ALS adalah akronim dari Antar Lintas Sumatera yang digunakan sebagai Perusahan Otobus (PO) ALS. Markas besarnya di Jl. Sisingamangaraja Medan. PO ini memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan sosial masyarakat Medan, pun masyarakat seluruh Sumatera. Berdiri pada 1966, PO ini justru hadir bukan di Kota Medan, melainkan di Kotanopan, Mandailing Natal. Trayek awal melayani Kotanopan ke Medan, begitu juga sebaliknya. Baru setelah tahun 70-an dan 80-an rutenya menyebar hingga ke seluruh Sumatera. Bahkan “mengekspansi” Jawa.

Hingga zaman Covid-19 sekarang ini, PO ALS masih eksis dan barangkali tetap eksis. Namun begitu, terdapat kekhawatiran juga bahwa kelak PO ini tinggal nama seperti PO lainnya yang telah hilang seperti PMTOH, Aek Sibual-buali, dan sebagainya. Perkembangan zaman telah mengubah segala-galanya. Sistem infromasi dan transportasi yang kian canggih semakin membesarkan rasa khawatir itu. Setidaknya masih belum ada yang bisa menggantikan trasportasi alternatif yang relatif murah, ramah, dan berjiwa sosial tinggi (ini pendapat pribadi, bukan untuk diperdebatkan).

Pengalaman Perjalanan ALS

Bagaimanapun juga, bus ALS adalah produk teknologi yang sempat populer dalam membantu masyarakat. Dianggap canggih pada medio 60-an hingga 90-an sampai pesawat komersil (murah) mengambil alih layanan perjalanan. Meskipun begitu, untuk urusan pengangkutan barang ALS masih manusiawi ketika layanan pesawat terbang tidak mampu melakukannya.

Sebelum pesawat komersil merajalela, ALS adalah pilihan utama pengangkutan orang ke setiap kota. PO ini muncul karena melihat sulitnya masyarakat Kotanopan menuju Kota Medan. Ternyata trayek yang dibangun oleh Ali Sati Lubis ini sangat diminati masyarakat sehingga berkembang cepat. Khususnya armada dan layanan trayeknya. Hal ini pula yang pada akhirnya membuat Sati Lubis memindahkan markasnya ke Medan.

Jika pada awalnya mesin bus ALS punya bermacam jenis seperti Chevrolet, Dodge, GMC, dan sebagainya, maka sekarang semua tanpa terkecuali telah menjadi Marcedes-Benz. Hal ini dianggap karena mesin yang berbasis di Jerman itu lebih tangguh dalam perjalanan jauh atau jalan-jalan pegunungan. Selain itu, kesamaan mesin dapat memudahkan perawatan atau perbaikan yang jika sewaktu-waktu terkendala di tengah jalan. Armadanya bisa saling membantu. Catatan uniknya bahwa pada umumnya supir atau kernet (kondektur) cukup mengerti masalah mesin.

Ada istilah orang Sumut yang mempelesetkan ALS sebagai Asal Laho Sega, yang artinya setiap pergi pasti rusak. Sepengalaman saya yang sangat sering naik ALS tidak seperti itu. Bahkan pernah dengan jarak sangat jauh antara Yogyakarta – Medan, tidak terjadi persoalan apa-apa kecuali di beberapa titik terdapat preman-preman yang minta uang. Tentu itu persoalan lain. Yang jelas, setiap orang yang pernah mengalami perjalanan dengan ALS tidak punya masalah, kecuali mabok. Saya kira, akronim yang diplesetkan tersebut hanyalah persaingan usaha atau kombur orang Sumatera.

Pada tahun 80-an dan 90-an bus ALS sangat terkenal karena bus tersebut adalah yang terbaik melayani rute antara Sumatera – Jawa. Lebih tangguh dari bus lain yang punya rute serupa. Lebih nyaman karena bus tersebut yang mengawali seat 2-1 (super executive) dengan biaya lebih 50% dari harga ekonomi. Tentu cukup merakyat. Apalagi sangat jarang penumpang dibebani biaya tambahan dengan barang melebihi batas, kecuali barang yang dibawa tidak masuk akal. Hingga sekarang jika kita menumpang bus tersebut bersama barang yang, katakanlah satu koper besar bersama dua kotak rokok tidak ada masalah. Jikalau hanya mengirim barang harga perkilonya sangatlah murah. Tentu saja hal ini tidak bisa dibandingkan dengan pesawat.

Pengalaman lain pernah saya alami yang terkait dengan kemanusiaan. Ketika menempuh studi di Yogyakarta, saya pernah pulang ke Medan dengan bus ALS. Pada 2012 sebenarnya ongkos pesawat tergolong murah dikisaran 800-1 Juta. Sementara ongkos bus di kisaran 600-an. Meskipun begitu uang yang saya pegang tidak sampai ongkos pesawat sehingga saya harus naik ALS. Tentu saja cukup untuk ongkos bus, tetapi tidak untuk makan selama perjalanan 3 hari. Saya berinisiatif langsung berterus terang pada supir bus. Rencananya sisa uang akan saya berikan ke supir bus dengan catatan saya ikut makan semeja dengan awak bus. Sebagai catatan, supir dan kernet punya meja tersendiri jika berhenti di rumah makan dan gratis. Supirnya setuju, tapi ia tak mau mengambil uang saya.

Pengalaman berikutnya adalah ketika saban bulan selama 3 tahun harus bolak-balik dari Medan ke Bukittinggi dengan bus tersayang itu. Saya mengamati bahwa setiap supir selalu menyempatkan memberi infaq pembangunan mesjid di pinggir jalan. Sejak dari Medan hingga tujuan. Barangkali selain bersedekah, tujuan lainnya untuk keamanan jika sewaktu-waktu ALS membutuhkan bantuan masyarakat di tengah jalan. Namun, dalam beberapa sumber menyatakan bahwa hal itu hanyalah salah satu komitmen Ali Sati Lubis bersama Nuddin Lubis untuk berpartisipasi dalam agama pada saat mendirikan PO ALS.

Terakhir adalah munculnya rasa haru. Ketika pada umumnya supir ALS melewati tanah kelahiran atau bersemayamnya keluarga, mereka selalu menyempatkan diri bertemu untuk sekadar bertemu anak dan memberikan bingkisan oleh-oleh. Saya paham bahwa menjadi supir berarti akan selalu jauh dengan keluarga. Entah sampai kapan, yang pasti mereka merindukan selalu dekat dengan keluarga.

ALS telah menjadi bagian masyarakat Sumatera. Membantu perjalanan orang berduit cekak, baik barang dan manusianya, juga perekonomian. Ada berbagai pelaku ekonomi non-formal yang sangat terbantu karena bus ini. Ketika pada saat yang sama teknologi canggih semakin menggerogoti para pelaku usaha yang menggantungkan hidup pada PO ALS. Syauqi masih belum pernah merasakan melakukan perjalanan dengan bus ini. Maka, ALS janganlah mati.

Syaiful Anwar

Penulis adalah pria tertampan di Komunitas Kita Baca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *