Kedatangan Idulfitri di Indonesia kerap kali disambut oleh berbagai tayangan iklan, baik di televisi maupun di media sosial. Mulai dari iklan produk makanan, minuman, pakaian, rokok, cat tembok, hingga perbankan. Pada umunya, setiap produk maupun merek (brand) akan berlomba-lomba menyajikan materi iklan yang unik agar dapat menarik perhatian calon konsumen. Setiap iklan memiliki strategi pemasaran tersendiri untuk menonjolkan kelebihan dan keunikan dari masing-masing produk atau merek. Beberapa tahun belakangan, iklan-iklan yang tayang dalam momen Ramadan dan Idulfitri kerap berdurasi panjang, memiliki alur cerita yang dibuat dramatis, bahkan menampilkan efek-efek sinematik sebagaimana film-film layar lebar.
Sebagian penonton iklan belum tentu menjadi konsumen dari sebuah produk, namun mereka yang menonton iklan bisa menjadi tertarik karena pesan yang disampaikan dengan cara yang unik dan berbeda dari iklan produk lainnya. Selain itu, terdapat juga merek yang sudah mendapatkan kepercayaan konsumen, namun ingin mengenalkan fitur baru kepada konsumen, sehingga muncullah iklan yang sengaja dibuat untuk membangun citra baru dan kesadaran merek (brand awareness) produk tersebut. Seperti iklan Bank Central Asia (BCA) terbaru yang diberi slogan Tiba-Tiba Lebaran (2003). Sebagian besar penduduk Indonesia tentunya sudah tidak asing dengan nama ini. BCA yang telah berdiri sejak 1957, terus menawarkan berbagai layanan dan produk, seperti mobile banking, pinjaman, dan kartu kredit. Kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi menjadikan BCA sebagai salah satu bank swasta ternama di Indonesia.
Iklan BCA Tiba-Tiba Lebaran berkisah tentang berbagi THR lebaran. Iklan ini dibintangi aktris Christine Hakim, dan tayang di kanal Youtube Solusi BCA dengan judul Kisah BagiBagi THR Lebaran dengan Christine Hakim #TibaTiba Lebaran. Berdurasi hampir lima menit, iklan ini menampilkan beberapa adegan.
Dalam tulisan kali ini, saya tertarik memaknai Iklan BCA Tiba-Tiba Lebaran. Selain dikemas sinematik, iklan ini juga terasa komikal. Iklan ini membagi materinya ke dalam beberapa adegan. Ada 4 adegan, yakni Tiba-Tiba Lebaran, Misi yang Mustahil, Paling Derma, dan AvaTHR. Semua adegan dibingkai dalam sebuah peristiwa rapat tim kreatif dengan produser iklan. Mereka bernegoisasi tentang bagaimana iklan ini mestinya dikemas dan disampaikan. Keempat adegan tersebut juga menggambarkan opsi dari tim kreatif. Secara khusus, saya hanya mencermati satu adegan saja, yakni Tiba-Tiba Lebaran, karena di akhir iklan, adegan inilah yang menjadi pilihan produser iklan yang diperankan Christine Hakim. Dengan demikian, saya memaknai iklan ini secara fragmentaris.
Dalam kerja pemaknaan atas iklan BCA Tiba-Tiba Lebaran, saya memakai semiotika Roland Barthes. Barthes merupakan penerus teori Ferdinand de Saussure. Barthes membagi makna suatu tanda ke dalam dua lapisan. Lapis pertama adalah makna denotasi, sedangkan lapis kedua adalah makna konotasi. Denotasi merupakan makna harfiah dan berada pada level pembacaan tingkat pertama. Dalam iklan BCA Tiba-Tiba Lebaran, denotasi bisa dicermati melalui penanda yang tidak terkodekan yang bisa berupa apa saja, entah dialog, gestur, busana bintang iklan; setting dan properti; maupun gerakan kamera, sudut-pandang kamera (camera angles), montase, dlsb. Sementara konotasi lebih sukar dicermati karena diartikuliasikan oleh penanda yang terkodekan.
Dalam pemikiran Barthes, setiap penanda akan menyarankan pada suatu makna (petanda), dan makna tersebut dapat diartikan secara berbeda tergantung dari siapa yang menginterpretasinya dan pada kondisi apa interpreter berada. Pemikiran Barthes kerap digunakan dalam menganalisis iklan, film, fesyen, karya seni, karya sastra, hingga agama.
.
Kaya Raya, Dermawan, dan Mempertahankan Nasabah
Iklan BCA Tiba-Tiba Lebaran dibuka dengan memperlihatkan sebuah ruangan gelap, di mana Christine Hakim diperlihatkan tengah menekan tombol sebuah remot. Ketika emot ditekan, seketika waktu dihitung mundur. Iklan kemudian memperlihatkan tulisan Tiba-Tiba Lebaran, dan terdengar lagu Lebaran Tiba sebagai musik latar, yang diplesetkan dari lagu Ramadan Tiba yang dipopulerkan oleh Opick.
Iklan ini berlanjut pada adegan Christine yang berada di ruang tengah rumahnya sambil berjalan dan memegang amplop THR, dengan berkata, “Tiba-tiba sudah lebaran saja, harus bagi-bagi THR untuk ponakan.” Christine kemudian berjalan ke ruang tamu seolah siap untuk menyambut para keponakannya dan membagikan THR kepada mereka. Pada level denotasi, bagian ini seakan hendak menyatakan bahwa tradisi bagi-bagi THR adalah tradisi bersedekah pada saudara atau keponakan yang dirasa perlu dibantu, dari orang dewasa yang berkecukupan kepada keponakan atau saudara yang lebih muda dan belum berpenghasilan.
Sejatinya, THR merupakah hal yang ditunggu-tunggu oleh setiap pekerja di setiap tahunnya. Tradisi pembagian THR ini sudah berlangsung sejak era pemerintahan Presiden Soekarno, yaitu pada tahun 1951. Pembagian ditujukan agar para pekerja dapat merayakan hari raya dengan layak, memenuhi kebutuhan anggota keluarga, dan meningkatkan kesejahteraan keluarga pekerja. Pemberian THR juga memiliki ketentuan tertentu, seperti masa kerja maupun jumlah penghasilan. Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi pembagian THR mengalami ‘penambahan’ makna yaitu, bagi-bagi THR kepada saudara atau keponakan yang belum bekerja.
Salah satu ciri ‘dimulainya’ bagi-bagi THR adalah saat orang-orang mulai berbondong-bondong menukarkan uang mereka dengan uang baru dalam pecahan yang lebih kecil. Uang-uang dengan nominal Rp2.000 hingga Rp50.000 ini akan dibagikan kepada sanak saudara saat hari raya tiba. Sanak saudara pun menantinya dengan suka cita.
Selain disebut ‘bagi-bagi THR’, tradisi ini juga disebut ‘salam tempel’. ‘Tempel’ mengacu pada uang yang ditempelkan ke tangan saudara saat bersalaman. Ada juga yang menggunakan sebutan ‘angpao lebaran’ yang diadaptasi dari tradisi berbagi angpao pada perayaan Imlek. Pada masa sekarang, istilah THR menjadi lebih lazim, seakan-akan penerimanya juga mendapatkan THR sebagaimana THR yang didapatkan para pekerja.
Tidak semua orang dewasa memiliki penghasilan lebih, sehingga tidak semua orang dewasa mampu berbagi THR pada saat lebaran. Selain itu, besar kecilnya jumlah THR yang dibagikan juga tergantung dari penghasilan pihak yang memberi dan berapa usia penerima. Seiring dengan pertambahan usia, tentunya sangat memungkinkan pihak yang menerima akan menjadi pihak yang memberi ketika ia sudah berpenghasilan. Semakin besar usianya, semakin sedikit THR yang didapatkan atau sebaliknya, tergantung dari kebiasaan yang berlaku dalam sebuah keluarga.
Pada adegan kedua, Christine berjalan sambil memegang amplop THR menuju ruang tamu, kemudian berseru, “Ayo THR!”. Sesampainya di ruang tamu, Christine tertegun menyaksikan antrean saudara dan keponakan yang begitu panjang, hingga bermeter-meter ke luar rumah. Christine lalu menatap bingung ke arah kamera, dan berkata, “Tiba-tiba jadi tambah banyak. Apa saya salah hitung?” Seruan, “Ayo THR!” bisa dipahami sebagai salah satu denotator sekaligus konotator di adegan ini. Seruan ini menandakan bahwa Christine sudah menyiapkan dan memperhitungkan dana THR untuk dibagikan kepada keponakannya. Hal ini memberi kesan konotatif bahwa Christine adalah sosok tante yang dermawan, dan keponakannya rela mengantre panjang demi ‘merasakan’ kedermawanan Christine.
Di lain hal, ekspresi bingung juga diperlihatkan Christine saat ia tidak ingin untuk membuat kecewa keponakannya, bila uang THR-nya tidak mencukupi. Christine pun mencari solusi. Membaca ekspresi ini, kiranya perlu pula melibatkan konteks sosial budaya yang berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, hari raya menjadi momen untuk berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara. Pada momen ‘salam tempel atau berbagi THR’, sering kali orang akan melebihkan anggaran THR mereka untuk mengantisipasi kedatangan tamu yang tidak terduga, seperti saudara jauh atau anak tetangga. Maka kehawatiran Christine akan THR yang tidak mencukupi, seakan menjadi pengingat para pemberi THR agar menyiapkan anggaran ekstra jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diguga.
Adegan berikutnya beralih ke saat Christine mengeluarkan telepon genggamnya untuk mengakses fitur Sakuku yang tersedia di aplikasi mobile banking BCA. Lalu ia pun mentransfer uang THR melalui fitur tersebut dan secara langsung terkirim ke rekening penerima yang ditandai dengan terdengarnya notifikasi saldo bertambah di telepon genggam secara serempak. Keponakan dan saudara Christine pun bersorak penuh bahagia. Syukur pun diucapkan, “Alhamdulillah, ada BagiBagi di BCA Mobile. Bagi-bagi THR banyak jadi lebih mudah!”
Di sini, fitur Sakuku di mobile banking BCA menjadi solusi masalah. Sakuku di mobile banking BCA secara intens telah menyarankan makna tentang ‘mudah dan begitu nyamannya menjadi dermawan’. Di sinilah letak penguatan makna konotasi iklan ini. Kemudahan sekaligus kenyamanan menjadi kaya dan dermawan dengan BCA.
Memang tidak semua pemberi dan penerima THR adalah nasabah BCA, terlebih penerima THR dari usia muda, yang tentunya belum begitu memahami berbagai produk dan layanan perbankan. Selain itu, tidak semua pemberi dan penerima THR memiliki kecakapan dalam menggunakan aplikasi mobile banking. Walau telah banyak bank yang menawarkan layanan perbankan demi memudahkan nasabahnya. Masih banyak orang yang lebih memilih cara-cara ‘analog’ dalam berbagi THR, dari menukarkan uang ke pecahan kecil, memasukkannya ke amplop, dan membagikannya saat bersalaman di hari raya. Dari sisi pihak penerima THR, masih banyak yang menganggap bahwa memegang uang tunai secara fisik jauh lebih menyenangkan dan praktis ketimbang uang digital atau non tunai. Maka dalam hal ini, konotasi iklan BCA Tiba-Tiba Lebaran ini bisa melebar pada strategi BCA dalam mempertahankan nasabahnya, yang dapat dikatakan lebih menyasar pada kelas-kelas sosial tertentu pula, orang-orang kaya, si pemberi THR.