Engkol

Aku dan Kenangan pada Jalaluddin Rakhmat Melalui Islam Aktual

Bertahun-tahun yang lewat, suatu ketika kekosongan melandaku. Masa akhir Sekolah Menengah Atas tiada suatu apa yang harus diperjuangkan, apalagi yang dibanggakan. Masa depan terlalu mengerikan, gelap, seakan ingin menghapus eksistensi saya sebagai manusia. Sekadar bertanya pada diri sendiri pun tak kuasa. Lalu sisanya hanya sejarah…

Sehabis membersihkan kamar penginapan yang telah ditinggal tamu—aku tinggal di tempat Tulang (paman) pengurus mess—saya iseng membuka laci ruang tengah. Tanpa berharap apa-apa. Saat itulah terlihat sebuah buku bertuliskan Islam Aktual dengan sampul kusam. Barangkali punya tamu yang tertinggal. Karena bukan jenis barang berharga, buku itu saya simpan sendiri. Juga tanpa berharap apa-apa dari buku tersebut.

Seperti biasa, musik rock selalu menemani pikiran galau khas remaja ketika tak ada lagi yang perlu dikerjakan. Kopi adalah pasangannya. Dan rokok sebagai penyelesaiannya yang tentu saja harus dinikmati secara hati-hati sebab bisa berbahaya jika Tulang memergokinya. Namun, kali itu musik terlalu berisik. Masa depan yang gelap menguasai kegalauanku yang tak berujung. Buku yang kudapat barusan kubuka-buka untuk menyingkirkan rasa galau tersebut. Pengantarnya membuatku terpaku, “Bertafakur satu saat lebih baik daripada ibadah satu tahun.”

“Kalimat macam apa ini?” pikirku. Tapi setelah diteruskan kalau itu adalah sabda Nabi Muhammad saw., aku tak berani mempertanyakannya lagi. Apa pula dasarku mempertanyakan itu, sementara aku sendiri memang tidak mengerti apa-apa. Bahkan setelah dipikir-pikir memang aku tak pernah membaca buku selama ini.

Maka, seakan ingin meminta maaf karena punya pikiran kurang ajar tadi aku pun melanjutkan untuk membacanya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mampu membaca sebuah buku sampai tuntas. Sejak kata pengantarnya sampai biodata penulisnya yang akhirnya kutahu adalah Jalaluddin Rakhmat. Tiba-tiba saja kepalaku yang kosong telah penuh dari berbagai pertanyaan luar biasa filosofis. Bahwa aku tidak tahu apa-apa, persis saat buku itu menceritakan Socrates di dalamnya. Itulah yang kelak menjadi fondasi pencarianku hingga saat ini.

***

Meskipun buku Jalaluddin Rakhmat tersebut berlabel keislaman, justru yang kudapatkan adalah hubungan sosial yang dibahasakan sebagai ukuwah. Pernyataan tersebut diperkuat pada bahasan di salah satu babnya yang menyebut ibadah sosial punya kadar tertinggi dibandingkan ibadah ritual. Begitu juga dengan sejarah Islam yang ditampilkan. Tidak lagi seputar mukjizat atau hubungan orang kafir dan tidak kafir atau yang baik dan jahat. Tidak berbicara perpecahan, melainkan persatuan umat. Bahkan perbedaan mazhab dan ideologi bukanlah suatu halangan untuk berkata “Bertengkar itu jelek,” pada nukilan Ibnu Mas’ud dalam riwayat Abu Dawud. Karena itu Jalaluddin berani berkata umat Islam pada dasarnya tidak akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya 1 golongan kelak masuk surga, melainkan semuanya masuk surga sebagai Islam yang bersatu.

Tentu saja pada waktu itu jiwa zamannya sedang dalam persoalan perpecahan di masa-masa awal reformasi. Berbagai kelompok tumbuh dengan klaim kebenaran ajaran. Rasa muak berubah harapan bahwa kelak agama ini menjadi pionir kemajuan negeri. Islam Aktual tak menjadi sekadar pelampiasan rasa bosan. Ia telah menjelma sebagai gir yang menggerakkan roda kepalaku untuk mau berpikir lebih jauh lagi.

Ketika pada akhirnya aku terdampar di dunia perkuliahan, Islam Aktual tetap menjadi pedoman teoriku, baik dalam berdiskusi, menulis atau sekadar merenung. Terlebih ketika masuk ke dalam dunia kesejarahan. Kajian-kajian teori tentang benturan peradaban oleh Samuel P. Huntington berasal dari buku tersebut. Termasuk dengan teori megatrend 2000 miliki Patricia Aburdend yang kesemuanya meramal masa depan kecanggihan yang merevolusi hubungan sosial manusia. Bahkan ada antropolog James L. Peacock dalam mengkaji gerakan keagamaan ikut serta dalam diskusi buku tersebut. Sementara di saat yang sama Jalaluddin Rakhmat tidak mengabaikan peran-peran sahabat Rasulullah dalam membangun dunia secara lebih baik, dan memang ia menunjukkan secara lebih baik dengan perbandingan ratusan tahun oleh Abu Dzar atau Abu Muwaihibah.

Di dalam Islam Aktual pula aku menemukan keteladan Fatimah yang luar biasa yang kelak kujadikan sebagai nama anak perempuanku. Ketokohan yang digambarkan Jalaluddin Rakhmat mampu mempengaruhiku akan sosok yang telah meninggal 1200 tahun lalu itu.

Suatu ketika, pada pengembaraan ilmu pengetahuan aku mendengar bahwa Jalaluddin Rahmat adalah tokoh besar Syiah di Indonesia. Yang perlu diketahui bahwa Syiah dianggap sekte menyimpang dari agama Islam, yang sering mengkafirkan 3 khulafaurrasydin. Syiah bahkan konon katanya melaknat Aisyah dan Abu Bakar karena memiliki peran atas meninggalnya Rasullullah. Tentu saja aku tak terima. Maka ketika kubaca kembali Islam Aktual justru yang kutemukan adalah pemuliaan Aisyah sebagai istri nabi. Perannya juga tidak bisa dianggap sepele, sebab banyak hadis tentang persoalan perempuan hadir melalui Aisyah (tanpa meminggirkan peran Fatimah di dalamnya). Aku tidak tahu Syiah seperti apa yang tega melaknat sahabat nabi dan istrinya. Jika Jalaluddin Rakhmat adalah Syiah seperti itu maka aku memilih tidak percaya pada kesyiahan Jalaluddin, dibandingkan harus tidak percaya pada Jalaluddinnya. Bagiku Syiah dan Jalaluddin Rakhmat adalah dua entitas yang berbeda.

Keteladanan akademik Jalaluddin Rakhmat lebih pantas untuk dibahas dibandingkan pemahaman ritualnya. Untuk urusan iman biarlah antara ia dengan Tuhan, seperti saat kita membahas dialektika Hegel tanpa menyentuh hubungan dia dengan tuhannya. Aku percaya bahwa “bertafakkur satu saat lebih baik daripada ibadah satu tahun.” Selamat jalan Kang Jalal.

Syaiful Anwar

Penulis adalah pria tertampan di Komunitas Kita Baca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *