Elon Musk beberapa waktu lalu menyatakan bahwa untuk bekerja di perusahaannya, SpaceX, yang diperlukan adalah kecakapan dan kemampuan. Tak peduli lulusan apa seseorang itu, selama kecakapannya menunjang perusahaan pasti akan dipakai. Sebelum Elon Musk, Larry Page pernah juga menyatakan bahwa untuk bisa bekerja di Google, seseorang hanya butuh kemampuan yang diperlukan. Bukan gelarnya.
Menariknya bukanlah pernyataan para punggawa teknologi tersebut, melainkan komentar netizen, khususnya di negeri +62 ini. Sebagian besar sepakat mengamini apa kata mereka, jika tak mau mengatakan seluruhnya. Sepertinya para komentator itu memiliki masalah dengan sekolah. Bisa karena bodoh, kurang biaya, atau karena punya kisah asmara teramat pahit di sekolah. Entahlah. Yang jelas kesimpulan pertanyaannya cuma satu, apakah ijazah memang kurang penting lagi di era sekarang?
Asal Ijazah
Mesut Idriz dan Idha Nurhamidah (2019) pernah membahas muasal ijazah tersebut pada jurnal Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam. Ijazah berasal dari bahasa Arab, ajaza. Imam Nawawi mengartikannya sebagai air pelepas dahaga. Ibn Manzur menyebut kursi yang secara istilah adalah legitimasi atas ilmu yang dipelajari. Sementara al–Fayruzabadi mengartikan sebagai kesahihan seseorang untuk mengajar.
Secara historis Ijazah pertama muncul pada tahun ke 3 Hijriah atau pada abad ke-7 di Baghdad. Yang patut diketahui adalah bahwa ijazah yang dimaksud adalah pengakuan secara lisan tentang hadist dan hukum-hukum Islam. Disebut at-taabi’in dan tabi’ at-taabi’in yang sanadnya hingga ke Rasulullah Saw. Meskipun lisan, ijazah tersebut disampaikan secara ketat dengan berbagai bentuk ujian hafalan serta pemahaman yang tidak mungkin bisa dilakukan seorang Syauqi. Baru pada abad ke-10 ijazah tertulis pertama ditemuka di Maroko. Tepatnya di universitas Qarawiyyin yang baru ditetapkan oleh UNESCO sebagai universitas tertua di dunia. Sistem ini selanjutnya ditiru oleh universitas di Bologna dan Oxford, Inggris sekitar abad ke-11 dan abad ke-12.
Perkembangan Ijazah dalam edisi cetak tersebut memiliki perbedaan antara sistem pendidikan Barat dan Islam. Di pendidikan Barat ijazah berbentuk semacam sertifikat dengan berbagai mata kuliah yang telah diselesaikan serta nilainya. Sementara Ijazah dalam pendidikan Islam hampir seperti berbentuk makalah sekitar 20 lembar dengan detail kitab-kitab apa yang telah dipelajari, siapa yang mengajarkannya, dan pemahaman seperti apa yang telah ditempuh mahasiswa. Termasuk legalitas yang mendasari, kedua ijazah tersebut juga memiliki perbedaan. Pendidikan Barat yang bertanggung jawab adalah instansi sementara pendidikan Islam adalah ulama sebagai gurunya.
Pada perkembangannya hingga sekarang, khususnya di Indonesia, ijazah yang kita pahami berbentuk selembar kertas seperti sertifikat yang berarti kental dengan unsur pendidikan Barat.
Makna Ijazah
Tentu untuk mendapatkan ijazah sekarang mestilah sekolah. Persoalnnya kemudian adalah masih ada yang beranggapan bahwa ijazah bukanlah menentukan masa depan seseorang. Tentu saja sebab takdir di tangan Tuhan. Akan tetapi dengan ijazah seseorang bisa memperbaiki masa depannya.
Kira-kira begini, di dalam sekolah ada berbagai pengalaman yang bisa didapatkan seperti tanggung jawab, organisasi, penelitian, dan berpikir secara sistematis yang diajarkan oleh seorang guru. Barangkali bukan ijazah yang membuat masa depanmu cerah. Tetapi pengalaman-pengalaman itu yang akan menuntunmu menjalani hidup. Oke, pengalaman tersebut barangkali tidak harus di sekolah. Bisa didapatkan secara langsung melalui pengalaman hidup di luar sekolah. Namun, hanya segelintir orang yang benar-benar berhasil. Sebagian besar hanya menjadi kaum rebahan yang punya banyak waktu untuk mengomentari Elon Musk dan Larry Page. Sementara Elon Musk makin kaya, Anda makin terpuruk karena beranggapan bahwa ijazah bukanlah penentu masa depan. Sialnya, keterpurukan itu akan terwariskan oleh anak cucu.
Saya punya teman yang sekarang cukup berhasil dengan masa depannya. Teman saya ini tidak tamat sekolah yang artinya bukan ijazah yang menentukan masa depannya. Akan tetapi, teman saya berkata jujur bahwa selama kuliah, pemikirannya terbentuk secara sistematis dan terkonsep berkat dosen-dosennya dulu. Sehingga usahanya juga terkonsep dan tersistematis. Secara tidak langsung ia berterimakasih pada guru-gurunya di masa lalu, meskipun ia tidak tamat. Artinya pengalaman dalam pembelajaran itu sungguh penting yang tidak semua orang bisa dapatkan di luar sekolah.
Bill Gates tentu milyuner yang putus sekolah. Tetapi, saya yakin ia menganggap bahwa perjuangan mendapat ijazah adalah pengalaman di sekolah yang sangat penting sehingga anak-anaknya tidak ada yang putus sekolah. Artinya, marilah mulai menganggap ijazah itu penting. Prosesnya menyenangkan. Setidaknya kalau Anda gagal meskipun telah sekolah sangat tinggi, ijazahnya masih laku digadaikan. Seperti kata Imam Syafi’i, barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, ia harus siap menahan perihnya kebodohan. Syukurlah Syauqi bukan jenis orang yang menganggap remeh ijazah.