Mejeng

Angkot dan Segala Romantisme Masa Lalunya

Angkot merupakan singkatan dari angkutan kota, kalo kelen gak percaya lihat di Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI). Soalnya saya di sini bukan sebagai pakar bahasa. Karena Di sini saya akan membahas mengenai pengalaman saya selama menggunakan jasa angkutan umum ini. Kurang lebih Selama tiga setengah tahun, dari mulai pertengahan tahun 2012 sampai 2015. Saat itu saya masih menjalani pendidikan menengah pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan dan masih belum memiliki kendaraan sendiri.

Angkot menjadi kendaraan saya pada saat itu, setelah selesai pulang dari sekolah pukul empat sore. Biasanya saya dan kawan-kawan yang lain dan siswa-siswi Tsanawiyah Negeri 2 Medan menunggu kedatangan angkot bernomor 121 berwarna merah. Saya ingat betul masa-masa indah itu. Kalau angkotnya lagi ramai atau penuh, saya tidak akan naik, mending beli cemilan dulu sambil menunggu angkot yang kosong lewat. Karena angkot yang sunyi lebih menentramkan jiwa.

Angkot menjadi primadona bagi kami. Transportasinya yang murah, cocok untuk uang saku saya pada saat itu yang hanya dikasih 10.000 rupiah per hari. Pas lah untuk murid SMP pada masanya (atau mungkin cuman saya yang uang jajannya segitu, ya). Ongkos angkot juga murah, sekitar 2000 rupiah, dari MTSN 2 Medan sampai Salon Cocolyn yang berada di antara bimbingan belajar Ganesha Operation (GO) dan Kantor Sat-Lantas. Kemudian disambung menaiki angkot bernomor 40 warna kuning yang akan melewati Perumnas Mandala. Nah, saya turun di situ.

Saat itu tidak ada alternatif lain selain menunggu jika angkot 40 kuning tak kunjung datang. Jelasnya ini bukan cerita Milea yang ditulis oleh Pidie Baiq, rindu itu sulit biar aku aja. Eh nggak nyambung ya, geblek. Hal ini berbeda jauh di masa sekarang dengan hadirnya alternatif berupa transportasi online yang bisa diakses melalui telepon pintar. Anak-anak milenial pastinya sudah bisa mengakses layanan tersebut, apalagi mengakses video berdurasi 19 detik, ups. Pada 2015 kemerosotan angkot mulai terlihat. Dari sinilah awal dari kemerosotan popularitas angkot bagaikan kedatangan Messi yang meredupkan kiprah Ronaldinho (sekedar asumsi saya). Saya tidak habis pikir, anak-anak milenial tidak merasakan indahnya suasana di dalam angkot (ngapain dipikirin toh leh).

Menurut pengalaman yang saya dapatkan, suasana menaiki angkot itu rasanya gimana gitu. Saya pernah merasakan saat naik angkot yang penumpangnya rame banget. Malah kernetnya bilang, masih lapang bang, masuk aja. Buk rapatkan, 86. Karena saya juga ingin lekas pulang, terpaksa saya naik. Wiih, padat betul. Saya duduk di samping ibu-ibu yang bertubuh tambun dengan membawa keranjang belanjaan. Sesaat kemudian, turun lah kakak-kakak yang aduhai cantiknya, tapi apesnya naik inang-inang yang giginya kemerah-merahan karena mengunyah sirih. Niat dalam hati ingin senyum pada kakak itu, eh taunya malah inang-inang itu yang tersenyum sama saya. Oalah nasib-nasib.

Saat tempat duduk sudah padat terisi, seorang pemuda SMP yang sama seperti saya terpaksa naik juga, tapi dengan bergandul (bahasa medannya “gantung dulu ko, dek”). Saat perempatan lampu merah, terlihat ada polisi. Sang sopir lekas mengucap, turun dulu ko, ada polisi di depan. Nyebrang dulu ko ke sana nanti ko naik lagi. Nah, itulah jurus sang sopir agar tidak terkena tilang (tindakan langsung).  Waduh capek banget ya rasanya kalo jadi dia, hahaha. Saya bersyukur masih dapat tempat duduk.

Pastinya angkot kurang menawarkan kenyamanan pada penumpang dibandingkan dengan transportasi daring yang menawarkan kenyamanan. Saat padatnya penumpang, keringat saya sudah pada bercucuran, wuuuh terasa panas, walaupun sudah buka kaca jendela angkot. Apalagi ketika sopirnya seorang anak muda yang doyan mengeraskan musik rock atau band-band metal lainnya, itu sangat mengganggu sekali, ditambah lagi ia membawa angkot itu dengan kecepatan penuh. Awalnya saya sebagai anak muda merasa seru, tapi ketika ada seorang penumpang yang mengatakan, bang, pinggir sontak hal itu membuat badan saya bergeser jauh ke depan disertai dengan rasa mual dan pusing. Dari situ saya berdoa, oh tuhan, kapanlah cobaan ini akan berakhir.

Namun begitu, saya tetap mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa para sopir angkot yang rela menjadi sopir angkot. Kadangkala ia juga mendapatkan cobaan berupa penumpang yang kabur dan tidak membayar. Apalagi di masa pandemi COVID-19 ini, minimnya sewa tentu sulit untuk menafkahi anak dan istri. Walaupun begitu, masih ada penikmat angkot disamping larangan pemerintah terkait jaga jarak, karena angkot nggak perlu begitu. Sopir-sopir dan perusahaan angkot harus bisa survive dengan kondisi saat ini, meskipun sulit.

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *