Rasa penasaran saya belum terpuaskan kalau pikir-pikir tentang Lontong Malam di Medan. Aneh, ganjil, sekaligus nikmat. Ganjil karena biasanya lontong dihidangkan pagi hari untuk sarapan. Nama ‘lontong’ pun biasanya identik dengan sarapan pagi, makanya kita tak perlu tambahkan kata ‘pagi’. Dan memang tidak perlu kita sebut Lontong Pagi.

Entah inspirasi dari mana orang-orang di Medan makan lontong waktu malam. Apakah penjual yang mulai uji coba lebih dulu, atau pembeli yang awalnya minta. Kita tidak tahu pasti munculnya lontong malam. Yang jelas, ia tak kalah nikmat dengan lontong yang dijual pagi hari.

Awalnya memang sedikit aneh, canggung, kok bisa ya kita makan lontong malam-malam. Panas pula. Mulanya, saya juga merasa kurang pas ketika makan lontong malam. Tapi lama kelamaan terbiasa juga. Tanpa disadari, pergeseran perilaku makan ini saya terima. Malah lebih dari itu, saya nikmati sebagai bagian dari keseharian.

Pergeseran perilaku makan ini bukan cuma soal jenis makanan, tapi juga cara kita makan. Kita terbiasa dan semakin butuh makanan panas. Sebelum ada penghangat nasi, orang makan nasi dingin, tak ada masalah. Setelah ada penghangat nasi yang magic-magic itu, kita enggan makan nasi dingin. Gejala ini muncul terutama di masyarakat kota. Di kota besar macam Medan ini, orang dimanjakan dengan sajian makanan panas oleh warung, kedai, dan penyedia makanan yang lain. 

Pagi-pagi, kita santap sarapan dengan makanan yang panas, misalnya lontong, nasi lemak, atau mie balap yang digoreng di depan mata kita. Siang hari, tentu makan makanan panas di rumah, atau di rumah makan, panas juga. Rasanya, makanan dingin kurang membangkitkan selera. Contohnya seperti makanan yang dimasak siang hari di rumah makan, yang kita kurang berselera kalau itu dijadikan santapan malam.

Begitulah selera kita untuk makan sesuatu yang panas, yang baru dimasak. Kedai-kedai atau warung pun menyediakan pula. Dan lama-kelamaan orang mulai terbiasa atau dibiasakan dengan makanan yang baru dimasak. Pergeseran ini makin jauh lagi karena bisnis makanan yang semakin berkembang. Cara kita makan pun jadi macam berwisata. Kata orang, wisata kuliner. 

Pinggir jalan jadi tempat yang ramai oleh warung-warung dengan tenda bongkar-pasang. Penjual pun membuat inovasi, mencoba hal baru, menawarkan makanan baru, cita rasa baru seperti ayam penyet, pecel lele, dan banyak lagi macamnya. Atau makanan yang tidak baru tapi dengan cara penyajian baru, seperti lontong yang disajikan malam-malam. Paling tidak, kalau tidak ada yang baru, pebisnis makanan pakai label baru atau embel-embel baru seperti ‘bakso cinta’, ‘ayam lepas’, ‘nasi goreng gila’, dan entah label ‘gila’ apalagi yang ditambahkan.

Dalam pandangan saya, kita bisa menerima lontong malam dalam suasana ini, dalam perubahan cara makan, perubahan selera, dan penyajian di warung pinggir jalan, atau bahasa kerennya, street food. Dalam ‘wisata kuliner’ kita disajikan macam-macam makanan. Kita dimanjakan untuk mencicipi makanan apa saja, untuk mengikuti selera, seliar-liarnya, asal punya duit. Ditambah lagi siaran wisata kuliner TV yang pembawa acaranya sering bilang mak nyus yang bikin lidah basah.

Penjual dan penjaja pun terus berinovasi, mencoba resep baru, jenis makanan baru, yang ‘aneh’, yang ‘gila’, misalnya mie goreng yang pedasnya berlevel, bertingkat-tingkat itu. Semakin ‘gila’, makin nyentrik, makin ‘aneh’, makin orang penasaran dan ingin coba. Orang pun ingin mengikuti selera sejauh-jauhnya, sampai batas kemampuan lidahnya. Kalau kita menyadari ini sih, lontong malam belum termasuk ‘gila’, cuma sampai nikmat aja. Kenikmatan yang bisa dicicipi di luar jadwal biasanya lontong disajikan.

Awang Lantang

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *