Hero atau pahlawan merupakan tokoh yang sangat penting dalam folklor dan mite yang berkembang dalam suatu masyarakat. Keberadaanya seringkali lekat dengan tradisi penceritaan atau tradisi lisan. Seiring perkembangan zaman, bentuk pahlawan pun muncul dalam keragaman sesuai dengan lanskap budaya yang menghidupinya—di berbagai belahan dunia. Untuk bisa dikatakan hero, seorang tokoh harus memiliki kekuatan super, dan dengan kekuatan super tersebut ia dibayangkan akan mampu membela yang lemah dan selalu berada di jalan yang benar.
Kemunculan hero dalam dunia Barat, misalnya, dapat dilihat dari adanya Samson yang bersumber dari cerita suci masyarakat Yahudi—Israel. Begitu pula dengan Hercules, Medusa, atau Circe yang memiliki kekuatan super, dan mungkin lahir dari cerita legenda yang juga terkait dengan kebudayaan Yunani kuno. Ada juga Superman yang muncul dalam serial Action Comics pada tahun 1938, yang pada akhirnya melejit menjadi komik pahlawan super pertama dengan konsepsi hero yang lebih terbarukan. Di sana, Superman digambarkan memiliki kekuatan super, salah satunya adalah mini Superman, yakni kekuatan memunculkan Superman-superman kecil dari tangan Superman. Belum lagi kemampuan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah, serta seabrek kekuatan super lain yang dimiliki Superman. Konsepsi hero ala Superman ini kemudian mendorong kemunculan pahlawan super berikutnya, seperti karakter Batman dalam Detective Comics, dan seterusnya.
Genre pahlawan super yang diusung dalam komik muncul pada abad ke-20an. Micheal E. Uslan, produser film Amerika cum pengkaji komik, menyebut bahwa pada awalnya, sajian pahlawan super sangat terkait dengan metafora Amerika tentang wacana imigrasi, Amerikanisasi, urbanisasi, identitas orang Amerika, pergantian konsep ras dan gender, individualisasi, kapitalisme, modernisme, dan sebagainya. Genre pahlawan super yang semula begitu menonjol dalam komik, pada gilirannya merambah ke media lain seperti televisi dalam bentuk film. Film-film pahlawan super pun kemudian mendominasi tayangan televisi selama perang dingin.
Dalam sajiannya, film-film pahlawan super tak lepas dari isu atau hal yang dekat dengan masyarakat. Seperti sekuel pertama film Iron Man (2008) yang menyodorkan isu propaganda terorisme oleh Barat di Afganistan. Lalu, ada pula tokoh Joker dalam film The Dark Knight (2008) yang menyajikan teror dan agresi. Dan berbicara tentang film pahlawan super, rasanya sulit untuk lepas dari Marvel Entertainment, perusahaan hiburan Amerika, yang menjadi penyokong garda depan industri ini.
Tidak hanya di dunia Barat, genre pahlawan super juga ada dalam khazanah Indonesia, baik dalam tradisi lisan maupun tulisan. Cerita rakyat, mitos atau legenda yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia, sebagian besar menengahkan pahlawan super sebagai tokoh sentralnya. Dalam jagad pewayangan Jawa, misalnya, kita mengenal Gatotkaca.
Gatotkaca dikisahkan sebagai tokoh yang memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia dapat terbang ke angkasa, bahkan tanpa sayap sekalipun. Saking saktinya, Gatotkaca pun dijuluki sebagai pahlawan super yang memiliki ‘otot kawat, tulang besi’. Namun sayang, kesaktian dan popularitas Gatotkaca rupanya belum begitu mampu menarik perhatian kaum muda untuk menonton atau membaca kisahnya dalam jagad pewayangan Jawa yang seringkali distereotipisasi sebagai ‘yang kuno’.
Atas asumsi tadi, sutradara Hanung Bramantyo kemudian mengangkat kisah dan penokohan Gatotkaca dari narasi pewayangan Jawa yang bersumber dari wiracarita Mahabarata ke film layar lebar. Tahun 2022, Hanung bersama Satria Dewa Studio merilis sebuah film yang berjudul Satria Dewa Gatotkaca. Film ini merupakan hasil kerja transformasi atau alih wahana, dari medium sastra dan seni pertunjukan wayang ke medium film, sebagaimana transformasi komik-komik pahlawan super Amerika ke film-film bioskop.
Dalam film Satria Dewa Gatotkaca, Gatotkaca dikisahkan tengah menghadapi kehidupan yang serba modern. Film ini berpusat pada tokoh Yuda (diperankan Rizky Nazar). Yuda adalah anak Arimbi (diperankan Sigi Wimala) yang memiliki keistimewaan. Yuda adalah Gatotkaca. Oleh ibunya ia diwariskan medali Brajamusti. Medali ini memiliki arti penting bagi Yuda. Dengan medali tersebut, Yuda dinilai akan mampu membebaskan Aswatama (diperankan Fedi Nuril), seorang Kurawa, dari kutukan.
Jika dirunut dari naskah sumbernya, Mahabarata dalam versi pewayangan Jawa, dikisahkan bahwa bumi didiami oleh dua golongan penting yang merepresentasikan dua sisi watak kepribadian manusia, yakni Pandawa dan Kurawa. Pandawa menjadi golongan tokoh yang melambangkan kebaikan, sedangkan Kurawa adalah golongan tokoh yang mewakili keburukan. Sebagai tokoh antagonis dalam Mahabarata, Kurawa cenderung agresif dalam menjarah, menyerang, dan menghancurkan. Antara Pandawa dan Kurawa, masing-masing saling berseberangan, di mana mereka mempertarungkan sisi baik dan sisi buruk dalam diri masing-masing manusia.
Hal ini juga digambarkan dalam film Satria Dewa Gatotkaca dengan penekanan yang sedikit berbeda. Hanung berusaha mengungkapkan bahwa golongan Kurawa tidak melulu diisi oleh watak yang jahat. Ini diperlihatkan melalui tokoh Arimbi. Dalam Mahabarata, Arimbi adalah raksasa wanita, saudara dari Arimba, raksasa pemakan daging yang mengincar daging para Pandawa. Dalam penceritaannya, alih-alih turut bernafsu memakan daging Pandawa sebagaimana Arimba, Arimbi justru berbelok dengan berpihak pada Pandawa dan menikah dengan Bima, kesatria Pandawa. Dalam film, Arimbi mengambil peran sebagai tokoh yang mampu menyembuhkan Gatotkaca dan Pandawa lainnya melalui kemampuan yang ia miliki sebagai Pandawa. Pun di sisi sebaliknya, bahwa golongan Pandawa tidak selamanya selalu baik. Hanung menengahkan hal itu melalui keberadaan tokoh Profesor Arya Laksana (diperankan Edward Akbar), ayah dari Agni (diperankan Yasmin Napper), yang menjadi bagian dari golongan Pandawa, dan justru berkhianat demi membebaskan Aswatama, si pembelot dari Kurawa.
Hal menarik lainnya dalam transformasi Gatotkaca yang dilakukan Hanung adalah tentang latar tempat dan waktu. Jika kita membaca Gatotkaca dalam Mahabarata atau menontonnya dalam pagelaran wayang Jawa, pengkisahannya selalu digambarkan berada dalam nuansa istana kerajaan lama. Namun, dalam film yang digarap oleh Hanung, semua nuansa itu dialihkan ke dunia sekarang yang serba modern.
Latar tempat, seperti kampus, rumah, parkiran, dan tempat lainnya akan dengan mudah ditemui dalam film Satria Dewa Gatotkaca. Seakan mencoba ‘menjauh’ dari latar tempat pewayangan Jawa dan mencoba mendekatkan atmosfir film ke tempat-tempat yang biasa ditemui dalam keseharian penonton bisokop hari ini. Belum lagi persoalan hidup yang dialami Gatotkaca versi Hanung, tentang perekonomian yang susah; putus sekolah; diusir dari rumah kontrakan; keadaan yatim karena ditinggal oleh sang ayah; ibu yang hilang ingatan; dan berbagai persoalan lainnya, yang seakan begitu dekat dan nyata menyapa penonton hari ini, sehingga penonton dapat mencerna semua itu dengan mudah.
Tak lupa, dukungan tata busana dan tata rias para tokoh dalam film semakin mendukung bahwa Gatotkaca telah dibawa Hanung ke situasi hidup sekarang dalam modernitasnya. Hal yang nyaris mustahil ditemukan ketika menyaksikan Gatotkaca dalam pewayangan Jawa yang sangat istana sentris. Hanung Bramantyo, saya kira berhasil menciptakan kembali Gatotkaca dalam versi yang terkini dan modern mengikuti selera perfilman superhero—paling tidak di Indonesia. Kiranya, hal ini menjadi kabar baik bagi perfilman tanah air karena telah dirintis tontonan superhero yang local genuine yang ditransformasi dari narasi pewayangan Jawa.