Terhitung sejak maret 2020, Indonesia dinyatakan darurat Corona Virus Disease 19 atau yang lebih dikenal dengan Covid-19. Dalam hitungan bulan virus corona menyebar dengan begitu cepat, massive dan terstruktur. Tak ayal ini menjadi lampu merah bagi pemerintah untuk segera berbenah dan mencari solusi penanganannya. Pemerintah kemudian melakukan tindakan cepat melalui kementerian kesehatan untuk pencegahan dini virus corona agar tidak menyebar secara masif.
Namun sayang, corona begitu ganas meyerang masyarakat Indonesia. Tingkat penyebaran virus corona begitu cepat dan masif, bahkan dibeberapa daerah di Indonesia banyak korban yang berjatuhan akibat virus corona, korban meninggal dunia berjatuhan tanpa jeda, yang dinyatakan positif juga tak kalah banyaknya, dan juga yang harus diisolasi baik di rumah sakit atau isolasi mandiri di rumah.
Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan agar masyarakat Indonesia tetap menjaga kesehatan tubuh seperti tidak keluar rumah, memakai masker, rajin mencuci tangan dan tidak berkerumun, himbauan tersebut dikeluarkan untuk menekan angka penyebaran virus corona.
Sebagai masyarakat yang taat terhadap himbauan pemerintah, harusnya kita tetap mematuhi protokol kesehatan seperti mencuci tangan, memakai masker, jaga jarak dan tidak berkerumun. Bukan malah sebaliknya, mengindahkan himbauan-himbauan pemerintah.
Di sisi lain harusnya Corona dimaknai sebagai teguran alam bahwa manusia harusnya lebih mawas diri dan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan dan prilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Memakai masker sebagai pelindung mulut agar tidak menyebarkan atau tertular virus corona sebenarnya adalah simbol agar kita dapat menjaga dan menahan mulut kita agar tidak mengucapkan ujaran-ujaran kebencian, hate-speech, dan omongan-omongan yang mengandung unsur provokatif dan berpotensi merusakan tatanan sosial kehidupan masyarakat. Justru hari ini di tengah masif-nya penyebaran corona masih ada saja oknum-oknum yang tidak bisa menjaga congornya (baca: mulut) untuk menyebarkan hoax, ujaran kebencian dan pesan-pesan provokatif.
Masih banyak dari kita yang belum bisa menahan ucapan yang keluar dari mulut dengan banyak menyinggung perasaan orang lain, mem-bully, menghina dan mencaci maki. Yang lebih ironi adalah perkataan-perkataan kasar seperti itu keluar dari seorang pemuka agama yang memiliki otoritas di tengah keumatan hari ini. Sangat disayangkan.
Harusnya corona dapat dimaknai sebagai proses introspeksi diri untuk menahan keegoaan kita yang selama ini tidak terkendali, kita diajarkan untuk lebih banyak berdiam, tidak banyak berbicara dan lebih banyak bersama-sama keluarga di rumah.
Lihatlah bagaimana banyak korban yang berjatuhan akibat dari kita yang tidak bisa menjaga ucapan. Bila dulu kita sering mendengar pepatah yang mengatakan “diam adalah Emas”, ternyata pepatah itu sangat relevan dihari-hari ini saat virus corona menyerang masyarakat Indonesia.
Bersatu Melawan Corona
Sudah saatnya kita saling bergandengan tangan untuk menyelesaikan persoalan virus corona. Pemerintah juga harus mengajak semua lapisan untuk ikut serta dalam menyelesaikan masalah tersebut. Tidak ada lagi pelbagai konspirasi tentang virus corona, hilangkan stigma tersebut dan bersatu melawannya.
Di tengah keterpurukan bangsa Indonesia yang ditimpa musibah wabah covid-19 sepanjang tahun 2020, belum lagi bangkit dari masalah tersebut, di awal tahun 2021 Indonesia kembali ditimpa musibah bertubi-tubi. Diawali dengan jatuhnya pesawat Sri Wijaya Air JT-182, kemudian musibah banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah Indonesia.
Jangan ada lagi saling menyalahkan di antara kita, toh semua sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Kini saatnya bersatu melawan corona.
Penyebaran corona sesungguhnya dapat dicegah asal kita mau hidup disiplin, mematuhi protokol kesehatan dan mematahi anjuran pemerintah. Namun sayangnya, masih banyak di antara kita yang masih mengindahkan hal-hal substansial tersebut. Dan satu lagi, asal kita mampu menahan congor!!!