Mejeng

Ramadhan di Pulau Terluar Indonesia: Tradisi Masyarakat Simeulue Melaksanakan Ibadah Puasa Bulan Suci Ramadhan

Sumber ilustrasi: ajnn.net
Sumber ilustrasi: ajnn.net

Ada tradisi yang unik dalam menyambut hari kemenangan Idulfitri, yaitu pertunjukan nandong atau (main pukul debus), dan membuat pertunjukan drama Islami yang diperankan oleh masyarakat di desa itu sendiri.

Pulau Simeulue adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh dan merupakan pemekaran dari kabupaten Aceh Barat sejak tahun 1999 yang berada kurang lebih 150 km dari lepas pantai  Aceh Barat. Berdasarkan data geografis, luas wilayah Kabupaten Simeulue yaitu 2.310 KM², terletak antara 02° 02’ 03’’- 03° 02’ 04’’ Lintang Utara dan 95° 22’ 15’’ – 96° 42’ 45’’ Bujur Timur. Simeulue merupakan daerah kepulauan terdiri dari ± 57 buah pulau besar dan kecil, panjang pulau Simeulue ± 100,2 km dan lebar antara   8 – 28 km. Dengan luas wilayah daratan pulau besar dan pulau-pulau kecil adalah 212.512 ha.  Berdasarkan wilayah, kabupaten Simeulue berada pada sebelah Barat berbatasan dengan samudera Hindia, sebelah Utara berbatasan dengan samudera Hindia, sebelah Timur berbatasan dengan samudera Hindia, serta sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.

Jarak tempuh kabupaten Simeulue dari Provinsi Aceh mencapai 242 km dan saat ini akses transportasi yang dapat digunakan  untuk menuju kabupaten Simeulue hanya dapat ditempuh menggunakan jalur transportasi udara dan jalur transportasi air menggunakan kapal  feri. Transportasi udara adalah akses yang paling mudah menuju kabupaten Simeulue, namun perlu transit dari bandara Kualanamu Medan menggunakan pesawat ART Wings Air dengan waktu tempuh lebih kurang 4 jam hingga mendarat di bandara Lasikin yang berada di kota Sinabang kabupaten Simeulue. Sedangkan akses yang kedua yaitu dengan  jalur perairan  atau dengan menggunakan kapal feri yang bisa ditempuh dari pelabuhan Singkil atau Pelabuhan Labuaji dengan waktu tempuh lebih kurang 10 jam berlayar.

Cakupan wilayah Kabupaten Simeulue, memiliki 138 jumlah desa yang meliputi 10 (sepuluh) kecamatan yang terdiri dari; Simeulue Timur, Simeulue Cut, Simeulue Tengah, Simeulue Barat, Teupah Tengah, Teupah Selatan, Teupah Barat, Salang, Alafan dan Teluk Dalam. Data jumlah penduduk Kabupaten Simeulue sebanyak 88.963 jiwa (Sumber Disdukcapil data tahun 2012). Penduduk Simeulue provinsi Aceh mayoritas menganut agama Islam. Menurut catatan sejarah, ajaran Islam di kabupaten Simeulue pertama kali disiarkan lebih kurang pada abad ke 14-15 oleh Teungku Halilullah.

Teungku Halilullah atau kerap disapa masyarakat dengan sebutan Tengku di Ujung berasal dari Sumatera Barat yang saat itu hendak menjalankan ibadah haji ke Makkah, namun sebelum berangkat haji Teungku Halilullah singgah dikerajaan Aceh untuk meminta petunjuk  dari Sultan Iskandar Muda. Akan tetapi, Sultan Iskandar Muda menawarkan Tengku Halilullah mengundur waktunya untuk berangkat haji dengan menyiarkan Islam terlebih dahulu di Pulau Simeulue sebagai syarat dari Sultan Iskandar Muda kerajaan Aceh kepada Teungku Halilllah.

Teungku Halilullah pun bersedia menerima tawaran dari Raja Iskandar Muda. Berhubung Teungku Halillullah tidak tahu tempat yang dimaksud Raja Iskandar Muda, kemudian Raja Iskandar Muda menikahkan Tengku Halillulah dengan Putri cantik asal dari Simeulue  yang bernama Putri Melur yang berada di kerajaan saat itu sebagai penunjuk jalan menuju Simeulue. Teungku Halilullah pun bersedia dan keduanya berangkat ke Simeulue menggunakan perahu. Akhirnya tersiarlah ajaran Islam di kabupaten Simeulue, bahkan nama  pulau Simeulue pada awalnya  diambil dari nama Puti Melur istri  Teungku Halilullah. 

Tulisan ini tidak akan membahas Islam di kabupaten Simeulue secara keseluruhan dari perspektif sejarah seperti pada umumnya. Tulisan ini hanya catatan dari seorang mahasiswa yang lahir dan tumbuh besar di kabupaten Simeulue dan saat ini sedang mengenyam pendidikan di luar kota maupun provinsi Aceh, tepatnya tengah mengenyam pendidikan di kota Medan. Sebagaimana kata-kata bijak “terkadang kita perlu keluar dari rumah, untuk melihat kondisi  rumah itu sendiri” sama halnya dengan perspektif  penulis saat ini dalam memandang daerah asal kelahirannya sendiri. Kebanyakan orang belum mengenal bahkan belum pernah mendengar nama kabupaten Simeulue, namun dengan mengenyam pendidikan di luar daerah  kabupaten Simeulue maupun Aceh adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk memperkenalkan kepada orang luar bahwa Simeulue itu ada dan inilah Kabupaten Simeulue yang juga bagian dari Indonesia.

Selain sebagai asli warga Simeulue, saya adalah seorang Minang bermarga ‘Tanjung’  yang sudah lama tinggal bahkan lahir, dan tumbuh besar di kabupaten Simeulue. Itulah sebabnya kenapa saya membahas mengenai kebudayaan di Simeulue yang katanya tidak seutuhnya sama dengan kebudayaan provinsi Aceh. Suku Aceh tidak sama dengan Simeulue dan suku Simeulue tidak sama dengan Aceh. Tapi kalau orang Aceh bilang etnis Simeulue,  adalah etnis Chinanya Aceh, yang dikutip dari kepanjangan  setiap huruf nama Provinsi Aceh (Arab, China, Eropa, Hindia). Itulah sebabnya bentuk wajah masyarakat Aceh beraneka ragam etnis,. Ada yang beretnis kearab-araban, etnis India, Eropa atau bermata biru, China.

Oke, saya mencoba menggambarkan kebudayaan kabupaten Simeulue, kali ini saya memilih untuk mengkaji kebudayaan masyarakat Simeulue dalam menyambut bulan suci Ramadhan sebagai basis pengamatan tulisan ini.  Berbicara tentang kebudayaan masyarakat Simeulue tentu sangat menarik, karena perspektif orang luar tentang kebudayaan Simeulue sama dengan kebudayaan Aceh akan terbantahkan di tulisan ini. Salah satu contoh yang paling membedakan Aceh dan kabupaten Simeulue bisa kita lihat dari penggunaan bahasa di kedua daerah tersebut. Eh, dilain waktu akan kita bahas lebih jauh tentang asal usul dan perbedaan bahasa di kedua daerah tersebut serta asli suku masyarakat Simeulue. Untuk menghindari meluasnya pembahasan topik di tulisan kali ini. Tapi bolehlah nanti akan saya sambung perihal perbedaan bahasa serta etnis masyarakat Simeulue dan Aceh.

 Menyambut bulan suci Ramadhan adalah suatu bentuk syukur dan kegembiraan setiap umat Muslim, termasuk kegembiraan Masyarakat Simeuleu dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Di mana kebudayaan masyarakat Simeulue dalam menyambut bulan suci Ramadhan tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan  masyarakat Aceh sebagai Provinsi, yaitu hari meugang atau kebudayaan makan daging bersama. Sistem dalam meugang biasanya dilakukan satu hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan dengan teknis pemungutan biaya dari pejabat-pejabat desa untuk membeli sapi atau kerbau yang akan disembelih di hari meugang. Biasanya yang menyembelih hewan meugang adalah kaum Simatu’a atau tokoh petuah desa. Kemudian daging meugang akan dibagikan secara gratis kepada fakir miskin dan duafa. Sementara kepada golongan atau kayo atau orang kaya akan dikenakan biaya untuk membeli daging meugang.

 Nah, yang lebih menarik lagi di Kabupaten Simeulue ada yang namanya organisasi  pemuda, di mana setiap desa wajib memiliki organisasi pemuda masing-masing. Di hari meugang pun ternyata organisasi pemudanya juga tidak kalah berperan dalam penyambutan bulan suci Ramadhan, yaitu dengan kegiatan bergotong royong, seperti memberikan masjid, membersihkan semak belukar kuburan desa, saluran air desa, dan gotong royong membersihkan jalan semak belukar didesa masing-masing. Selain itu, masyarakat Simeulue juga memiliki kebudayaan ziarah kubur yang dilakukan di sore hari. Meugang dilaksanakan secara beramai-ramai yaitu sekitar jam 17.00 setelah bakda Asar.

Selama bulan suci Ramadhan tentunya lebih banyak lagi  kebudayaan dan kebiasaan   masyarakat Simeulue yang tidak kalah menarik, seperti kegiatan berlomba-lomba bertadarus sesudah salat tarawih yang dilakukan muda-mudi masjid maupun meunasah desa, hingga larut malam bahkan sampai menjelang sahur. Selesai sahur disambung lagi dengan kegiatan asmara subuh. Di mana kegiatan asmara subuh masyarakat Simeulue dilakukan oleh kaum muda-mudi dengan belajar membaca Alquran bersama teungku meunasah atau guru mengaji yang dilakukan di pinggir pantai dengan membawa tikar anyaman pandan sampai menjelang matahari terbit. Menjelang 17 Ramadhan, masyarakat Simeuleu melakukan Musabaqah Tilawatil Qur’an di setiap desa dan kecamatan masing-masing.

Mendekati hari raya  Idulfitri,  masyarakat  Simeulue juga memiliki kebudayaan yang unik, di mana setiap rumah berlomba-lomba membuat berbagai jenis kue lebaran. Satu hari sebelum hari raya Idulfitri tidak lengkap jika di rumah tidak melakukan bakar lemang atau (beras pulut yang dimasak melalui bambu) dan tapai yang selalu melengkapi sajian Idulfitri. Selain itu, di malam takbir masyarakat melakukan pawai secara beramai-ramai dengan membuat bale yang diiring-iringi masyarakat menelusuri desa-desa tetangga sebagai wujud kegembiraan hari kemenangan.

Dan yang paling menarik lagi,  masyarakat Simeulue memiliki kebudayaan minum kopi dalam menyambut tamu. Di mana tuan rumah wajib menyediakan secangkir kopi untuk setiap tamu yang berkunjung ke rumah sebagai bentuk penyambutan, tapi tidak sama dengan di hari-hari puasa, namun di hari raya Idulfitri tentu saja kopi tidak boleh ketinggalan disajikan untuk menyambut sanak famili yang bersilaturahmi ke rumah.

Ada tradisi yang unik dalam menyambut hari kemenangan Idulfitri, yaitu pertunjukan nandong atau (main pukul debus), dan membuat pertunjukan drama Islami yang diperankan oleh masyarakat di desa itu sendiri. Biasanya kegiatan ini diselenggarakan di salah satu desa dan masyarakat di desa sekitar berkumpul menjadi penonton dan penikmat pertunjukan drama yang diselenggarakan salah satu desa tersebut. Namun kebiasaan menyelenggarakan nandong dan pertunjukan drama Islami dalam menyambut hari kemenangan Idulfitri  yang satu ini sudah mulai jarang dilakukan masyarakat Simeulue.

Melihat keceriaan dan kegembiraan dalam kebudayaan Ramadhan yang dilakukan masyarakat Simeulue, dimulai dari penyambutan Ramadhan sampai dengan perayaan hari kemenangan Idulfitri, tentu kita berpikir bagaimana kebudayaan tersebut dilakukan dimasa  Covid-19 yang dijuluki sebagai pandemi seperti ini. Tentu saja istilah Covid-19 sudah menjadi yang tidak asing lagi di telinga kita karena efek yang diakibatkan Covid-19 telah menjadi pusat perhatian dunia pada tahun 2020 saat ini. Namun syukurnya, pemerintah Simeulue sudah melakukan antisipasi dari jauh hari dalam mengantisipasi pencegahan Covid-19 masuk ke kabupaten Simeulue, di mana kebijakan pemerintah kabupaten Simeulue dilakukan dengan penjagaan dan pengawasan ketat di kawasan transportasi keluar masuk kabupaten Simeulue. Seperti pengawasan ketat di bandara Lasikin dan pelabuhan ferry sehingga sampai saat ini kabupaten Simeulue belum ada yang positif terjangkit Covid-19 dan masyarakat masih melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya, termasuk keceriaan melakukan berbagai kebudayaan masyarakat di bulan suci Ramadhan ke 1441 H.

Demikian kebudayaan masyarakat Simeulue dalam menyambut bulan suci Ramadhan  yang dimulai dari perayaan hari meugang sampai dengan kebudayaan menyambut hari kemenangan Idulfitri dengan pertunjukan nandong dan drama islami. Yang pastinya, semua keberagaman suku dan kebudayaan menjadi warna tersendiri bagi setiap daerah, termasuk kebudayaan provinsi Aceh di kabupaten Simeulue yang tidak serta-merta memiliki kebudayaan yang sama dalam menyambut Bulan Suci Ramadhan, melainkan ada beberapa kebudayaan di kabupaten Simeulue yang tidak dijumpai dalam kebudayaan di provinsi Aceh.

***

Efaludina Tanjung

Penerima beasiswa Bidikmisi angkatan 2017. Saat ini kuliah di Program Studi Ilmu Filsafat, Universitas Pembangunan Panca Budi, Medan. Penulis dapat dihubungi melalui surel: efaludinatanjung@gmail.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *