Tahun 2020 menjadi perjalanan panjang bagi seluruh negara di dunia untuk berjuang hidup melawan coronaviruses atau Covid-19. Covid-19 begitu menyatu dalam perbincangan masyarakat, disinggung dalam setiap aspek kehidupan, dan tentunya sangat memengaruhi arena kehidupan. Indonesia terpaksa harus beradaptasi dengan kebiasaan baru (new normal) agar tetap bisa beraktivitas untuk memenuhi kegiatan ekonomi dan sosial. Belum lagi kepercayaan rakyat terhadap elit diganggu dengan perdebatan mengenai tren penyebaran yang penuh dengan ketidakpastian data hingga isu politisasi yang sangat sering menjadi sorotan bagi kebermasyarakatan kita.
Semua lapisan masyarakat mengeluh dengan matinya berbagai sektor kehidupan. Pemerintah membuat berbagai macam kebijakan untuk menghentikan berbagai macam sektor yang mengundang perkumpulan massa seperti tempat hiburan, pariwisata, sektor pendidikan, dan lain sebagainya. Sektor perhubungan dan pariwisata kembali dibuka untuk tetap bertahan melawan resesi ekonomi yang terjadi, namun sektor pendidikan masih tarik ulur dalam menentukan proses belajar mengajar seperti apa yang dibutuhkan.
Di saat semua sektor perlahan dibuka kembali dengan mengingat derajat kegentingannya masing-masing, pemilu menjadi salah satu perhelatan yang terkesan ‘dipaksakan’ untuk dilaksanakan. Pemilu menjadi salah satu kegiatan yang tidak ditunda dari rentetan agenda yang seharusnya lebih diprioritaskan. Perhelatan pemilihan umum yang identik dengan mengumpulkan kerumunan dalam jumlah banyak merupakan hal yang rentan menyebarkan virus. Walau Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melarang bentuk kampanye, KPU juga tidak mampu untuk meninjau secara intens aktvitas kampanye terselubung yang dilakukan di berbagai daerah. Apalagi hingga saat ini tercatat 63 dari 1472 calon kepala daerah yang positif corona. Ketua KPU sendiri juga positif Covid-19 setelah mengikuti kegiatan pertemuan dengan ketua KPU Sulawesi Selatan. Jika pemilihan secara langsung kita asumsikan sebagai ajang untuk mengumpulkan orang secara massa, alih-alih menjadi pesta demokrasi malah yang terjadi adalah festival Covid-19.
Pemilu seharusnya belum menjadi sebuah hal yang mendesak untuk dilaksanakan. Berbagai opini dan diskusi mengenai pro kontra pemilu telah dibahas oleh masyarakat, namun tidak berhasil untuk memengaruhi elit untuk menunda perhelatan tersebut. Sebenarnya apa yang terjadi dengan demokrasi Indonesia hari ini? Bagaimana ruang partisipasi yang sudah terbuka lebar pasca reformasi?
Ruang partisipasi mulai marak dibuka pasca reformasi, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dari pembangunan di Indonesia. Partisipasi yang dikembangkan agak sedikit rapuh. Partisipasi hanya dimaknai dangkal sebagai bentuk kehadiran fisik atau memilih kontestan politik saat pemilihan umum. Usulan dari berbagai organisasi masyarakat yang telah dilakukan secara partisipatif malah hanya mengakomodasi kepentingan elit. Kebijakan yang dirumuskan pada akhirnya hanya memangku kelompok penguasa. Elit politik yang mengaku ingin menciptakan kondisi yang demokratis bagi konstituen pada akhirnya hanya mengakomodasi kepentingan tirani dan melupakan makna dari partisipasi itu sendiri.
Masyarakat Indonesia hari ini hanya ditempatkan sebagai passif participation di mana masyarakat hanya ditempatkan sebagai pendengar. Walau memiliki ruang beraspirasi, masyarakat hanya sebatas menyampaikan usulan sebagai bentuk formalitas untuk ‘mendengar’ aspirasi rakyat. Rakyat kembali dibutuhkan di detik-detik pemilu akan dilaksanakan untuk memberikan suaranya sebagai kualifikasi agar bisa duduk di kursi yang diinginkan. Namun, rakyat yang belum berkeinginan untuk menjadikan pemilu sebagai sebuah keniscayaan diabaikan. Janji pemilu periode lalu saja belum mengakomodasi semua kepentingan rakyat atas kompensasi dari suara yang diberikan. Rakyat hanya sekedar memilih dan tidak memiliki posisi tawar yang seimbang untuk mempengaruhi kebijakan sang pemimpin. Suara rakyat hanya dibayar dengan uang yang menjebak pragmatisme partisipasi.
Kiprah partisipasi yang ada di Indonesia saat ini hanya menjadikan masyarakat sebagai komponen alat legitimasi atas partisipasi. Demokrasi adalah menempatkan masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Demokrasi bukanlah penataan rumah tangga negara yang hanya dikelola oleh sebagaian pemangku kepentingan saja. Ketika hal itu terjadi, partisipasi warga negara yang terlibat dalam menyoal negaranya tertutupi oleh kepentingan oligarki dalam mempertahankan kepentingannya dalam berkuasa.
Ruang partisipasi pasca reformasi menjanjikan akumulasi suara rakyat yang bisa disalurkan melalui demokrasi deliberatif sehingga mampu membangun wacana melalui politik kewargaan. Saat ini kiprah partisipasi politik di Indonesia sudah progresif dalam menyalurkan aspirasinya melalui ruang berdemokrasi di berbagai sosial media, baik yang diakomodasi oleh organisasi masyarakat maupun yang bergerak secara pribadi.
Partisipasi sangat berhubungan erat dengan demokrasi. Pemilu yang dilaksanakan sebagai wujud pesta demokrasi akan menjadi nihil jika tidak disertai dengan partisipasi masyarakat dalam menyambutnya. Kesimpangsiuran mengenai Covid-19 yang disampaikan oleh pemegang kepentingan membuat tingkat kepercayaan (trust) rakyat terhadap wakil rakyat menjadi menurun, bahkan hilang. Pemerintah menjadi tuli untuk memperhatikan keinginan rakyat dan kondisi apa yang paling dibutuhkan masyarakat. selama satu dasawarsa demokrasi. Demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menghasilkan hakikat dari partisipasi. Proses pemilukada juga hanya sebagai instrumen demokrasi yang cenderung menjadi politik transaksional, bukan sepenuhnya bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat era new normal yang sangat memperihatinkan.