Stephen King (2005) pernah berujar bahwa menulis setidaknya punya 3 tahap: (1) menulis apa yang kamu pikirkan; (2) edit tulisan itu; (3) edit lagi. Kalau bisa lebih dari itu. Ernest Hemingway bahkan pernah mengedit draftnya sampai 43 kali sebelum ia nyerah dan akhirnya diberikan ke penerbit. Lalu terbitlah A Farewell to Arms yang terkenal itu, yang entah mengapa diterjemahkan oleh Yayasan Obor sebagai Pertempuran Penghabisan.

Pada pokoknya, edit tulisan adalah tahap krusial. Tulisan pertama adalah milik penulis. Tulisan kedua mencari kompososi kata dan kalimat yang tepat sekaligus mencari typo. Tulisan ketiga ada editan yang akan kita persiapkan untuk konsumsi publik. Pada tahap ini tulisan tersebut harus benar-benar bisa menjadi milik publik, dinikmati untuk dikritik atau dipuji. Karena itu kita harus sudah siap dengan segala konsekuensinya apabila tulisan telah terbit.

Max Perkins (1978), editor terkenal yang melahirkan beberapa pengarang kelas dunia, menambahkan: “Agar tulisan bermutu, kamu bisa mencoba kritik dan saran pada orang terdekat yang kamu PERCAYA sebelum benar-benar diterbitkan.” Kejujuran para kritikus orang terdekat kita akan sangat membantu imajinasi kita, sebab balon imajinasi kita setidaknya punya sentuhan. Namun, jangan sampai terjebak pada keingingan untuk puja-puji. Sebab tulisan tersebut belum menjadi milik publik. Akan tetapi, jangan sampai juga larut pada pengaruh kritik dan saran pada orang yang kamu PERCAYA tersebut. Sebab penulis tidak boleh keluar dari esensi tulisannya sendiri. Ini yang pernah terjadi pada Thomas Wolfe saat mengarang Look Homeward, Angel. Ada Max Perkins yang punya andil besar mengubah ribuan lembar menjadi hanya beberapa ratus halaman (kisah ini pernah difilmkan dalam judul: Genius (2016)).

Pada tulisan singkat seperti opini dan lainnya, biasanya ada redaktur sebagai penjaga terakhir sebelum naik cetak. Ia yang memutuskan apakah tulisan itu layak atau tidak layak, atau perlu perbaikan. Beberapa media seperti Mojok menambahkan polisi bahasa untuk memeriksa kelayakan tata bahasa. Maka meskipun opini tersaji secara jenaka berbalut ironi, tata bahasa dan kata tetap rapi tanpa menghilangkan gizi tulisannya. Kadang-kadang Tirto.id juga demikian. Penyesuaian untuk zaman sekarang yang suka bahasa ‘nakal’ justru menambah khazanah pembaca.

Menulis pasti punya ragam tema, ragam bentuk (sastra atau ilmiah), dan ragam tujuan. Imajinasi juga tak terbatas dan tak akan ada yang mampu mebatasinya. Akan tetapi ketika tulisan itu sudah milik publik, maka penulis harus bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang ditimbulkan. Bisa memunculkan perdebatan, pengakuan, penuntutan, uang, dan segala sesuatu yang baik atau buruk.

Lalu, ke mana arah tulisan ini sendiri?

Tulisan ini bukan mengajari para pembaca untuk menulis. Atau sok hebat seakan-akan lebih paham dari pada yang lain. Tulisan ini hanya untuk mengingatkan bahwa menulis adalah “pekerjaan mulia,” kata Pramoedya. Weread sebagai wadah tersebut harus menjadi bagian pekerjaan mulia tersebut. Saya paham, untuk wadah yang baru hadir kita perlu kuantitas tulisannya dahulu. Akan tetapi mau sampai kapan? Sebanyak apapun tulisan yang akan terbit jika tak dibarengi peningkatan kualitas maka pembaca akan mengabaikannya.

Beberapa tulisan nakal di Weread masih cukup bergizi untuk dikonsumsi. Beberapa yang lain cukup memenuhi kolom. Ada juga pelampiasan emosi. Sebagai pribadi, beberapa tulisan cukup menganggu. Justru yang memenuhi standar keilmiahan ada dalam tulisan Jejak Islam di Aceh: Sebuah Perjalanan Singkat, yang coba tebak siapa penulisnya? Kalau Andre Syahbana, tidaklah mengagetkan, karena pemahaman sastra dibalut pengalamannya yang getir membuat tulisannya ber-nas.

Barangkali terlalu dini memberikan “ingatan” pada media yang masih belajar tampil. Tapi saya percaya, media ini akan menjadi “sesuatu” untuk Medan dan Sumatera Utara juga Indonesia. Sebab, punggawa-punggawa di belakangnya bukanlah anak kemarin sore. Weread hadir bukan sekadar hanya untuk kebersamaan, tempat ketawa-ketiwi, ngopi, senang-senang. Seingat saya, dahulu Weread dibangun justru karena kegetiran akan kurangnya ruang diskusi dan sadar literatur masyarakat di Medan. Barangkali kita akan konsepsikan lagi bagaimana semestinya.

Ketia Pramoedya Ananta Toer mulai gila menulis, ia ditegur Idrus kalau ia bukan menulis. Tapi berak. Kalau di markas itu Syauqi yang suka berak.

Syaiful Anwar

Penulis adalah pria tertampan di Komunitas Kita Baca

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *