Bongak

Tikus yang Dibunuh di Malam Hari

Hari menjelang pagi. Sinar lembut matahari mulai memasuki sela-sela jendela apartemenku. Aku segera bangun dari tidur dan bergegas untuk menemui dosenku di museum. Maklum sebagai mahasiswa S3 dan peneliti barang-barang kuno, aku dipercaya olehnya untuk mengidentifikasi barang-barang tersebut. Tiga bulan sebelumnya, aku dan beberapa peneliti lainnya berhasil mengekskavasi temuan barang antik di beberapa situs sejarah. Mulai dari penemuan keramik China, uang cetakan perak dan emas, cincin emas,  pecahan-pecahan gerabah, dan temuan barang lainnya yang rencananya akan diidentifikasi dulu sebelum dipamerkan di museum.

Sebelum berangkat, tidak sah rasanya jika belum menyeruput kopi di pagi hari yang sudah menjadi kebiasaanku. Disertai dengan membaca berita di surat kabar yang telah diletakkan oleh istriku di atas meja. Aku mulai mengambilnya dan membolak-balikkan halaman. Tidak lama kemudian, aku melihat sebuah berita pada halaman 15 yang khusus memberitakan tentang kriminal bahwa pasar gelap barang-barang kuno mulai marak. Hal ini juga disebabkan karena tingginya permintaan para kolektor terhadap barang-barang kuno.

Dosenku pernah menceritakan tentang kolektor barang-barang kuno ini, jika aku tidak salah ingat namanya Tuan Ludwik. Dan jika aku tidak salah ingat lagi, mungkin hari ini aku akan diperkenalkan olehnya karena ia juga mendapatkan informasi mengenai hasil ekskavasi yang sudah kulakukan. Dosenku berharap tuan Ludwik dapat membantu meringankan pekerjaanku dalam mengidentifikasi hasil temuan tersebut. Semoga semuanya berjalan dengan lancar.

“Sayang, sepertinya kopimu sudah dingin. Cepat habisin!” Sahut istriku.

“Oh iya ya, sepertinya aku melamun.” Jawabku disertai dengan gerakan meminum secangkir kopi yang telah dingin. “Aaaaahhh” begitulah suara yang kuhasilkan setelah selesai meminumnya.

“Oh iya, sepertinya nanti malam aku agak lama pulangnya. Jadi, aku bawa kunci takut nanti malam kamu tidur duluan.”

“emangnya kamu ada urusan apa?”

“mau jumpai pak Ichsan dulu. Katanya dia mau kenali aku sama kolektor barang-barang kuno.”

“oh iya ya, yang penting kamu jaga diri ya.” Ujar istriku dengan kata-kata yang penuh cinta dan perhatian.

“iya sayang.” Aku pun membalasnya dengan kata-kata yang penuh  cinta dan sayang.

Lalu, ia mencium tanganku dan aku pun mencium keningnya. “kamu tidak mencium perutku, sayang.” Sela istriku.

“Sayang, kamu hamil?” tanyaku dengan perasaan kaget bercampur senang. Istriku hanya menganggukkan kepalanya tanda jawaban “iya”. Tanpa ragu aku mulai mencium perutnya dan melangkahkan kaki ditemani olehnya yang berdiri di depan pintu rumah sambil melambaikan tangannya ke arahku.

***

“Selamat pagi pak. Ada yang bisa kami bantu.” Ujar satpam.

“Pagi. Saya mau jumpai pak Ichsan.” Jawabku

“Baik pak. Silakan.” Satpam itu pun mempersilakan aku memasuki museum. 

Aku pun memasuki museum dan kulihat ada dua orang yang sudah berdiri di depan barang-barang kuno yang sudah dimasukkan kedalam kotak kaca. Dari kejauhan pak Ichsan telah melihatku dan mengisayaratkan agar aku bergegas mendekatinya. Di sebelahnya berdiri seorang yang tinggi badannya sekitar dua meter, kulit dan rambutnya berwarna putih, bermata biru seperti berlian Okavango Blue, dan menggendong seekor kucing dari jenis Persia.

“Ludwik Van Huizen.” Ujar Tuan Ludwik sambil mengulurkan tangannya berjabat tangan.

“Bahadur. Wah, cantik sekali kucingnya.” Ujarku dan menyambut jabatan tangannya.

“Baiklah, silakan perkenalan dulu rekan-rekan sekalian. Karena aku yakin kita akan membangun sebuah kerja sama yang hebat.” Ujar Pak Ichsan.

“Senang berkenalan dengan anda Pak Bahadur. Saya seorang kolektor barang-barang antik dan bisa dikatakan saya sangat gemar mengoleksinya. Terima kasih telah memuji kucingku ini. Kau tahu pak Bahadur aku sangat menyukai kucing dan kau tahu hewan apa yang paling kubenci?”

“Ya, terima kasih Tuan Ludwik. Semoga kita dapat bekerja sama dengan baik. Aku tidak tahu Tuan?” Sahutku.

“Tikus.”

“Oh iya, ngomong-ngomong Pak Bahadur. Saya sangat tertarik dengan pecahan keramik China dari Dinasti Ming yang ada di sebelah sana.” Sambung Tuan Ludwik sambil menunjuk tangannya ke arah benda yang diinginkan. “Jadi, saya ingin menebus barang itu untuk tambahan koleksi barang antik saya dan berapapun harganya akan saya tebus.”

“Bukankah sudah kukatakan kepada Pak Ichsan bahwa semua barang-barang yang ada di museum ini tidak dijual. Ah sialan, tabiatnya tidak pernah berubah. Sebenarnya aku benci dengan sifatnya yang selalu tergiur dengan uang, apalagi ia rela menjilat kaki orang-orang yang kaya,” gumamku dalam hati.

Mendengar jawabanku ini, aku melihat mimik wajah Pak Ichsan yang kecewa. Lalu, ia memberikan isyarat kepadaku agar berbicara empat mata.

“Mohon waktunya sebentar Tuan Ludwik. Kami mau berbicara berdua dulu.” Ujar Pak Ichsan.

“Silakan.” Jawab Tuan Ludwik yang meninggalkan kami berdua. Kemudian berkeliling melihat barang-barang yang ada di museum.

“Hey, kamu ini bagaimana. Sudahlah tidak usah terlalu idealis begitu. Kita jual beberapa barang tapi jangan diberitahu oleh siapa pun. Jika ditanya kita rekayasa saja jawabannya. Lagian ini kesempatan kita untuk menjadi miliarder. Kapan lagi? apa kau tidak mau? Ayolah sekali-kali kau tinggalkan idealismu itu.”

“Tidak pak. Sampai kapan pun aku tidak sudi barang-barang sejarah kita dirampas oleh orang keji itu. Dan bagi saya barang-barang ini mempunyai nilai sejarah yang harus dipelajari oleh generasi masa depan. Di mana akal bapak.” Bentakku dengan wajah yang memerah lalu segera melangkah pergi. Mendengar percakapan ini, Tuan Ludwik menyambut.

“Ah sayang sekali Pak Bahadur. Padahal aku berniat menjadikan kalian kaya, tapi sudahlah Pak Bahadur, kau harus tahu bahwa aku harus mendapatkan apa yag kumau dan kau tahu kenapa aku benci sekali dengan tikus.”

Aku tidak menghiraukan apa yang orang keji itu katakan. Aku bergegas melangkah pergi.

“Karena tikus itu penganggu dan hal-hal yang mengganggu harus dibasmi, Pak Bahadur.” Sambungnya yang menandakan akhir dari pembicaraan kami.

***

Matahari sudah berposisi di atas kepala, tanda hari sudah siang. Jam tanganku menunjukkan pukul empat belas. Aku sedang mengendarai sepeda motor dan berhenti di lampu merah perempatan jalan Aksara. Tujuanku adalah menjumpai salah satu rumah kawanku, kira-kira beberapa menit lagi akan sampai. Terik matahari begitu panas sehingga memancarkan sinarnya yang memantulkan sebuah fatamorgana ketika kulihat aspal di depan sana. Tak berapa lama, lampu merah mulai berganti ke kuning lalu hijau. Aku pun mulai menggas sepeda motorku dengan kecepatan penuh.

Setelah melewati pasar, di sebelah kiri ada gang bernama Salmon. Aku memasang lampu sen ke kiri dan memasuki gang tersebut. Lalu, melewati lima rumah akan dapat rumah kawanku bernomor 491. Temanku ini bernama Soni, ia juga seorang peniliti sama sepertiku. Tapi, ia khusus meneliti tentang sosial dan masyarakat.

Assalamu’alaikum.” Sahutku sambil memasukkan sepeda motor di halaman rumahnya.

Wa’alaikumsalam.” Jawabnya.

Sepeda motor kumatikan. Setelah itu kami bersalaman, lalu aku membuka pembicaraan “aku mau cerita bro.”  

“Masuk dulu bro. Enaknya kita cerita di dalam.” Balasnya

“Oke, bro.”

Aku masuk dan mendapatkan sofa dengan ukiran kayu yang elegan, segera saja aku mendudukinya. “mau cerita apa? ceritalah!” sambungnya lagi.

Aku mulai menceritakan peristiwa di pagi hari itu secara singkat dan jelas kepadanya, di mana aku sangat tidak setuju bila barang-barang sejarah yang di ekskavasi itu, seperti pecahan keramik buatan Tiongkok, koin emas, cincin emas, pecahan gerabah, dijual kepada kolektor keji bernama Ludwik van Huizen itu. Karena bagiku, barang-barang itu bernilai sejarah dan bisa menjadi riset bagi akademisi di generasi yang akan datang serta menjadi identitas bagi bangsa kita. Jika semua barang yang kita temukan lalu dijual kepada pihak asing, apa yang akan kita tunjukkan kepada generasi yang akan datang bila kita hanya bisa membual tanpa bukti.

Kawanku menuangkan teko berisi kopi ke cangkir yang telah disediakan di hadapanku. Ku seruput sedikit kopinya, setelah itu aku melanjutkan pembicaraan. “Aku tidak menyangka Pak Ichsan telah bersekongkol dengan kolektor keji itu. Dia hanya mengharapkan uang, uang, dan uang. Kurang apa lagi gaji penelitian yang telah diberikan oleh pemerintah.”      

“Kau itu selalu idealis.” Sanggahnya. Kemudian dia melanjutkan “itulah mengapa kau sering dalam keadaan berbahaya. Kau tidak berpikir kalau idealismu itu akan membawa malapetaka.”

“Tidak. Aku akan tetap mempertahankan argumenku karena menurutku itu benar.” Jawabku.

“Begini Bahadur, apa kau tahu seberapa kejinya Ludwik van Huizen itu? aku baru saja menemukan sebuah artikel di majalah nasional terkait dengan black-market atau perdagangan ilegal dan salah satu mafianya adalah Tuan Ludwik itu.” Katanya sambil menyodorkan majalah nasional itu kepadaku. “nyawamu bisa saja terancam, kawan.” Sambungnya lagi.

Aku tidak menghiraukan pendapatnya, keteguhan dalam hatiku ialah “tidak menjualnya”. 

***

Hari semakin gelap, matahari telah kembali ke peraduannya. Begitu pula buku-buku yang telah kubaca kukembalikan pada raknya semula. Aku merasa selama satu harian ini banyak mendapatkan referensi yang cukup untuk mengkonsep sebuah museum yang akan segera dibuka. Namun, di tengah khayalanku akan hal itu tiba-tiba saja kawanku mengatakan “jangan hiraukan pendapatku.”

Ah sial, kau merusak khayalanku dengan menghadirkan si kolektor keji itu,” batinku.

“Bagaimana pun, kau harus ingat pesanku Bahadur. Aku tidak mau keselamatanmu terancam. Bila Tuan Ludwik masih ngotot menginginkan barang-barang itu, apa salahnya bila kau beri.” Sahutnya.

Kata-kata seorang pengecut, biarlah. Lebih baik aku bergegas pulang,” sahut batinku lagi.

“Baiklah, sampai ketemu besok.” Roda sepeda motorku mulai bergerak menjauh dari rumahnya. Saat kulihat jam tangan ku, waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Jalanan telah sepi, warung-warung di pinggir jalan bersiap untuk menutup warungnya. Aku menambah kecepatanku. Kulihat sebuah perempatan lurus dan aku yakin tidak ada seorang pun yang lewat. Tiba-tiba saja suara tembakan terdengar dan itu mengakibatkan ban sepeda motorku pecah, spontan aku menekan rem  dan terjatuh.

Dengan terhuyung aku berusaha bangkit dan daya lihat yang terbatas di kegelapan malam. Tapi aku mendengar suara.

“Tikus pengganggu harus dibasmi”.

Terdengar suara tembakan yang entah di mana. Namun aku merasakan sebuah benda kecil menembus tepat di jantungku dan kepalaku. Tatapanku hanya mengarah ke langit, kulihat kawanku yang tadinya menasihatiku tapi tidak kuhiraukan. Sekelebat kemudian, gambaran itu berganti dengan kelahiran istriku tapi tanpa kehadiranku. Aku merasa badanku telah jatuh ke tanah dengan pandangan tetap mengarah ke langit. Seketika itu juga, sesosok makhluk turun dari langit beserta sebuah kapal yang mengangkut banyak orang. Termasuk di dalamnya almarhum kedua orang tuaku. Tidak berapa lama, aku pun bergegas menghampiri mereka.

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *