Seorang sahabat mengingatkan saya agar menulis kembali untuk WeRead. Bagi saya, menulis untuk laman online ini asyik. Meskipun saya mulai kehilangan arah. Pertanyaan pun muncul seperti ini. Siapa sasaran yang menjadi target pembaca laman ini? Kalau ‘publik‘ pembaca sudah jelas, pertanyaan selanjutnya seperti ini. Bagaimana ‘saya‘ harus bertutur kepada ‘mereka‘? Kalau sudah jelas keduanya, pertanyaan lainnya muncul, apa yang ingin ‘saya‘ tawarkan kepada ‘mereka‘?
Pertanyaan-pertanyaan ini mendasar sekali. Namun justru karena mendasar, ia menjadi penting. Saat ini media digital tumbuh subur dan menawarkan banyak sajian kepada khalayak. Majalah dan surat kabar online tidak sekadar menyajikan tulisan atau berita, tetapi mendefinisikan ‘publik‘ pembacanya. Ini kerja editorial. Para editor menyediakan platform yang sekaligus membentuk publik pembaca dan penutur cerita. Kerja-kerja editorlah yang menyunting ‘cerita‘ tersebut, katakanlah opini, laporan jurnalistik, dan hasil penelitian. Para editor menentukan gaya bertutur laporan-laporan tersebut, membentuk ‘pribadi‘ penulis yang bertutur di hadapan pembacanya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas masih membayangi saya ketika menuliskan ini. WeRead menulis untuk siapa? Lebih mendasar lagi, WeRead sang ‘penutur‘ cerita ini siapa di hadapan pembacanya? Bagaimana cara bertuturnya? Bagimana kepribadiannya? Dari yang saya pelajari, penutur yang baik bisa memainkan emosi pendengarnya, pembacanya. Bayangkan seorang penutur cerita di hadapan sekelompok pendengar, atau penutur cerita di radio. Ia membawa pendengar ke dunia cerita, membuat mereka penasaran, kadang takut, kadang tercengang, dan kadang terkejut. Penutur cerita juga bisa menantang pendengar dengan pertanyaan. Dengan ini, penutur merebut perhatian pendengar, membuat mereka tak berpaling, melainkan tertuju pada penutur dan ceritanya.
Kalau kita pelajari cerita-cerita rakyat dan kehadirannya di tengah masyarakat, kebanyakan khalayak sudah tahu cerita tersebut. Namun, yang memikat penonton justru gaya penuturannya, dimana penutur mengubah suaranya, intonasinya, mendramatisasi cerita, atau membuat impersonasi. Yang demikian, bisa kita lihat di media tulis menulis yang menonjolkan sensasi demi mendapat perhatian pembaca. Ada pula yang menekankan gaya bertutur daripada isinya. Yang lain, menuturkan isi dengan gaya yang puitis, misalnya. Namun, yang manapun bukan persoalan. Yang menjadi masalah adalah kalau tidak punya satupun karakter penutur yang kuat.
Nampaknya, WeRead masih punya pekerjaan rumah untuk memutuskan bagaimana ia menampilkan diri di depan publik. Kalau tidak memperhatikan publik, maka publik pun tidak akan memberi perhatian. Tulisan, cerita, dan laporan, hanya berputar di lingkaran kecil penulis yang saling jawab dan sindir di antara mereka sendiri. Untuk menutup, saya masih mengulang pertanyaan yang sama, WeRead menulis untuk siapa? WeRead ini sosok yang seperti apa di hadapan pembaca?