Kreak

Membaca “Next” di tengah Pandemi Corona

Sejak Desember 2019 dunia dikejutkan dengan virus mematikan yang merebak dari Wuhan. Di Indonesia sendiri virus ini terdistribusi dengan cepat dan baik sejak penemuan kasus perdana di Depok pada awal Maret 2020.  Sejak itu hingga kini setidaknya ada 1,16 juta kasus di Indonesia dengan trend temuan kasus mengalami kulminasi pada angka 12.865 kasus di awal Februari 2021. Disini kita tidak akan mencoba untuk playing victim dan kemudian menyalahkan para pihak karena disekat dalam ruang sosial yang lebih mini. Alih-alih melulu menggerutu, patik memilih untuk mengingat dan mengangkat karya terakhir seorang maestro techno-thriller yang terbit 15 tahun lalu.

Sosok tersebut adalah Michael Crichton; seorang dokter yang juga penulis dengan karya fenomenalnya “Jurassic Park”. Akhir hayat Crichton adalah perjuangannya melawan penyakit kanker yang ia derita dan berakhir pada 2008, dua tahun setelah novel terakhirnya “Next” terbit. Crichton memiliki gaya menulis yang kompleks, memadukan pemahamannya dalam ilmu kedokteran di mana ia mengantongi gelar doktor pada bidang tersebut, twist bernuansa kental sistem dinamika taklinear (dimana semesta digambarkan begitu acak dan sensitif pada prekondisi dan menciptakan perbedaan besar pada prediksi hasil) serta tentu saja satire nakal pada agoni yang akan dirasakan umat manusia ketika mereka menyerahkan kemanusiaan mereka pada kapitalis tamak dunia bioteknologi.

Tentu saja “Next” berusaha mencoba mereplikasi kesuksesan karya Crichton yang sebelumnya; “Jurassic Park”. Seperti layaknya penulis sukses lainnya, proses replikasi ide kerap terjadi pada saat kreatifitas memasuki masa senja. Crichton tentu akan menolak kenyataan bahwa karyanya terbenam pada pasar walaupun kenyataannya memang karya terakhirnya tak begitu mengguncang seperti “Jurassic Park”. Crichton setidaknya boleh bersyukur karena ia tak perlu melihat bagaimana novel “Next” terjun bebas di pasaran dan hanya dinikmati oleh segelintir penikmat setia karyanya saja.

Novel “Next” bercerita  dengan banyak alur didalamnya. Ada tokoh bernama Frank Burnet yang menderita Leukemia sel-T kelenjar getah bening akut. Kemudian Frank berobat ke seorang dokter dan prognosis awal untuk penyakit itu juga tidak bagus. Secara luar biasa Frank mampu sembuh dari penyakit tersebut namun secara mencurigakan Frank juga diharuskan untuk selalu kontrol tanpa alasan yang jelas. Kemudian diketahui bahwa jaringan tubuh Frank mampu menghasilkan sesuatu yang sangat luar biasa bagi dunia medis, yaitu cytokine dan sang dokter tadi ternyata diam-diam mengambil jaringan tubuh Frank untuk diteliti dan dijual kepada sebuah perusahaan bioteknologi bernama BioGen. Masalah inilah yang sebenarnya menjadi awal dan inti cerita buku ini. Disamping itu BioGen juga sedang meneliti sebuah gen yang dinamai Gen Kedewasaan yang tanpa diduga memiliki potensi untuk digunakan sebagai obat kecanduan narkoba. Tetapi begitu BioGen akan mempublikasikan temuannya tersebut, sebuah masalah muncul sehingga memaksa BioGen untuk berada diambang kebangkrutan. Selain itu masih ada masalah tentang kontroversi hewan transgenik yang juga dimunculkan buku ini.

Namun hal yang menarik dari apa yang Crichton tulis pada “Next” adalah satire yang kembali ia suguhkan namun kali ini dengan proses “perkawinan paksa” antara fiksi, fakta dan temuan ilmiah. Banyak yang merasakan bahwa membaca “Next” lebih terasa layaknya membaca sebuah buku teks non-fiksi. Patik sendiri merasa bahwa plot yang ada terlalu banyak untuk sebuah novel setebal 475 halaman. Seperti yang dikatakan Crichton pada halaman persembahan; “Novel ini adalah fiksi, kecuali bagian-bagian yang bukan fiksi”. 95 bab di dalam novel ini (di luar prolog) sukses membuat pembaca bingung untuk menarik benang merah tanpa ada kejelasan siapa antagonis, protagonis ataupun tritagonisnya. Twist yang disajikan Crichton dalam “Next” bagaikan gumpalan pergumulan, kekhawatiran dan kegamangan yang diramu dalam badai fakta yang dijejal sedemikian rupa layaknya ribuan material yang berputar tanpa henti kemudian diletakkan dalam sebuah mangkuk ayam jago untuk dinikmati pembaca.

Novel “Next” adalah bentakan Crichton pada keimanan manusia modern yang percaya terhadap rekayasa genetika dan kecendrungan ilmu kedokteran untuk bergumul dengan bioteknologi. Contohnya adalah penggunaan stem cell yang saat ini dipercaya sebagai solusi mutakhir untuk permasalahan organ biologis manusia yang sulit diperbaiki. Seperti diketahui, beberapa pesohor dunia berlomba mencoba hal ini dan menjadi brand ambassador yang baik bagi ketenaran stem cell.

Selain pada tubuh manusia sendiri, rekayasa genetika sebelumnya telah lebih dulu menginfiltrasi pangan yang dikonsumsi manusia. GMO Product atau di Indonesia lebih sering disingkat dengan PRG adalah organisme sumber pangan yang mendapatkan perlakuan tertentu sehingga menghasilkan varietas dengan keunggulan yang disukai pasar. Menariknya adalah kebanyakan dari kita mengkonsumsi dengan senang hati produk pangan tersebut dan menjadi histeris ketika mengetahui bahwa pangan tersebut adalah hasil rekayasa genetis. Paradoks ini dapat patik nyatakan sebagai bentuk hipokrit dengan mengingkari kesenangan akan kenikmatan di satu sisi, sementara di sisi berbeda ada guilty pleasure bercampur ledakan desire untuk kembali merasakan. Hal ini bisa dicontohkan seperti menyeruput kuah hangat mie instan di sore sejuk saat hujan rintik untuk kemudian mencaci penggunaan MSG berlebih dan indeks glikemik-nya yang memicu diabetes.

Lantas, apa Corona adalah bagian dari product bioteknologi yang lepas?

Beberapa yang membaca ulasan novel yang patik sajikan ini pasti memiliki interpretasi mengarah pada hal tersebut. Patik tak menyarankan untuk mengambil simpulan seperti ini walau tak melarang juga. Patik meyakini bahwa interpretasi adalah bagian dari kebebasan. Seperti dengan bebas kita dapat membaca bagaimana Amerika telah dengan sangat ngotot menuduhkan hal tersebut pada China yang pada akhirnya mau bekerjasama dengan Badan Kesehatan Dunia. Investigasi yang dilakukan WHO setidaknya sudah mengumpulkan cukup banyak bukti untuk bisa menyimpulkan patient zero dari SARS-Cov-2.

Well, no absolute postulate!

Terlalu banyak berita mengenai pandemi layaknya plot dalam “Next” yang mewarnai dunia sejak COVID-19 merebak. Setidaknya kita kemudian dipaksa duduk di dalam rumah saling berjauhan dan menatap berita yang sama di gawai pintar atau pun siaran televisi. Kita tidak boleh bertemu di ruang umum dan merasa terpaksa kembali pada sekat private walaupun senyatanya dunia sudah membiasakan sikap individualistis pada kita. Kita tiba-tiba saja merindukan kebersamaan yang secara paradoks selama ini kita negasikan. Kita akhirnya bertemu tetangga yang selama 5 tahun lebih tinggal di samping rumah namun kita tak pernah mengenalinya ketika berpapasan di pantry kantor hanya karena ia berbeda departemen. Kita dipaksa kembali untuk menikmati fungsi kaki selain menginjak pedal rem dan gas atau footstep sepeda motor. Di tengah dunia nan nelangsa, interpretasi bebas atas pandemi yang terjadi setidaknya masih bisa dinamis walau tubuh kita terisolasi secara sosial dalam ruang gerak yang menjadi sumir.

Pengeja Hujan

Ghana salira ambuka Ratu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *