Mejeng

Meneropong Pendidikan Indonesia dari Marore

Membicarakan Indonesia artinya membicarakan bangsa dan negara secara utuh. Melihat berbagai macam informasi dari layar televisi seringkali menyedot per-hari-an dan meninggalkan per-tahi-an pada aspek lain yang juga sama-sama penting atau bahkan tidak penting sama sekali. Sudah hampir 71 tahun Indonesia merdeka, dan ‘rumah’ tercinta ini tidak bosan-bosannya dihampiri berbagai permasalahan di banyak sektor, baik di pusat pemerintahan maupun di daerah. Keadaan semakin memburuk, manakala pemerintah dan masyarakat seringkali memakai kacamata ‘Jakarta’ untuk menilai dan mengambil keputusan. Dalam hiruk pikuk permasalahan yang tiada henti muncul di kancah nasional, anak-anak di berbagai daerah tetap semangat mengenakan seragam merah putih, mengikat tali sepatu hitam, dan mengalungkan dasi merah berlogo: Tut Wuri Handayani. Mereka berjalan dengan langkah-langkah kecil yang penuh canda tawa, seakan menggambarkan harapan bahwa hari esok pasti lebih baik.

Pendidikan di Indonesia memang sangat ‘renyah’ dan tidak ada habis-habisnya untuk didiskusikan.  Di berbagai daerah, masyarakat dengan teguh dan mantap meyakinkan bahwa pendidikan itu penting, oleh karenanya banyak orang tua yang mengharuskan anaknya mengenyam pendidikan formal setinggi-tingginya, mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga universitas. Tamat dari sekolah yang satu, pindah ke sekolah yang lain, dan begitu seterusnya. Dalam berbagai kesempatan, orang tua dan siswa memiliki banyak opsi dalam memilih sekolah mana yang mereka senangi. Proses ini mungkin biasa bagi kita, karena bisa jadi kita menggunakan kacamata ‘Jawa’ atau ‘Jakarta’ untuk melihat fenomena tersebut. Melalui tulisan kali ini, saya ingin mengajak mengubah dan membalikkan perspektif tadi. Kita akan melihat pendidikan Indonesia dari daerah terluar di utara Indonesia bagian timur. Kita akan meneropong Indonesia dari Marore. Oleh karena itu, hilangkan dulu segala nilai dan berbagai anggapan ideal yang tertanam dalam diri masing-masing demi melihat tulisan ini sebagai pesan moral yang mudah untuk dicerna.

Marore adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Kecamatan Marore merupakan daerah pemekaran dari Kecamatan Tabukan Utara. Marore adalah sebuah pulau yang memiliki pantai dan pasir putih yang indah. Marore disebut juga sebagai ‘pintu beranda’ atau ‘teras’ negara Indonesia karena berbatasan langsung dengan Filipina.

Peta Pulau Marore, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara (Sumber: Hendra Jailani)

Dari pulau Marore, kita bisa leluasa melihat Pulau Balut dan Saranggani yang merupakan daerah administratif Filipina paling selatan. Oleh karena itu, Marore masuk dalam kategori daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) yang dirumuskan oleh pemerintah. Akibat kategorisasi ini, Marore sering kedatangan tamu-tamu pemerintahan dengan berbagai atribut yang melekat pada pakaian dinas mereka. Selain itu, LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) sebagai penyelenggara dana beasiswa yang dikelola oleh Kementerian Keuangan RI menyediakan ‘pintu’ khusus bagi pendaftar yang berasal dari  daerah 3T, termasuk dari Marore. Pada satu sisi, keputusan ini bisa dianggap bijak, tapi jangan lupa sisi lain, yakni melihat akses dan proses belajar mengajar di bawah level universitas dalam tangga pendidikan formal.

Secara administratif, Kecamatan Marore memayungi puluhan gugusan pulau yang ada di sekitar Pulau Marore. Dari sekian banyak pulau, ada 3 pulau di luar Marore yang berpenghuni. Pulau tersebut adalah Pulau Kawio, Pulau Kemboreng, dan Pulau Matutuang. Mayoritas masyarakat di sana bekerja sebagai nelayan. Kulit para nelayan yang memerah tua menunjukkan bahwa jam terbang mereka dalam melaut tidak bisa diragukan lagi. Pula dengan luka-luka di tangan akibat mata kail dan tarikan senarnya bak hiasan memenuhi telapak tangan para nelayan. Begitulah mereka bertahan hidup dari hari ke hari. Tak ubahnya seperti di kota, saat fajar menyingsing, anak-anak mulai melangkahkan kaki untuk bersekolah, sementara ayahnya pergi bekerja, melaut.

Gambaran topografis daerah kepulauan Marore cenderung landai dan menanjak. Bukan hanya itu, jarak antara satu pulau dengan pulau yang lain tidak semuanya dekat. Jarak dari Pulau Marore ke Pulau Kawio, misalnya, sekitar 5 mil atau 8.800 meter. Jarak antara Marore-Matutuang, sekitar 22 mil. Sedangkan Marore-Tahuna, pusat pemerintahan kabupaten, sekitar 69 mil. Hal ini menjadi kian dramatis, manakala sarana sekolah tidak tersedia di semua pulau yang berpenghuni itu. SD hanya ada di Pulau Matutuang, Pulau Kawio, dan Pulau Marore. Sementara SMP hanya ada di Pulau Marore dan Matutuang, dan SMA hanya ada di Pulau Marore.

Gambaran kondisi pendidikan di atas menyibak sebuah benang merah bahwa yang menjadi permasalahan utama pendidikan di daerah terluar ini adalah akses terhadap pendidikan. Akses yang sulit mengakibatkan siswa harus berpindah dari satu pulau ke pulau lain demi mengenyam pendidikan formal. Gedung dan sarana sekolah yang baik seakan tidak begitu berarti bila akses menjangkaunya begitu sulit. Susahnya akses untuk mengenyam pendidikan formal yang layak membuat masyarakat kena batunya, karena secara tidak langsung masyarakatlah yang ‘disuruh’ berkorban lebih. Masyarakat diminta melakukan mobilitas, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini masuk akal, karena tidak mungkin anak dibiarkan sendiri mengarungi laut biru yang dalam dengan pertimbangan besarnya ombak, resiko tenggelam, dan menjadi santapan hiu, serta biaya yang besar untuk membeli bahan bakar minyak.   

Untungnya euforia pendidikan masih bisa tercium. Orang tua dan masyarakat masih tetap percaya bahwa  pendidikan formal akan mampu meningkatkan status sosial seseorang. Oleh karena itu masyarakat kepulauan Marore mengangap bahwa pendidikan anak adalah urusan penting. Orang tua akan selalu berusaha menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya, sekalipun kondisi mengakses pendidikannya teramat sulit. Euforia pendidikan menciptakan harapan serta menciptakan sebuah gerak dalam ruang yang sempit. Masyarakat dari satu pulau rela berpindah ke pulau lain untuk banyak hal, dan salah satu faktor terbesar perpindahannya adalah pendidikan anak. Mereka rela meninggalkan kampung halaman dengan berbagai harta kepemilikan seperti tanah, ternak, dan lain-lain, dalam sebuah proses mobilitas sosial yang dikenal dengan istilah badaseng.

Penelitian Ulaen dan Alex j., dkk (2022) menjelaskan bahwa kata badaseng berasal dari kata dasar daseng. Dalam bahasa Sangir, daseng berarti pondok tempat tinggal sementara, baik di kebun maupun di pesisir pantai, yang didiami ketika menjalani aktivitas yang jauh dari tempat tinggal asal. Seirama dengan definisi di atas, orang-orang yang pergi dari pulau asal dan pindah ke pulau lain akan membuat rumah seadanya, berupa gubuk kecil yang dindingnya dibangun dari papan-papan bekas, sementara atapnya dari pelepah kelapa. Dari rumah daseng yang tak lebih dari 3×3 meter itulah, seorang ibu beserta anak-anaknya akan tinggal bertahun-tahun dalam ruangan yang sempit. Belum lagi peralatan masak dan perabotan sehari-hari lainnya, yang tentunya akan memakan tempat dan menjadikan ruangan semakin terasa sempit. Di sinilah sang penuntut ilmu itu bersama keluarganya meringkuk menggigil kedinginan bila malam hari dan gerah kepanasan saat siang hari. Permasalahan badaseng menjadi kian kompleks apabila keluarga yang mendiaminya datang dari pulau dengan akses pendidikan formal yang tersedia hanya SD, seperti di Pulau Kawio. Artinya, mereka harus melakukan badaseng dua kali, atau selama enam tahun!

Rumah Daseng (Dokumentasi pribadi Jonson Handrian Ginting)

Meneropong Indonesia dari Marore memang bukan main ironis. Sebab permasalahan tidak hanya berpusat pada badaseng semata, melainkan juga menyangkut masalah lain yang tak kalah mengancam, yakni ketersediaan SDM yang mumpuni dalam berbagai bidang. Dalam bidang pendidikan, dedikasi atas profesi masyarakat Marore sebagai guru tidak berangkat dari kompetensi dan kualifikasi ilmu yang dikuasai. Dengan demikian berdampak pada kualitas dan profesionalisme guru yang belum terpenuhi untuk mengajar di jenjang atau satuan pendidikan tertentu. Beberapa tahun yang lalu, muncul keluhan dari para guru yang mengemban lebih dari satu mata pelajaran dan dengan tambahan jam mengajar. Ironisnya, berbagai kewajiban tambahan ini tidak diapresiasi dengan tambahan gaji. Gaji para guru dengan kewajiban berlebih itu, tetaplah sama. Meski begitu, beberapa permasalahan tadi, sedkit banyak bisa diatasi dengan adanya program Indonesia Mengajar.

Kemerdekaan Indonesia yang berusia hampir 71 tahun tentunya sedikit tercoreng apabila kita melihat Indonesia dari Marore atau pulau dan daerah terpencil lainnya. Maka dari itu penting untuk mempertanyakan, “Hak asasi manusia apa lagi sebenarnya yang sedang kita perjuangkan?” Permasalahan ini sebenarnya secara etis mencoreng nama baik Indonesia, yang katanya hanya dengan ‘bambu runcing bisa merdeka’. Semakin lama pemerintah mengulur-ulur waktu untuk menyelesaikan masalah di daerah terpencil, maka selama itu pula pemerintah memelihara kesenjangan sosial di daerah tersebut.

Jonson Handrian Ginting

Dosen Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *