“The West is now everywhere, within the West and outside,
in structures and in minds.”
Ashis Nandy
The Intimate Enemy, 1983
Selain mabuk jurnal internasional yang terindeks Scopus, WoS (Web of Science), dan lain sebagainya, perguruan tinggi di Indonesia juga keranjingan dengan akreditasi internasional. Beberapa tahun belakangan, perguruan tinggi di Indonesia belomba-lomba, beradu gengsi, mendaftarkan program studi yang dikelolanya untuk diasesmen oleh lembaga-lembaga akreditasi internasional yang kebanyakan berbasis di Eropa/Barat. Hal ini diangap wajar, sah, dan bahkan perlu karena, konon, demi menjamin mutu pendidikan tinggi baik secara akademik maupun non-akademik. Mutu yang terjamin akan memberikan efek berantai pada peningkatan reputasi internasional. Reputasi yang baik akan membuat program studi dan perguruan tinggi yang bersangkutan mendapat rekognisi internasional sehingga mampu bersaing secara global; dan pada ujungnya akan masuk dalam radar World Class University (WCU). Apakah ini sebuah keuntungan? Bergantung bagaimana kita memandangnya. Secara nisbi, program studi yang terakreditasi internasional adalah suatu keuntungan karena sederet efek berantai yang disebut barusan. Namun, melalui tulisan ini, saya mencoba beropini dengan memandangnya secara terbalik. Bahwa terakreditasi internasional justru minim keuntungan, karena menambah beban kerja dan mereproduksi hubungan kolonial yang binaris. Bahwa akreditasi internasional baru sebatas kebanggaan yang semu.
Manajerialisme Baru dan Budaya Audit
Kajian St. Sunardi (2016) dalam artikelnya yang berjudul Surplus Laporan, Defisit Perubahan: Dilema Perguruan Tinggi dalam Otoritarianisme Manajerial, menyebut bahwa gairah akreditasi di lingkungan pendidikan di Indonesia muncul karena ekses dari praktik manajerial-isme baru, yakni pemakaian manajemen secara berlebihan. Segala hal yang terlaksana mesti berawal dari perencanaan, dan segala yang terlaksana mesti diaudit. Jika tidak diaudit dengan prinsip-prinsip auditing, maka segala hal yang direncanakan dan terlaksana sungguh layak dicurigai. Di Indonesia, manajerialisme baru ini terterap sejak tahun 1990-an, ketika Bank Dunia (World Bank) dan IMF (International Monetary Fund) mulai mencangankan program perubahan struktural (Structural Adjustment Program, SAP) di negara-negara berkembang. Perubahan struktural adalah program bantuan untuk negara-negara berkembang yang dilit hutang dan disangsikan tidak mampu membayar. Bantuan baru ini diproyeksikan agar negara-negara penerimanya dapat membayar hutang-hutangnya. Caranya, dengan melakukan perubahan struktural alias negara-negara berkembang yang berhutang perlu membuka diri untuk pasar bebas. Begitu ungkap St. Sunardi lebih lanjut dalam artikelnya.
Dalam tambahannya, St. Sunardi mengatakan bahwa manajerialisme baru ini dijalankan “untuk menguasai, mengontrol, dan memanfaatkan seifisien mungkin berbagai resources dalam kehidupan kita untuk tujuan atau hasil tertentu.” Siapa yang menguasai, mengontrol, dan memanfaatkan? Adalah pasar bebas! Dalam bidang pendidikan, manajerialisme baru yang membudayakan budaya audit yang berlebihan (audit culture) ini justru bertolak dari ideologi pasar bebas, bukan dari cita-cita luhur gerakan reformasi pendidikan yang berpangkal dari gerakan reformasi 1998. Bahwa penyelanggaraan pendidikan pada ujungnya akan menyiapkan manusia agar bisa hidup, bersiang, dan melakukan ekspansi, dalam pasar bebas. Di pasar bebas, idealisme akan dikesampingkan. Padahal dalam pendidikan, idealisme adalah hal yang mesti dijaga supaya pendidikan tetap berjalan dalam prinsip sebagai lembaga pelayanan publik. Bukan sebaliknya, berjalan dalam rel pasar bebas yang mengorbankan idealisme dan menggantinya dengan logika komersial untuk memenuhi pasar kerja masyarakat kapitalisme baru!
Membayangkan Eropa/Barat
Dari lembaga-lembaga akreditasi internasional yang ada, sebagian besar berbasis di Eropa/Barat. Ada 10 lembaga induk (konsorsium) akreditasi internasional yang diakui dalam persetujuan internasional—dan diakui pula oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia (Kemendikbudristek RI) melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 83/P/2020 tentang Lembaga Akreditasi Internasional. Mereka adalah External Quality Assurance Results (EQAR); Council for Heigher Education Accreditation (CHEA); U.S. Department of Education (USDE); Washington Accord; World Federation for Medical Education (WFME); Sydney Accord; Dublin Accord; Seoul Accord; Canberra Accord; dan Asia Pacific Quality Register (APQR). Masing-masing lembaga induk akan menaungi beberapa lembaga akreditasi lainnya. EQAR yang digerakkan oleh Uni Eropa, misalnya, mencatatkan Foundation for International Business Administration Accreditaion (FIBAA) yang berbasis di Jerman untuk mengakreditasi program studi bidang ilmu sosial-humaniora. Dengan kata lain, FIBAA menginduk ke EQAR. Adapula USDE yang mengakui Accreditation Council for Pharmacy Education (ACPE) untuk akreditasi di bidang ilmu farmasi. Begitu seterusnya.
Lembaga-lembaga ini akan mengaudit mutu pendidikan di setiap pogram studi yang mendaftarkan diri untuk diakreditasi. Masing-masing lembaga akreditasi telah menentukan kriteria atau standar yang bervariasi dan mesti dipenuhi oleh asesi agar dapat lulus—terakreditasi. Meski bervariasi, setidaknya ada substansi pokok yang melekat dalam masing-masing kriteria, yaitu outcomes atau luaran. Outcomes merupakan sistem pendidikan yang berfokus pada kemampuan yang dapat diperoleh mahasiswa di akhir pembelajaran. Johannes Eka Priyatma dalam opininya yang berjudul Hantu Akreditasi Baru PT, yang dimuat di Kompas (21 Juni 2019), mengatakan bahwa outcomes adalah paradigma yang baru-baru ini dianut oleh sistem pendidikan tinggi di Indonesia sebagai upaya mengikuti tren internasional. Paradigma ini dipakai untuk menggeser paradigma pendidikan tradisional sebelumnya yang lebih berorientasi pada input dan proses. Jika input lebih mengarah pada segala potensi yang bisa disertakan dalam penyelenggaraan pendidikan dengan menekankan mekanisme pelaksanaan kurikulum (do) berbasis perencanaan (plan); maka outcomes lebih dari plan dan do dengan menekankan pada luaran (act) atau hasil dari proses pembelajaran serta bagaimana semua itu dievaluasi (check). Dalam bidang pendidikan, outcomes akan diukur dari, seperti, “kesesuaian kompetensi lulusan sesuai dengan profil, serta tingkat dan ukuran tempat kerja lulusan,” ujar Priyatma.
Dalam akreditasi internasional, persoalan mutu tidak lagi semata dijaminkan pada Sistem Penjamin Mutu Internal (SPMI) yang dimiliki masing-masing perguruan tinggi secara otonom, melainkan mesti dimodifikasi sesuai dengan paradigma outcomes. Jika suatu program studi mengajukan diri untuk dikareditasi internasional, maka outcomes mesti disesuaikan dengan kriteria/standar yang telah ditetapkan oleh lembaga akreditasi yang dituju. Sekalipun outcomes disusun dengan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), penilaian outcomes di sini tetaplah akan berlangsung dalam perspektif Eropa/Barat. Karena merekalah yang ‘memiliki’ lembaga akreditasi internasional dan telah menetapkan kriteria/standar penilaian. Dengan kata lain, outcomes diukur bukan dalam konteks Indonesia atau sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia, melainkan dalam standar nan jauh di sana yang dijalankan di Eropa/Barat, sekalipun outcomes mengacu pada KKNI dan SN Dikti (yang juga pro pasar). Pada titik ini, kriteria/standar yang dikenakan oleh Eropa/Barat dibayangkan sebagai yang terbaik dan berlaku universal. Mitos tentang Eropa/Barat sebagai ‘yang terbaik’ pun semakin langgeng.
Dalam perspektif kajian pascakolonial, Eropa/Barat sejak dulu kala memang mewacanakan dirinya sebagai yang unggul dan terbaik dalam banyak hal, termasuk dalam pendidikan. Wacana tersebut bertahan hingga sekarang. Jika Eropa/Barat dibayangkan sebagai ‘yang terbaik’ bagi pendidikan tinggi di berbagai penjuru dunia, maka hal sebaliknya berlaku bagi di luar Eropa/Barat yang dikatakan sebagai ‘yang jauh dari kata baik’.
Atas pemaksaan kesenjangan ini, Eropa/Barat kemudian merasa pelu memperadabkan pendidikan di luar Eropa/Barat yang dikatakan tertinggal darinya. Terlebih bagi pendidikan yang diselenggarakan oleh negara-negara pascakolonial, termasuk Indonesia. Eropa/Barat membuai para pengidap patalogi pascakolonial ini agar mengikuti standar pendidikan mereka melalui, salah satunya, akreditasi internasional. Suatu ‘civilizing mission’, kiranya, dari imperium Barat/Eropa untuk negara-negara ‘dunia ketiga’.
Ashis Nandy (1983) dalam bukunya The Intimate Enemy, berpendapat bahwa ‘civilizing mission’ atau misi pemberadan adalah lanjutan dari kolonialisme fisik. Bila kolonialisme menjalankan penjajahannya dengan cara yang penuh pemaksaan dan kekerasan, maka kolonialisme lanjutan ini lebih bersifat subtil karena yang dikolonisasi adalah pikiran dan psikis manusia terjajah. Kolonialisme lanjutan seringkali dikesankan bertujuan mulia. Eropa/Barat sebagai kolonialis berupaya mengkontruksi logika biner tentang dirinya yang unggul, terbaik, dan beradab; sementara yang terjajah diposisikan sebagai yang kekanak-kanakan, barbar, tertinggal, dan perlu diperadabkan.
Suka atau tidak suka, logika biner semacam ini bersemayam di benak banyak orang, hingga sekarang. Salah satunya bisa temui dalam kasus akreditasi internasional. Bahwa pendidikan di Indonesia, negara bekas jajahan, perlu diperadabkan, agar menjadi lebih baik menyerupai Eropa yang dimitoskan beradab. ‘Pemberadaban’ ini seolah tanggung jawab atau beban yang mesti ditunaikan oleh orang-orang kulit putih: ‘The White Man’s Burden’.
Barangkali akan muncul pertanyaan, bukankah standar/kriteria pendidikan tinggi yang ditentukan Eropa/Barat dan menjadi acuan bersama dapat membawa manfaat bagi peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia? Anggaplah secara faktual, Eropa/Barat ‘memang’ lebih baik dari Indonesia dalam hal penyelenggaran pendidikan tinggi. Sehingga akreditasi internasional tidak perlu diproblematisasi secara berlebihan. Namun, dalam wacana misi pemberadaban yang bermasalah bukan pada kebaikan yang diajarkan atau yang diadopsi untuk kebermanfaatan, tapi lebih karena perbedaan konteks dan sikap yang muncul kemudian.
Standar/kriteria dalam akreditasi internasional dirumuskan berdasarkan kebutuhan dan berangkat dari kondisi masyarakat Eropa/Barat. Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia. Perbedaan konteks mestinya juga perlu penyikapan yang berbeda pula. Toh, Jakarta saja selalu gagal menyikapi pendidikan di Indonesia Timur, karena memaksakan kacamata dominasi Jakarta untuk melihat Indonesia Timur yang secara konteks dan kebutuhan jelas berbeda. Jika Jakarta sebagai pusat kekuasaan saja gagal memandang Indonesia Timur, lantas bagaimana dengan Eropa/Barat yang mencoba memandang Indonesia yang sangat heterogen dan berjarak ribuan kilometer darinya?
Selain konteks, membayangkan Eropa/Barat sebagai yang terbaik dan beradab akan memunculkan suatu sikap hubungan yang hierarkis. Hubungan hierarkis ini kemudian akan memupus sikap kritis dari ‘yang diperadabkan’ kepada ‘pembawa peradaban’ karena adanya relasi kuasa. Pada penekanan inilah ‘civilizing mission’ dalam balutan akreditasi internasional menjadi problematis.
Menyerupai Eropa/Barat
Melalui akreditasi internasional, pendidikan tinggi di negara-negara di luar Eropa/Barat mesti mengikuti standar/kriteria yang ditentukan oleh Eropa/Barat. Konon, sikap mengikuti ini diperlukan agar pendidikan tinggi di Indonesia menjadi lebih baik menyerupai ‘baiknya’ pendidikan tinggi di Eropa/Barat. Kata ‘menyerupai’ kembali diulang di sini untuk penekanan. Bahwa pendidikan tinggi di Indonesia tidak akan pernah sama dan sejajar dengan Eropa/Barat, sekalipun kita mencoba mengikuti standar pendidikan mereka dengan sungguh-sungguh dan susah payah. “Almost the same, but not quite,” kata Homi K. Bhaba, salah seorang pemikir dalam kajian pascakolonialisme. Mengapa ‘Hampir sama, tapi tidak cukup’. Mengapa ‘not quite?’ Karena rasisme: ‘not white’. Tambah Bhabha, “Almost the same, but not white”. Rasisme akan senantiasa membedakan segala hal berdasarkan ras. Di sini, Eropa/Barat kembali menekankan diri sebagai ras yang superior.
Dengan mengajukan diri sebagai asesi dan memandang Eropa/Barat sebagai asesor yang superior, perguruan tinggi di Indonesia malah turut mempertahankan wacana kolonial yang rasis pada diri sendiri. Selain tentunya, juga turut memperkaya Eropa/Barat, karena akreditasi internasional semacam ini jelas berbayar.
Biaya yang mesti dikeluarkan oleh perguruan tinggi agar program studi yang dikelolanya diakreditasi oleh lembaga akreditasi internasional, tentu tidaklah sedikit. Ada yang menyebut ratusan juta untuk sekali asesmen. Tidak berhenti sampai di situ, jika suatu program studi dinilai memenuhi kriteria/standar akreditasi alias terakreditasi, maka ia juga perlu membayar puluhan juta setiap tahun secara periodik untuk aktivitas pengawasan (surveilan). Pengawasan ini diperlukan untuk memastikan bahwa kriteria/standar dapat terus dipenuhi secara konsisten dan berkelanjutan atau menjadi bagian dari re-akreditasi. Siapa yang mengawasi? Tentunya, lagi-lagi sang asesor, lembaga-lembaga akreditasi internasional yang merepresentasikan Eropa/Barat sebagai yang ‘beradab’.
Lantas mengapa perguruan tinggi di Indonesia rela membayar uang dalam jumlah yang besar hanya untuk keterasingan atas konteks dan pelanggengan mitos Eropa/Barat sebagai ‘yang terbaik’, sebagai ‘yang beradab’? Rela menambah beban kerja berlebih untuk mengisi borang-borang akreditasi yang justru mempertahankan hubungan hierarkis yang binaris? Rela memperparah mentalitas kolonial demi terakreditasi internasional?