga mukena salat, dari (mushaf) al-Quran hingga Bali Hai; di mal kita bisa mendonor darah juga mencopet; di mal kita bisa menonton tari sufi sambil memeluk mesra pacar; di mal kita bisa berbelanja sekaligus beribadah atau sebaliknya: beribadah sambil berbelanja.
Fenomena kontemporer ini menyiratkan bahwa mal adalah segala-segalanya bagi masyarakat konsumtif. Siapa pun bisa mengunjungi mal selagi menyimpan hasrat konsumtif. Sejalan dengan hal ini, seorang posmodernis dan sosiolog dari Perancis, Jean Baudrillard, mengatakan bahwa masyarakat konsumsi adalah yang masyarakat yang terserap ke dalam objek (konsumsi). Ada struktur produksi dan konsumsi di sana. Baudrillard yang sungguh sadar akan hal ini lantas melihat pergeseran pola dari prioritas terhadap nilai guna menuju prioritas akan nilai simbolik dan tanda. Melalui prinsip ini, Baudrillard hendak mengajak setiap orang untuk memandang objek konsumsi tidak sebagai respon terhadap kebutuhan tertentu tetapi merupakan sebuah jaringan penanda yang mempunyai kemampuan tak terbatas untuk membangkitkan hasrat manusia [2].
Gagasan Baudrillard ini diketahui berangkat dari semiologi Roland Barthes. Barthes menggunakan ungkapan ‘anthropological value‘ [3] untuk menunjuk kebutuhan dasar manusia. Suatu objek dapat memenuhi kebutuhan dasar akan nilai fungsi (yang dipenuhi oleh hal-hal teknis, the technical atau nilai guna) dan kebutuhan dasar akan makna (yang dipenuhi hal-hal yang bermakna, the significant atau nilai simbolik/tanda). Pembedaan ini amat penting untuk melihat gejala budaya dalam masyarakat di mana the significant dari objek fungsional menjadi lebih penting dari pada fungsi atau the technical. Sekalipun orang sudah mempunyai lima pasang sepatu, misalnya, orang masih terdorong untuk terus menambah sampai enam, tujuh, delapan, dan seterusnya; bukan karena ia kekurangan nilai fungsional untuk melindungi sepasang kakinya melainkan karena ada kebutuhan lain (the significant) yang terus-menerus ingin dipenuhi sampai tak terbatas. Pengamatan Barthes inilah yang menjadi landasan teori Baudrillard untuk mengkritik budaya modern yang lahir dari masyarakat konsumsi. Lewat pembedaan di atas, Baudrillard bisa menjelaskan pola konsumsi orang modern yang sudah sampai pada tingkat tidak terkontrol [4].
Dengan kerangka konseptual ini, mal dan ruang konsumsi mendapat penjelasannya. Kapitalisme global melalui mal dipandang turut mencipta masyarakat konsumsi, yang mana konsumsi berada dalam tatanan pemaknaan pada satu panopi objek; satu sistem, atau kode, tanda; satu tatanan manipulasi tanda; manipulasi objek menjadi tanda [5]. Dengan kata lain, di mal, orang modern tidak berupaya memenuhi kebutuhan (needs) melainkan yang utama adalah hasrat (desire).
Musala di Mal: Antara Taat Hukum, Agamis, dan Logika Pasar
Ada dua hal yang mendasari keberadaan musala di ruang publik di Indonesia, seperti mal. Pertama, peraturan pemerintah berupa Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya terdapat pasal 27 ayat 3 yang mengatakan bahwa setiap bangunan gedung harus melengkapi prasarana dan sarana untuk kepentingan umum, yang meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi. Berikutnya dikatakan, bahwa mal termasuk dalam lingkup bangunan gedung yang menjalankan fungsi usaha atau perdagangan. Berdasar peraturan inilah, sebagai prasyarat kemudahan pengunjung, maka pertama kali yang harus dipenuhi oleh mal adalah ruang ibadah.
Kedua, terkait dengan populasi muslim Indonesia, khususnya kelas menengah perkotaan. Berbicara tentang yang kedua ini, kiranya dapatlah mengabaikan dan melepaskan diri dari yang pertama tadi. Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Bahkan sering dikatakan sebagai negara muslim terbesar di dunia. Dari sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, ada sekitar 207 juta jiwa lebih penduduk Indonesia yang beragama Islam, atau sekitar 87,7 persen. Angka ini tentunya menggembirakan bagi berbagai kalangan, termasuk bagi kapitalisme. Dengan kata lain, angka ini berimplikasi sebagai angka konsumen yang amat menggiurkan. Maka tak heran bila kapitalisme—salah satu wujudnya yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah: mal—menjadikan muslim Indonesia sebagai pangsa pasar utama. Mal berlomba-lomba memikat muslim Indonesia khususnya dari kelas menengah dan yang tinggal di perkotaan (urban) untuk berkunjung: berbelanja. Selain dari penyediaan beragam produk yang terkait (atau sejatinya tidak terkait tapi dipaksa terkait: dikait-kaitkan) dengan kehidupan beragama, mal juga berupaya menyediakan fasilitas ibadah: musala. Keberadaan musala di mal kini seakan menjadi prasyarat muslim dalam jumlah besar tadi untuk berkunjung ke mal. Bila dulu, pengelola mal memandang bahwa penyediaan musala adalah hal merugikan, karena dinilai pemborosan ruang dan uang yang merugikan manajemen mal. Maka sekarang, yang terjadi justru sebaliknya bahwa melalui penyediaan musala, pengelola mal kini berupaya memanjakan setiap (calon) konsumen muslimnya. Tujuan dari pemanjaan ini, tak lain agar jumlah pengunjung muslim yang potensial tadi semakin banyak yang datang ke mal.
Dari alasan yang kedua ini, pembicaraan tentang keberadaan musala di mal bisa melebar luas. Dalam perkembangan terkini, keberadaan musala di mal semakin menegaskan bahwa mal adalah tempat di mana identitas diperebutkan: dari identitas sosial hingga identitas keagamaan. Inilah era di mana beragama bersanding mesra dengan kapitalisme beserta logika pasar (produksi-konsumsi) di dalamnya. Dikatakan secara ekstremnya, sekarang kesalehan seseorang berbanding lurus dengan kemapanan ekonomi. Atau sebaliknya, untuk mapan spiritualitasnya seseorang harus lebih dulu mapan dari segi ekonominya. Untuk memenuhi semua ini, mal menyesuaikan diri dengan tidak hanya menampilkan pesona belanja yang aduhai, melainkan juga pesona keagamaannya. Pesona kedua ini dilancarkan agar semakin banyak muslim kelas menengah yang berkunjung ke mal. Adanya musala di mal adalah satu wujud kongkrit dari tujuan ini. Dengan adanya faktor agamis ini, muslim kelas menengah bisa jadi semakin bersemangat dalam belanja di mal.
Jika Baudrillard mengatakan bahwa di era kapitalisme ini, barang tidak lagi dikonsumsi berdasarkan nilai gunanya, melainkan berdasarkan nilai tandanya (sign function) atau nilai simboliknya; dan nilai tanda diproduksi oleh pasar yang kemudian akan difetiskan [6]; maka di era yang lebih kiwari, laku konsumsi tanda ini semakin meluas kepada nilai-nilai spritualitas (yang simbolik). Pola konsumsi tanda yang demikian sampai kapan pun tidak akan pernah memeroleh kepuasan karena sifatnya yang temporer.
Akhirnya, keberadaaan musala ada di mal bukan hanya memenuhi berbagai peraturan pemerintah, ataupun menjunjung tinggi ekpresi keagamaan di ruang publik (agamis), melainkan agar semakin banyak muslim kelas menengah perkotaan yang mendatangi mal, yang dengan demikian akan berbanding lurus dengan semakin banyak uang yang masuk ke kas kapitalisme. Lantas, saya beropini bahwa ekstasi ibadah kemudian bisa sejajar dengan sensasi belanja.