//1

Sudah jamak bagi kita di Indonesia (khususnya), bahwa setiap bulan Ramadan berlangsung, ramai-ramai kita disapa oleh berbagai macam promosi (iklan) dan kegiatan yang menyajikan berbagai nilai keutamaan yang dikandung bulan ini. Promosi dan kegiatan ini diperantarai oleh berbagai rupa media, dan bisa kita temui dengan mudah di berbagai ruang. Di media seperti koran, majalah, radio, televisi, film, web, media sosial, poster, spanduk, musik, sastra, dlsb. Juga di berbagai ruang, seperti ruang keluarga, ruang sosial masyarakat, ruang kerja, ruang belajar, dlsb.

Dari sekian media yang tidak sedikit tadi, televisi menjadi media yang paling menarik untuk disoroti dalam tulisan ini. Mengapa? Sekalipun kini adalah eranya new-media (internet, media sosial), televisi kiranya tetaplah menjadi media yang amat interaktif, dinamis, dan intensif. Dikatakan interaktif, sebab televisi melibatkan unsur audio-visualnya dalam berinteraksi dengan pemirsanya. Suatu interaksi yang begitu dinamis dan intensif. Televisi meniscayakan keberadaannya (siarannya) menjangkau berbagai ruang yang disebut di awal tadi (di mana-mana), serta setiap waktu dapat disaksikan (tak putus-putus). Televisi juga akan selalu menyesuaikan diri dengan logika-formasi masyarakatnya. Apa yang menjadi kebutuhan (needs) dan hasrat (desire) masyarakat akan diakomodir televisi dan tentunya dengan berbagai penyesuaian terkait kepentingan televisi (pengaruh, rating, dan agenda ekonomi lainnya). Hal ini penting dilakukan televisi, sebab bila tidak, bisa jadi televisi akan ditinggalkan, menjadi kedaluwarsa, dan akhirnya gulung tikar.

Di sisi lain, Indonesia dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam tentu merindukan Ramadan yang datang sekali dalam setahun. Oleh muslim, Ramadan dinilai sebagai bulan yang amat mulia, penuh keberkahan dan rahmat. Segala pelipatan kebaikan dikandung bulan Ramadan, baik kebaikan beribadah puasa dan segala amal ibadah lainnya, kebaikan nuzulul Quran, kebaikan Lailatul Qadr, dan seterusnya. Kerinduan serta dasar-dasar teologis inilah yang kemudian meningkatkan ghirah beragama di bulan Ramadan, dan lantas dibaca televisi sebagai peluang untuk diisi berbagai strategi melebarkan mass market mereka sekaligus untuk mengeruknya habis-habisan.

Oleh sifat dan peta situasi inilah, maka wajar bila televisi menjadi peserta yang paling giat dalam ‘merayakan’ bulan Ramadan. Berbagai stasiun televisi akan berlomba-lomba memproduksi, mengemas, dan menyajikan berbagai program dan acara mereka dengan nuansa Ramadan dan Islam. Termasuk yang ambil bagian di sini adalah para produsen iklan yang menayangkan iklannya di televisi. Kita bisa menyaksikan berbagai ceramah keagamaan yang rutin tayang jelang berbuka puasa atau sebagai teman santap sahur. Beragam kontestasi keagamaan seperti kontes para penghafal Al-Qur’an, kontes calon pendakwah, kontes musik agamis, dlsb. Pun, tak ketinggalan dalam mewarnai Ramadan, televisi juga menayangkan sinetron-sinteron berbaju Islam, serta acara komedi slapstic yang tak visioner yang ‘khas’ tayang di bulan Ramadan. Semuanya telah menjadi agenda rutin televisi tiap kali Ramdahan berlangsung.

Dengan nada klise, televisi cenderung akan mengatakan bahwa antusias mereka produksi dan siaran-siaran acara tadi, dimaksudkan untuk kepentingan laku keagamaan di bulan Ramadan. Agar Ramadan disuarakan oleh berbagai kebaikan sebagaimana ditunjukkan tayangan-tayangan tadi. Agar Ramadan semakin khidmat dengan berbagai nilai dan ajaran agama yang disampaikan melalui acara-acara ala televisi, dan seterusnya. Namun, bagi kita yang melek literasi media (media literacy) sebagaimana yang dimaksudkan Potter [1], yaitu perspektif yang digunakan dengan kekuatan semangat kritis ketika media menggunakan diri mereka sendiri dalam produksi berbagai susunan pesan dan makna, maka amat mungkin pernyataan klise tadi bisa kita tinjau ulang secara saksama.

//2

Dalam tayangan-tayangan keagamaan di televisi, pertama, kita bisa menyinyalir pergeseran yang amat signifikan, yakni pergeseran dari etika religius menjadi estetika religius. Hal ini terjadi ketika teks (nash) agama dihadapkan atau ditempatkan dalam industri media, dalam sebuah gejala technoculture. Budaya teknologi (technocultre) di sini dipahami sebagai perangkat yang memiliki kemampuan memproduksi atau bahkan membelokkan makna budaya. Technoculture menjadi bagian dari budaya populer [2]. Berhadapan dengan industri media, teks agama lantas ‘dibaca’ secara sepihak oleh media televisi. Sekalipun teks agama dipandang dengan sifat dinamis-kontekstualnya (historis), tapi tetap saja televisi mengabaikan sifat dasar teks agama, yakni sebagai sebuah teks yang sakral dan bersumber pada etika tauhid [3]. Pembacaan sepihak ini kemudian menyarankan televisi untuk merekonstruksikan ulang makna tekstual berdasar agenda mereka. Teks (nash) agama dikomodifikasi sedemikian rupa, sehingga apa yang tersaji dihadapan permirsa bukan lagi realitas tekstual sebagai presentasi sistem nilai dan keyakinan yang substansinya ada pada etika tauhid, melainkan teks agama yang lebih dekat sebagai realitas virtual, di mana agama menjadi realitas semu tanpa akar substansinya. Imaji-imaji terkait agama yang diproduksi oleh televisi lebih layak dinilai sebagai rekayasa-citra agama yang orientasinya pada politik rating dan akumulasi kapital. Televisi telah menempatkan teks agama sebagai selubung belaka. Nilai dan etika tauhid sebagai dasar dari teks agama kemudian tampil secara artifisial di televisi, tidak lagi artikulatif yang bersifat reflektif. Dengan kata lain, televisi menjauhkan spiritualitas teks (nash) agama dengan cara mendangkalkannya [4].

Bukankah berpuasa di bulan Ramadan adalah ajaran agar kita mampu mengelola atau menahan diri dari berbagai hasrat duniawiah? Teropong paling gampang dan mencolok adalah menahan hasrat untuk makan dan minum. Dengan tidak makan dan minum dari subuh hingga magrib, kita dituntun untuk sampai pada nilai dan praktik hidup sederhana, tidak berlebihan-lebihan, baik dalam pikiran juga dalam berperilaku. Juga, selain itu kita juga ‘dituntut’ untuk lebih peka pada sesama yang tidak beruntung dalam hal makan dan minum. Tapi di tangan televisi dan tayangan produksinya, Ramadan justru diisi dengan berbagai sajian kemewahan makanan dan minuman dengan berbagai variabelnya. Di bulan Ramadan, orang justru semakin dihasrati untuk menikmati kesadaran semu produk simulasi televisi tentang imaji berbagai kepuasan duniawi—yang sebenarnya tidak diindahkan dalam Ramadan. Saat bulan Ramadan, kita justru semakin diarahkan untuk berperilaku konsumtif, padahal Ramadan amat menentang perilaku seperti ini. Menjadi kontradiktif! Di sini, televisi telah ‘merekayasa’ cara pandang kita atas hidup sederhana sebagaimana pokok ajaran puasa Ramadan. Televisi telah menjelma sebagai saluran hasrat mengenai konsumsi dan gaya hidup. Televisi mengkampanyekan apa yang ‘seharusnya’ dijalani saat Ramadan berlangsung seturut tafsir mereka sendiri. Sebuah gugus imaji yang memiliki kekuatan menuntun khalayak—gususan simulacra, sebut Baudrillard [5].

Kedua, yang lebih mendasar lagi adalah posisi televisi dalam suatu sistem budaya komersial, di mana hiburan adalah khas sistem tersebut. Televisi bukanlah hal yang menghibur saja, namun televisi telah membuat hiburan itu sendiri sebagai format dasar pengembangan dari segala sesuatu. Televisi mempertemukan kita kepada seluruh dunia dengan wajah yang senantiasa tersenyum. Persoalannya bukanlah pada televisi memberi kita topik yang menghibur melainkan segala hal tampil sebagai hiburan [6]. Hal ini bisa kita pahami, sebab televisi adalah media yang dilahirkan sebagai entitas ekonomi serta muatannya yang menyasar public domain (ranah publik).

Apapun akan diolah televisi sedemikian rupa menjadi sebuah hiburan, sebagai tontonan. Termasuk perihal agama. Sebut saja kontestasi para penghafal Al-Qur’an cilik yang rutin diproduksi salah satu stasiun televisi swasta di bulan Ramadan. Mereka adalah anak-anak dengan ragam usia, 7-12 tahun. Mereka dipertontonkan kebolehannnya dalam menghafal Al-Qur’an sembari para juri mengoreksi bacaan dan berkomentar secara bombastis. Tak ketinggalan, pembawa acara turut mendramatisirnya dengan gayanya yang (dipaksakan) komikal. Semakin diperparah dengan mengusut latar belakang kehidupan para penghafal cilik, yang tak jarang latar belakang yang diulik adalah perjuangan menjadi hafiz yang berbalut kemiskinan yang disertai dengan bumbu-bumbu tangisan. Kemiskinan lantas menjadi tema yang menarik untuk melengkapi tema besar acara tersebut: kemuliaan dan agungnya Al-Qur’an. Spiritualitas Al-Qur’an dan tradisi menghafalnya (yang mulanya amat personal-transenden), kepolosan (kelucuan) anak-anak dan representasi kemiskinan lantas diramu menjadi obyek hiburan publik: sebagai simbol semata yang menjauh dari kedalaman spiritual dan humanisme. Sajian semacam inilah yang paling menjual. Masyarakat pemirsa (awam) pun menikmatinya, sebab dewasa kini, agama (di ruang publik) serta rasa empati kolektif memang begitu dirindukan di tengah kekacauan sosial, baik di tingkat keluarga maupun dalam bernegara. Melalui sajian acara tersebut, televisi menciptakan pengalaman bersama masyarakat sebagaimana yang dimaui mereka. Melalui sajian penghafal Al-Qur’an cilik tadi, televisi mengajak pemirsanya untuk keluar dari social chaotic dengan jalan memasuki spiritual chaos [7].

//3

Raymond Willimas, pakar kenamaan cultural studies, dalam bukunya Televisi (1974) mengatakan bahwa televisi adalah anak kandung dari sebuah praktik hidup. Mobilitas dan kesadaran akan perubahan masyarakat yang kian tinggi dan cepat adalah praktik yang turut menyokong televisi untuk hadir dengan logika komersialnya. Televisi menjadi produk kultural yang akan terus mengalami perubahan berdasar siapa masyarakat-pemirsanya dan pada zaman apa mereka hidup. Dengan kata lain, media televisi berada dalam masyarakat dan ia terus hidup di dalamnya sebab dihidupi masyarakat. Setidaknya, dihidupi dengan cara menjadi pemirsa televisi. Jadi, televisi me-material-kan dirinya karena adanya praktik hidup yang memintanya, bukan sekadar abstraksi.

Pertanyaan reflektifnya kemudian, di tengah gencarnya komodifikasi agama atau estetisasi religius oleh televisi di bulan Ramadan; di tengah semakin mesranya hubungan agama dan budaya populer yang melahirkan religiotainment; maka bukan lagi pertanyaan naif yang mesti terdengar, “Masih sediakah kita ‘menghidupi’ agama di televisi yang semakin komersil dan abai pada kepentingan publik?” Atau, “Maukah melepaskan diri dari televisi dan tayangan keagamaannya?” Melainkan lebih pada pertanyaan, “Maukah kita menjadi pemeluk agama cum pemirsa televisi yang sensitif dan kritis dalam menangkap dan menyikapi persoalan agama yang semakin berbaur dengan persoalan (utamanya) konsumsi dan fetisisme, terlebih di tengah kemudahan mengakses pengetahuan terkait media (media literacy)? Sediakah kita menjadi pemeluk agama yang tidak membuang akal budi masing-masing?

Wallahu’alam …

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *