Istri saya mewanti saya untuk lebih berhemat menjelang bulan Ramadan. Sebab di bulan Ramadan, biasanya kebutuhan hidup akan meningkat sehingga pengeluaran pun akan membengkak melebihi bulan-bulan lainnya. Katanya, “Hemat-hemat, yo. Sebentar lagi puasa.” Saya tidak tahu bagaimana dengan Anda! Apakah istri atau orang terdekat Anda juga akan berkata serupa? Barangkali iya, jika saya dan Anda berada dalam kelas sosial yang sama: kelas menengah (eufimisme dari pas-pasan).
Pertanyaannya kemudian, mengapa Ramadan justru dibayangkan sebagai bulan yang banyak pengeluaran? Bukankah di bulan yang penuh keberkahan ini, umat Islam justru dibatasi makan dan minumnya? Biasanya makan 3 kali sehari, kini menjadi 2 kali sehari di saat sahur dan berbuka. Biasanya ngopi-ngemil sepanjang hari, kini hanya di malam hari saja. Selain urusan perut, kita juga dibatasi dalam urusan shopping. Ketika masih memiliki satu-dua sepatu, misalnya, dan itu masih layak pakai alias masih bermanfaat, maka kiranya tidak perlu membeli sepatu baru atas alasan gengsi sosial atau untuk memenuhi gaya hidup tertentu. Pembatasan semacam ini akan menjadi semakin ketat saat Ramadan tiba, dengan harapan, agar kemampuan membeli barang baru (dengan tidak cukup alasan) dapat dialihkan untuk memperkuat amal ibadah kepada-Nya, misalnya dengan berempati melalui sedekah atau infak kepada orang yang membutuhkan. Atau paling tidak, pembatasan ini dapat menjadikan seorang untuk lebih ketat dan selektif atas barang atau objek apa pun yang akan dibeli.
Lebih luasnya, di bulan Ramadan, umat Islam dibatasi hawa nafsunya, agar maksimal beribadah kepada-Nya. Dibatasi keinginannya agar dapat menyelami hidup yang lebih sederhana dan lebih peka pada sesama. Jika yang dibutuhkan adalah makan, maka makanlah secukupnya. Tak perlu mengejar makan-makanan yang stylish demi pengakuan orang-orang di media sosial Anda. Jika yang dibutuhkan adalah pakaian untuk ibadah, maka cukupkan pada pakaian yang masih dipunyai lebih dulu. Atau jika memang harus membeli pakaian yang baru, maka sesuaikan ‘keharusan’ itu dengan kebutuhan fungsional dan keadaan keuangan Anda, bukan pada kebutuhan nafsu, tampilan, atau kebutuhan simbolik lainnya.
Tapi kini, kebiasaan di bulan Ramadan, setidaknya dalam kacamata saya, justru berbanding terbalik dengan aneka ‘pembatasan’ tersebut. Alih-alih menjadi hemat di bulan puasa, Ramadan justru membuat boros. Sangsi dengan hipotesa barusan? Silakan Anda ke luar rumah, tengoklah titik-titik tertentu di sekitar tempat Anda tinggal, yang biasanya di luar bulan Ramadan adalah kantong parkir, misalnya, sekarang di bulan Ramadan disulap menjadi pasar takjil musiman. Pasar takjil ini akan menggoda Anda dengan berbagai aneka makanan-minuman yang merayu selera Anda dan tentunya dengan harga yang ramah. Godaan ini semakin kuat manakala media massa meliputnya dengan kalimat-kalimat bombastis dan disertai foto-foto yang menggugah. Atau datangilah mal dan kunjungi lokapasar (marketplace) yang terinstal di gawai Anda, maka dengan mudah Anda akan menemukan banyak diskon ‘gede’ dan ‘gila-gilaan’ khusus di bulan Ramadan, dan tentunya akan semakin membuat Anda bernafsu berbelanja. Dengan kecanggihan berpromosinya, mal atau lokapasar akan menggait Anda tanpa peduli dengan kondisi dompet yang cekak. Mal atau lokapasar akan berkeras diri menjadikan Anda sebagai pelabuhan objek konsumsi yang mereka jual.
Atau amatilah saat berbuka nanti, naik berapa kali lipat kemampuan Anda melahap makanan dan minuman dalam sekali duduk? Lebih dari biasanya, tidak? Biasanya hanya satu piring nasi plus lauk dan satu gelas air, kini saat Ramadan akan ditambah kolak, kue basah, es campur, dan lain sebagainya.
Di sinilah ‘Ramadan yang membatasi’ justru berbanding terbalik dengan kultur dan kondisi sosial saya dan bisa juga Anda atau sebagian dari kita, yang lebih bernafsu untuk melampaui batasan-batasan tersebut.
Oleh gaya hidup tertentu, saya dan barangkali juga Anda, justru menyambut Ramadan dengan bersiap menjadi lebih konsumtif. Jean Baudrillard, seorang filsuf dan teoritikus budaya, menyebut konsumsi secara berlebihan sebagai budaya konsumerisme yang sejalan dengan formasi masyarakat pertumbuhan. Masyarakat ini hidup dalam alam kapitalistik. Masyarakat pertumbuhan selalu mengangankan hidup yang mapan dan sejahtera, dan untuk itu mereka dihasrati untuk mengonsumsi sebanyak-banyaknya objek konsumsi yang didasarkan pada nilai simbolik, bukan pada nilai fungsi! Seseorang membeli satu, dua, lalu tiga sepatu kemudian, padahal ia telah memiliki 10 sepatu di rumahnya, itu karena didorong oleh nilai simbolik dalam objek konsumsi, di mana nilai tersebut dikonstruksi oleh yang memproduksi objek tersebut dan dipromosikan oleh media massa, entah melalui iklan di televisi, internet, atau figur tertentu di media sosial. Nilai simbolik tentu berbeda dengan nilai fungsi. Bila nilai fungsi lebih memandang asas kemanfataan, maka nilai simbolik lebih pada kejaran prestise sosial. Itu mengapa, nilai simbolik dapat mendorong seorang untuk banyak membeli, semakin membeli, dan terus membeli.
Dengan perilaku konsumtif ini pula, maka yang diuntungkan bukan saya atau Anda, masyarakat yang tumbuh, yang bersuka cita atas datangnya Ramadan, melainkan yang diuntungkan adalah produsen objek konsumsi. Dengan begitu, yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin akan tetap miskin dan semakin terpinggirkan. Menjadi kaya, karena terus memperoleh keuntungan dari orang-orang yang boros alias konsumtif, dan orang-orang yang boros ini pada gilirannya akan menjadi miskin jika tidak mampu mengontrol perilaku konsumtif ini. Kedua ekses ini menjadi keniscayaan dari masyarakat pertumbuhan. Ekses yang jelas menambah dan memperlebar kesenjangan sosial.
Di lain hal, karena ini Ramadan, maka masyarakat konsumsi cum masyarakat pertumbuhan ini juga akan larut mengidentifikasi diri dengan identitas agama. Konsumtif tidak hanya dalam urusan makan dan minum atau urusan fesyen semata, tapi juga dalam urusan ibadah.
Saat Ramadan, durasi bunyi speaker masjid akan semakin panjang dan volume suaranya kadang kala semakin membesar. Seperti tadarus malam yang meraung-raung, entah dari rekaman kaset atau bukan, bahkan lewat pukul 12 malam sekalipun. Tidak peduli apakah ada bayi yang terganggu tidurnya; atau apakah di samping masjid atau berada tepat searah corong pelantang suara masjid, terdapat rumah yang dihuni lansia yang sakit-sakitan dan membutuhkan ketenangan istirahat.
Saat Ramadan pula, ada saja orang yang akan semakin bangga dengan infak dan sedekah ke masjid-masjid yang akan atau sedang dibangun, padahal tepat di samping tempat tidurnya ada orang yang nyaris mati kelaparan. Toh tidak perlu rasanya membangun masjid-masjid yang baru, sebab sudah ada masjid yang berdekatan dan masih sedikit jemaahnya, misalnya. Ada pula saat Ramadan, sekelompok orang akan menjadi giat membaca Al-Quran beramai-ramai di trotoar jalan, di pusat-pusat keramaian, di ruang-ruang publik. Katanya, ini adalah ajakan kepada orang banyak untuk mencintai Al-Quran agar semakin qurani. Sementara trotoar jalan adalah hak pejalan kaki yang heterogen.
Sedikit contoh di atas mengindikasikan bahwa perilaku konsumtif saat Ramadan itu juga lekat dengan ekspresi hura-hura. Tidak hanya dalam urusan ibadah yang semakin semarak di ruang publik (tapi entah di ruang privat?), tapi juga hura-hura dalam makan-minum. Yang namanya hura-hura alias berlebihan atau terlampau bersemangat dalam suatu hal, tentu lebih banyak ketidakbaikannya daripada kebaikannya.
Bisa jadi, tradisi saling mengucapkan “Marhaban ya Ramadan” yang diimbuhi larik-larik puitis yang berima A-B-A-B hanya sebatas ‘ucapan daging’ semata yang diterakan di baliho, poster, lisan atau chat WhatsApp, sementara yang bergelora di hati justru ‘Marhaban ya Konsumtif’. Bisa jadi.