Isu perempuan selalu menarik untuk dibicarakan, sebab kompleksitas pembicaraannya yang melibatkan banyak aspek. Perempuan memiliki sisi unik, mereka lemah lembut sekaligus yang menyimpan kekuatan tersendiri. Namun, terkadang penghargaan terhadap perempuan justru dapat membatasi kekuatan mereka sebagai manusia. Ada berbagai hal yang dapat menghambat ekspresi kekuatan perempuan, seperti pertentangan dalam agama, budaya, stereotipe dan stigma sosial, pendidikan, dan lembaga perkawinan. Pada masa lampau, kita sering mendengar cerita tentang pahlawan-pahlawan perempuan yang berjuang memperoleh hak-hak kesetaraan. Kartini adalah contohnya, yang gigih dalam memperjuangkan kesetaraan pendidikan bagi perempuan. Selain itu, Rohana Kudus juga dikenal karena keberaniannya melawan ketidakadilan di Minangkabau. Ada banyak bukti mengenai upaya perempuan mengaktualisasikan kekuatan mereka. Namun, perjuangan tersebut belum mampu sepenuhnya mengatasi kesenjangan antara perempuan dan potensi yang dimilikinya di ruang publik hingga saat ini.
Perempuan masih dihadapkan pada pembatasan yang diterapkan atas perspektif fungsionalisme, yakni pembatasan pergerakan perempuan yang sebenarnya berakar pada model pembagian peran (fungsi) dalam keluarga tradisional. Ayah ditempatkan di ruang publik, dengan tugas mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sementara ibu bergerak di ranah domestik. Tugas ibu meliputi pengasuhan anak, memberikan perlindungan, kasih sayang, dan mengatur kebutuhan rumah tangga.
Sekalipun Max Weber menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam tindakan dan perilaku, perempuan dalam banyak aspek di masyarakat, masih sulit mengakses ruang-ruang publik tertentu secara bebas. Roger Scuurton (1984), dalam tambahan yang berbeda menyebut bahwa setiap ruang publik memiliki makna sebagai lokasi yang dirancang dengan seminimal mungkin, memiliki akses yang luas terhadap lingkungan sekitarnya, dan menjadi tempat pertemuan antara manusia atau pengguna ruang publik, di mana perilaku masyarakat pengguna ruang publik mengikuti norma-norma setempat.
Pendekatan fungsional yang masih terkungkung dalam menghadapi masyarakat pasca-positivistik tidak lagi memadai dalam menjelaskan kondisi masyarakat. Teknologi kekuasaan dan pengetahuan yang terhubung dalam hubungan sosial telah membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan. Epistemologi tentang keterbatasan perempuan telah dinormalisasi melalui reproduksi pengetahuan dalam memberikan tempat yang pantas bagi perempuan. Bahkan dalam ruang agama, perempuan telah dimandatkan haknya untuk mengakses sarana publik, sambil tetap memenuhi peran domestik secara konsisten.
Ketika membahas mengenai ruang publik, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa hingga saat ini peran perempuan masih dibatasi oleh berbagai hal. Ekstrimnya, perempuan acapkali diasosiasikan dengan figur pembantu. Perempuan hanya diizinkan sebagai tamu atau pengunjung, sedangkan posisi tuan rumah tetap dipegang oleh laki-laki. Ini berarti bahwa tamu hanya boleh memasuki ruang publik jika tuan rumah memberikan izin. Meskipun terdapat banyak wacana dan upaya dalam mencapai kesetaraan gender, emansipasi perempuan, dan perubahan struktural untuk memberikan akses ruang publik bagi perempuan, perempuan tetap saja menghadapi kendala-kendala sepele yang menghambat tercapainya tujuan dan perubahan tersebut. Kendala-kendala tersebut membuat ekspresi perempuan di ruang publik masih jauh dari semangat kesetaraan, sehingga potensi besar yang dimiliki oleh perempuan tidak dapat teraktualisasikan sepenuhnya. Ruang publik masih didominasi laki-laki. Pemain utama di ruang publik, tetaplah laki-laki, dan perempuan hanya diberikan akses jika tidak ada laki-laki yang dapat melakukan suatu hal, atau dalam kasus yang lebih buruk, perempuan hanya diberikan pekerjaan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Sayangnya, dominasi laki-laki terhadap perempuan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan wajar oleh masyarakat. Micheal Foucault mengatakan bahwa kadang kala penindasan dan penguasaan dilakukan melalui cara-cara yang represif dan menekan, yang terlihat dengan jelas sebagai proses dominasi. Namun, penindasan melalui cara-cara repressif tidak selalu menghasilkan reaksi perlawanan karena adanya asimetri dalam hubungan kekuasaan. Di sisi lain, penindasan dan penguasaan juga dapat dilakukan secara persuasif. Artinya, penindasan tidak dirasakan sebagai kenyataan. Penindasan hanya dapat diketahui jika ia dilihat sebagai efek atau akibat. Di sini, penindasan beroperasi pada tingkat kesadaran mental. Kekuasaan tersebut tertanam dalam tubuh individu, atau dengan kata lain, penindasan telah dinormalisasi. Penindasan terhadap tubuh tidak dilakukan tanpa alasan, melainkan sebagai upaya untuk melakukan kontrol sosial demi kepentingan tertentu. Kontrol sosial ini mengasumsikan adanya penindasan dan pengawasan terhadap perilaku individu dan masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan dengan cara persuasif ini juga bersifat hegemonik, ia tidak lagi memerlukan pengawasan eksternal karena telah diinternalisasi dalam diri subjek yang dikuasai. Oleh karena itu, tidaklah mudah untuk menganggap pembatasan perempuan di ruang publik sebagai sebuah masalah, mengingat pembatasan ini sudah dinaturalisasi sebagai yang terberi, sebagai sesuatu yang dianggap normal.
Pada era dewasa kini, gerakan demokrasi dan feminisme memiliki kesamaan dalam upaya mengatasi diskriminasi dan menciptakan masyarakat yang adil dan terbuka. Kehadiran feminisme sejalan dengan semangat demokrasi dalam kebebasan berpendapat. Meski demikian, gerakan feminisme juga belum mampu sepenuhnya mengubah pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hak-hak perempuan, yang telah terbentuk selama ratusan tahun sehingga menjadi tantangan besar bagi berbagai pihak. Perjalanan perempuan dalam mencapai kesetaraan, telah menjelaskan bahwa pendekatan fungsional tidak cukup memadai guna memahami realitas perempuan. Lebih dari itu, tantangan terbesar terletak pada pembongkaran penormalisasian hal-hal yang sebenarnya tidak normal. Sebab penormalisasian ini telah menghasilkan pengetahuan yang mempengaruhi cara pandang dan pemahaman kita yang timpang atas perempuan, selama bertahun-tahun, sehingga menyulitkan gerakan perubahan.