Laki-laki yang gak bisa ditebak. Begitulah yang dapat Saya simpulkan jika harus menggambarkan seorang Syauqi dalam satu kalimat. Sama halnya seperti penulis weread.id lain yang juga bangsat, Saya sudah gak sabar nge-roasting Syauqi sang Maskot WeRead dan mengabadikannya dalam tulisan ini. Saya merasa seperti punya kewajiban moral untuk memberi tahu pembaca betapa istimewanya Syauqi bagi kami. Tentunya dari perspektif Saya sebagai Tuan Guru WeRead II dan mantan Kepling Markas WeRead (2017-2020). Tulisan ini gak enak jika dibaca terburu-buru karena butuh sedikit penghayatan agar sensasinya dapat. Demi pembaca weread.id dan fans Syauqi, Saya rela mendedikasikan waktu untuk menulis beberapa bagian untuk mengulas keistimewaan Syauqi.
Saya mengenalnya sekitar tiga tahun lalu. Semuanya masih terasa biasa-biasa saja dan wajar layaknya relasi sosial antara dosen-mahasiswa di kampus. Bahkan secara kebetulan, Saya pernah menyuruh Syauqi menjadi “mayit”. Saya membutuhkan relawan untuk menghukum mahasiswa lainnya secara bergiliran mempraktikkan sholat jenazah saat itu. Dia dengan kesadaran penuh, sukarela, riang-gembira, dan masih berwibawa sudi merebahkan tubuh kurusnya di lantai kelas menjadi martir bagi kawan-kawannya. “Anak yang baik,” pikir Saya tentang first impression terhadap Syauqi. Sampai saat itu, Saya belum menyadari ternyata ada “something special” dalam dirinya.
Kesan terhadapnya mulai berubah sejak Taslim yang merupakan “abangda bangsat” mengajaknya main-main ke markas WeRead. Saya mengatakannya demikian karena Taslim saya kenal sebagai seorang yang brutal saat membuli Syauqi. Sebagai seniornya Syauqi di kampus, Taslim ini punya skill dan bakat yang juga istimewa secara verbal selain punya power terhadap juniornya. Berkat kombinasi tersebut, Taslim menjelma menjadi sosok pembuli yang punya serangan sangat sporadis, konstan, variatif, tak kenal ampun, dan mengoyak-ngoyak urat malu si korban. Semua orang tentu masih ingat rasanya berada di kubu timnas Brazil saat diajari main bola oleh timnas Jerman pada Piala Dunia edisi 2014. Kira-kira nyaris seperti itu yang dirasakan korban. Syauqi berkali-kali (hampir tiap hari) menjadi martir, tak berdaya, setelah apapun dari dirinya jadi bahan tawa. Tapi Syauqi-effect tanpa diduga menjangkiti seluruh penghuni markas. Semakin kaya khazanah pembulian terhadap Syauqi, semakin kuat Syauqi-effect mengakar di markas. Aneh bukan? Khusus soal Syauqi-effect akan saya ulas pada kesempatan lain.
Sejak sering dibawa Taslim ke markas, Syauqi mulai mendapat tempat di hati penghuni markas. Sosok seorang Syauqi kami kenal karena ucapannya yang sering tidak terduga, tercipta begitu saja, terdengar pada saat tidak terduga, dan kadang di luar yang dibayangkan lawan bicaranya. Telisik punya telisik, Syauqi ternyata punya kemampuan mengucapkan sebuah kalimat yang strukturnya random. Namun, berangsur-angsur kami yang imajinasinya dangkal ini terpesona dan mulai menikmati quotes sang Maskot. Beberapa ucapan khasnya bahkan menjadi jargon yang ikonik. Kami makin punya kedekatan emosional dengannya. Bahkan sangat emosi kadang-kadang dibuatnya.
Semakin kaya khazanah pembulian terhadap Syauqi, semakin kuat Syauqi-effect mengakar di markas.
WeRead punya prinsip: siapapun yang menjadi bagian dari markas wajib diajarkan sesuatu yang berguna, baik ilmu pengetahuan maupun keterampilan yang berfaedah. Misalnya, mulai dari cara mencuci piring yang baik dan benar, bikin kopi yang bisa dinikmati, masak indomie, main leng, catur, hingga membuat prakarya seperti meja dan kursi dari kayu palet juga hal serius seperti menulis sebuah artikel dan lainnya yang lebih akademis. Namun tidak semua dapat mudah dikuasai oleh Syauqi. Tunggu, ini bukanlah sesuatu memalukan, tapi kami berupaya tetap positive thinking seperti Ram Shankar Nikumbh, seorang guru seni yang begitu humanis dan sabar menemukan bakat terpendam Ishaan Aswathi dalam film Taare Zameen Par (Like Stars on Earth). Film besutan Aamir Khan ini sangat inspiratif. Darinya kami belajar bahwa setiap anak punya bakatnya dan kecerdasannya sendiri. Itu yang kami yakini. Hanya saja kami masih harus ekstra sabar melebihi ekspektasi dalam film. Bukan mustahil jika Syauqi punya bakat lebih besar daripada tokoh Ishaan tersebut.
Sebagai insan kamil, Syauqi juga bisa marah, terutama akibat serangan bertubi-tubi Taslim. Tapi itu tidak tampak dalam ekspresi amarah dan murka, melainkan ekspresi diam dengan kekesalan yang teramat berat. Persis seperti Ishaan, bukan? Efek terburuknya sudah pernah terjadi ketika Syauqi menjadi seorang yang rendah diri dan tidak pernah datang ke markas lagi selama dua minggu. Itu akibat dosa Taslim. Selain itu, Syauqi cukup bisa menikmati dirinya sebagai seorang maskot dengan hal-hal ikonik. Azizi sampai mengabadikannya dalam bentuk stiker di WhatsApp. Stiker tersebut sempat populer di kalangan mahasiswa di kampus Syauqi. Dia menjadi seorang bintang. Jargon khas Syauqi sampai menyebar bak virus hingga menjangkiti beberapa dosen yang saya kenal dekat.
Orang lain yang belum cukup jam bergaul dengan Syauqi rentan terpapar apa yang disebut oleh psikolog Edward L. Thorndike sebagai halo effect (efek halo). Efek halo ini dapat didefinisikan sebagai salah satu jenis dari bias kognitifyang mana kesan pertama kita dapat mempengaruhi bagaimana kita merasakan dan berpikir terhadap orang yang bersangkutan secara keseluruhan. Singkatnya, apa yang orang lain lakukan kemudian akan mempengaruhi pandangan kita secara keseluruhan tentang orang itu. Misalnya, efek halo yang dirasakan oleh netizen terhadap artis yang terjerat pasal asusila. Efek halo bisa menggunakan kacamata jender sehingga asumsi instan yang lahir dapat negatif dapat pula positif. Nah, seorang Syauqi yang pikiran dan tindakannya kadang random, sangat membuka peluang bagi orang lain terpapar efek halo dengan asumsi negatif. Ini menjadi menarik saat kita ditawarkan pertarungan mana yang paling kuat antara halo effect versus Syauqi-effect.
Benarlah apa yang ditulis oleh Bang Syaiful Anwar tentang Kejenakaan Logika Syauqi di weread.id (06/01/2021) beberapa waktu lalu. Tampaknya memang kita yang belum dapat menjangkau dan menerima premis-premis khas logika Syauqistis selama ini. Perlu maqom keilmuan yang lebih tinggi untuk mencapai itu. Saya pribadi untuk saat ini masih menerima hal itu sebagai “innocent-reflective prelogic by an unpredictable man” dan sementara masih terus mengikuti perkembangan riset terbaru tentang Syauqisme.
“Maaf ya Syauqi, kami yang salah…emmmm…”