Bongak

Revolusi Mental: Gaya Baru?

Revolusi Mental! Saya kira frasa ini punya andil besar dalam mengantar Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2014-2018. Di berbagai kesempatan, baik dari masa kampanye hingga setelah sah menjadi Presiden. Jokowi menegaskan bahwa frasa revolusi mental bukanlah jargon semata. Sebab terkandung upaya serius untuk menjadikan karakter bangsa Indonesia lebih baik.

Oleh penjelasan yang terasa generik sekaligus kelewat simplistik ini, revolusi mental lantas terdengar begitu heroik dan unik, setidaknya bagi saya. Frasa yang mengandung gagasan “menjadikan karakter yang lebih baik” adalah sama halnya dengan mengupayakan perubahan yang bermula dari aspek non-material. Perubahan dari masa-masa sebelumnya yang dianggap tidak baik atau keliru menuju kepada yang sebaliknya: baik dan benar. Dan patut diingat, gagasan revolusi mental ini diupayakan kepada segenap bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya lebih dari 262 juta penduduk, yang tiap-tiapnya memiliki kompleksitas peran dan laku hidup. Melalui frasa ini pula, Jokowi-Jk menjelmakan diri bak heroes bagi Indonesia. Ia hadir untuk membela kebenaran, membenahi karakter orang-orang yang dinilai payah. Ibarat dalam pertunjukan teater, Jokowi adalah tokoh sentral protagonis yang melawan segala antagonisme. Terkesan heroik, bukan?

Frasa ini juga terdengar unik. Unik karena revolusi yang dimaksudkan Jokowi-Jk berbeda dengan revolusi yang terjadi di era-era pemerintahan sebelumnya. Saya Sasaki Shiraishi, Indonesianis dari Cornell, lewat bukunya “Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik” menuliskan pengamatannya tentang revolusi gaya Indonesia:

Memang, suatu revolusi gaya Indonesia berupa pemberontakan anak melawan bapak paling tidak telah satu kali terjadi. Dalam Peristiwa Rengasdengklok pada 1945, para pahlawan revolusioner muda berhadapan dengan pemimpin-pemimpin senior mereka. Mereka menunjukkan semangat pemberontak seperti halnya Abimanyu atau Untung [1]

Hubungan antara anak dan bapak dalam keluarga Indonesia adalah hubungan hierarkis, ungkap Shiraishi, dan masih mengandung warisan antikolonial. Maka tidak mengherankan bila ada anak yang menentang bapak. Ini sama halnya dengan yang terjadi di masa selanjutnya, pada detik-detik berakhirnya Orde Baru: lengsernya Soeharto. Tragedi 1998 adalah episode lanjutan revolusi anak melawan bapak. Tentu saja Shiraishi tidak mencatat ini dalam bukunya, karena apa yang tulisnya berdasarkan hasil penelitian pada 1989. Oleh kuasa bapak Soeharto yang begitu absolut hingga menjadikannya mampu bertahan selama 32 tahun lamanya, ditambah dengan krisis yang mendera Asia Tenggara, dan disertai mencuatnya dugaan korupsi dan berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto bersama kroninya, rakyat pun akhirnya jengah. Anak yang dulu patuh pada bapak, kini berontak. Secara eksplisit ditandai dengan pendudukan gedung MPR/DPR-RI oleh mahasiswa, setelah sebelumnya terjadi gelombang demonstrasi yang sering berujung pada kerusuhan. Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, dan kemudian mengantar Indonesia memasuki era baru yang disebut dengan era reformasi—yang konon, era reformasi adalah era yang memungkinkan anak untuk “mengecam” bapak tanpa harus takut dihukum atau dibuang.

Dalam perjalanan berikutnya, revolusi gaya Indonesia kembali terjadi. Tepatnya saat Habibie dan Gus Dur berada di ujung tanduk jabatan sebagai presiden. Yang berperan sebagai anak waktu itu adalah para politisi MPR/DPR-RI, dengan Amien Rais sebagai pentolan gerombolan. Di masa Habibie, gaung “revolusi” bergema setelah Timor-timor lepas dari Indonesia—berkat referendum yang diusulkannya. Pihak yang dari dulu tidak sepaham dengan Habibie pun semakin giat berupaya menjatuhkannya. Usaha ini kemudian menemui keberhasilan. Melalui Sidang Umum 1999, Habibie akhirnya memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya sebagai presiden ditolak oleh MPR.

Hal serupa juga terjadi pada Gus Dur. Keluarnya dekrit Gus dur yang dua diantaranya berbunyi tentang pembubaran MPR/DPR-RI dan pembekuan partai Golkar, lantas memicu gelombang anti Wahid. Gelombang ini semakin mengular saat militer memberikan dukungan penuh. Puncaknya, terakumulasi pada pemakzulan Gus Dur melalui sidang umum MPR, Juli 2001. Lagi-lagi, presiden Indonesia lengser oleh revolusi gaya Indonesia berupa pemberontakan. Bedanya, bila di era Soeharto, karena anak dikekang lalu anak memberontak, maka di era Habibie dan Gus Dur yang reformatif (atau open minded, katanya) ini, si anak memberontak karena ia dibolehkan memberontak.

Revolusi Mental?

Revolusi gaya Indonesia berupa pemberontakan anak melawan bapak yang terjadi di era sebelumnya (era Sukarno, Soeharto, Habibie, dan Gusdur), kini tidak lagi ketara, karena yang terjadi di hari ini adalah yang sebaliknya. Pekik revolusi saat ini justru dilecut oleh si bapak sendiri. Jadi, bukan anak malawan bapak, melainkan sebaliknya: bapak yang melawan anak. Sekarang, anak dikatakan bandel, untuk itulah perlu di-revolusi. Dalam sebuah diskusi pada Jumat petang di Balai Kartini, Jakarta, 17 Oktober 2014 silam—3 hari sebelum dilantik menjadi presiden, 20 Oktober 2014—Jokowi menjawab pertanyaan tentang revolusi mental. Sebagaimana dilaporkan kompas.com, berikut jawaban Jokowi:

Jokowi memulai jawabannya dengan menyebutkan tentang sebuah keharusan. Menurut dia, revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia, sebut Jokowi, merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera.

Tapi saya juga ndak tahu kenapa, sedikit demi sedikit (karakter) itu berubah dan kita ndak sadar. Yang lebih parah lagi ndak ada yang nge-rem. Yang seperti itulah yang merusak mental,” ujar Jokowi.

Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Oleh sebab itu, saya menawarkan ada sebuah revolusi mental, ujar Jokowi [2] .

Begitu bandelnya anak dimata Jokowi, dan begitu heroiknya bapak dengan revolusi mental-nya. Lebih lanjut, Jokowi menjelaskan apa itu “revolusi”:

Terminologi “revolusi”, kata Jokowi, tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Menurut dia, kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, ya mesti ada serangan nilai-nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir, mindset. Titik itulah yang kita serang, ujar Jokowi.

Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana yang dia maksudkan itu, kata Jokowi, adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.

Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita, tegas Jokowi. Dia berkeyakinan, dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik [3].

Membaca penjelasan di atas, revolusi mental diaktualkan Jokowi melalui dua program andalannya: pendidikan berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tak pandang bulu. Begitulah, anak yang baik adalah yang berpendidikan dan bila masih saja bandel—dalam arti masih tidak terdidik, maka anak akan berhadapan dengan hukum. Mental yang dulu dinilai tak baik kini tengah dibangun dari pendidikan dan dalam bayang-bayang represi hukum.

Gagasan Orisinalitas Indonesia dalam Globalisasi

Mencermati revolusi mental adalah mencermati bagaimana gagasan orisinalitas bangsa Indonesia ala Jokowi hendak dicapai di tengah hiruk-pikuk globalisasi. Di eranya, Jokowi menjadikan Indonesia semakian hangat menyambut globalisasi melalui pembukaan keran investasi sebesar-besarnya dan semudah-mudahnya guna mendukung berbagai proyek pembangunan infrastruktur. Paradoks pun terlihat. Sudah menjadi pengetahuan umum dan lumrah bila globalisasi menyarankan Barat untuk menancapkan pengaruhnya ke seluruh aspek kehidupan di berbagai belahan dunia. Globaliasai atau westernisasi yang amat politis, tentunya—yang seringkali berbalut (mitos) modernisasi dan humanisasi yang mulia. Berhadapan dengan globalisasi/westernisasi yang semakin ingar-bingar, lantas bagaimana Jokowi mengejar gagasannya tentang orisinalitas Indonesia: yang santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong, melalui revolusi mentalnya? Revolusi mental menjadi bias.

Meminjam analogi dalam film dokumenter Riding the Tiger (1992) garapan duo Australia, Curtis Levy dan Christine Olsen, serta komparasinya dengan film The New Rules of The World karya Indonesianis dari Australia, John Pilger; di mana Orde Baru dianalogikan sebagai tiger yang ditunggangi oleh Amerika Serikat dan Inggris; agar Indonesia membuka diri pada globalisasi dengan seperangkat ideologi liberalisme-kapitalisme di dalamnya—setelah sebelumnya begitu tertutup di era Sukarno yang begitu yakin pada kemandirian ekonomi Indonesia; dengan meminjam analogi ini, hendak dikatakan bahwa era Jokowi-Jk tak ubahnya era Orde Baru. The Smilling General Soeharto masih berjejak di Indonesia masa kini. Barat dengan proyek globalisasinya (yang dimulai sejak 1960-an) kini kian bersemi di Indonesia.

Dengan nalar dan analogi ini pula, kembali kepada hubungan bapakanak, gaya revolusi Indonesia berupa pemberontakan akan kembali hadir. Bisa saja anak akan balik merevolusi bapak. Kemungkinan ini bisa saja terjadi, bila daya kritis masih ada, dan bila revolusi mental benar-benar bahasa kosong yang membutuhkan Jokowi.

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *