Hari ini wartel tinggal kenangan. Warung Telekomunikasi atau Warung Telepon terdengar usang bagi yang pernah pegang gagang telepon berkabel di kamar ukuran 1×1 meter. Bagi siapapun yang lahir tahun 2000-an, mungkin wartel terdengar asing. Apapun kesan kita, wartel pernah nge-trend, laris-manis, sejak tahun 1990-an sampai awal tahun 2000an. Saya sendiri sempat nyicipi wartel di kampung halaman di Asahan. Wartel pun masuk kampung. Sampai saya hijrah ke Medan tahun 2006, wartel sedang ‘naik daun’. Satu yang paling populer di sekitar kampus bekas IKIP Medan, namanya 3M: Murah Meriah Muntah.
Saking ramainya, murahnya, kita memang bisa ngomong berlama-lama dengan orang di ujung sambungan sampai ‘muntah’. Ini cocok dengan kantong mahasiswa yang cekak tapi banyak bualnya. Jadi bisa lah bicara berlama-lama dengan keluarga atau pacar. Pun karena murahnya, pelanggan ramai, meriah. Kita bisa ‘muntah’ karena ngantri panjang untuk dapat giliran masuk Kamar Bicara Umum. Tapi nampaknya di sekitar tahun 2006 itu juga wartel mengalami semacam anticlimax. Pelan-pelan pelanggan makin gandrung dengan cara komunikasi jarak jauh pakai handphone. Dari fasilitas umum berbayar, menjadi lebih pribadi. Orang lebih pilih telepon genggam pribadi. Seiring juga telepon rumah makin kurang diminati.
Nasib serupa juga dialami oleh warnet, Warung Internet. Di sekitar tahun itu, wartel mulai tutup satu per satu, sementara warnet semakin menjamur. Keduanya memang pernah ada bersamaan, tapi wartel kandas sedangkan warnet makin diminati, terutama oleh siswa dan mahasiswa. Pelanggan utama ini masuk warnet untuk mejeng, mencari sumber belajar, nonton film, atau mencari teman lewat platform online. Makin ramai sejak kehadiran Facebook. Anak muda pindah lah, tinggalkan Friendster. Warnet jadi ‘warung’ yang buka siang malam, sediakan macam-macam paket: mulai per jam sampai per malam.
Tapi begitu pun warnet tak bertahan lama. Beberapa tahun saja minat orang ke warnet makin tipis. Hanya anak-anak pecinta game online saja yang meramaikan warnet, juga riuh rendah suara permainan perang dan pekik mereka. Turunnya pasaran warnet pun, kira-kira sama modusnya dengan wartel: pelanggan tinggalkan fasilitas umum berbayar, beralih ke gawai pribadi. Internet masuk rumah dan yang paling fantastis, menyatu dengan handphone. Wartel dan Warnet kini dalam genggaman.
Dari warung-warung ini, cuma Warung Kopi atau Warkop yang nampak tak tergoyahkan. Warkop memang sudah ada sejak lama dan berakar di tradisi masyarakat. Misalnya lepau bagi orang Minang dan lapo bagi orang Batak. Tapi di perkotaan, warkop tampil bedan, dan sekarang makin trendy dan makin diminati karena sediakan fasilitas internet nirkabel (Wi-Fi). Jadi, fungsi wartel dan warnet dalam komunikasi, sekarang ini difasilitasi oleh Warkop. Selain nongkrong, bergunjing dan berbual, yang paling penting saat ini, orang bisa internetan. Seringkali, WiFi jadi kriteria utama untuk memilih warkop tempat nongkrong sambil kerja. Kita seringkali malas duduk di warkop yang tak sediakan jaringan internet.
Kalau kita ingat wartel dan warnet, trend warkop dengan internet ini akan bertahan berapa lama? Saat ini ruang-ruang publik kota, misalnya di Medan, pun sudah mulai sediakan internet. Misalnya Telkom sediakan pojok dengan wifi.id, meskipun berbayar. Kemungkinan yang paling besar untuk masa depan yang dekat adalah internet gratis di ruang publik kota. Banyak kota di Indonesia baru-baru ini sedang demam Smart City, yang inti proyeknya adalah mengumpulkan dan digitalisasi data, lalu menyajikannya sebagai informasi untuk pelayanan publik. Jadi internet harus ada di mana-mana supaya, misalnya, lewat aplikasi online kita bisa tahu Bus Damri jurusan Bandara Kualanamu berapa menit lagi datang.
Memang kedengaran menjanjikan, menggiurkan. Tetapi, poin yang ingin disampaikan disini ialah, cara komunikasi, atau teknologi komunikasi membentuk ruang sosial kita. Telepon dan internet mendefinisikan ruang: wartel, warnet, warkop dengan WiFi, kampung internet, desa internet, dan yang sangat mungkin ialah ruang kota dengan jaringan internet. Cara kita melihat ruang pun berubah. Ada ruang yang tak terkoneksi dan yang terkoneksi dengan internet. Yang terkoneksi itu dianggap maju, karena terhubung dengan ruang fisik yang lain melalu ruang virtual. Yang tidak terkoneksi internet, ketinggalan.
Orang suka datang dan kunjungi ruang yang terkoneksi dengan internet, tak ubahnya warkop WiFi yang selalu ramai. Sekarang wartel sudah masa lalu dan warnet sudah terbatas. Kita banyak nongkrong di warkop, dimana sosialisasi berlangsung, ide-ide diperdebatkan, karya-karya budaya dibicarakan. Namun, bagaimana kalau ada jaringan internet di seluruh ruang kota? Kalau suatu saat ini terjadi, apakah orang akan tinggalkan warkop dan beralih ke ruang publik dengan internet gratis? Tapi tunggu dulu, apa ada ruang publik yang cukup tersedia, misalnya di Medan, untuk orang bercengkrama, bersosialisasi seperti taman kota?