Cepat cepat ia mengayuh sepedanya. Jantungnya berdebar kencang tak karuan. Layaknya genderang yang ditabuh bertubi-tubi. Setelah sekian lama mengayuh, akhirnya Ngatino sampai juga pada ujung bukit Mahligai. Segera ia merayap, dan bersembunyi, serupa prajurit gerilya yang sedang mengintai pergerakan lawan.
Tampaknya Ngatino sudah mempersiapkan lubang kematiannya sendiri. Antara hidup dan mati. Pikirannya terguncang. Setelah satu minggu dibalik persembunyiannya, ia tak henti-hentinya mendengar suara tembakan. Ia lebih memilih mati sendiri tanpa harus ditodongkan pada dinginnya moncong RPG Bren ataupun senapan Chung. Jika ditanya pada dirinya, ia ingin sekali bunuh diri, mengubur dirinya hidup-hidup. Dan tak perlu masuk dalam daftar yang harus dieksekusi mati.
Nafasnya mulai terengah-engah. Fisiknya sudah tak kuat menopang beban gila kehidupan, akhir dari tragedi yang sulit ia cerna. Untuk saat ini, Ngatino seperti mayat hidup, yang terus-menerus mendapatkan pilihan melanjutkan hidup, atau memilih untuk mati. Hatinya terpenjara, pikiran dan nyawanya terancam. Sepanjang jalan menuju bukit Mahligai, ia hanya bisa berdoa agar tidak mati tertembak. Ia sadar betul, nyawanya sedang ada pada moncong senjata para prajurit itu.
Tidak berapa lama, ia mulai menangis, namun tak membiarkan tangisannya itu keluar mengusik dunia. Ngatino masih terus berusaha untuk menarik pedal kendali dirinya. Malam itu, hanya ada burung gagak yang menyaksikan pahit dan getirnya keadaan Ngatino.
Satu persatu, orang yang ia kenal sudah meregang nyawa. Jika ia ingat-ingat lagi cara kematian mereka, maka yang terjadi jutaan saraf pada bagian otaknya nyaris terputus semua, bagaikan kabel yang kusut dan tak lama disambar oleh amukan petir.
Berita tentang dirinya semakin menguat. Desas-desus menyatakan, bahwa Ngatino adalah biang keladi dari segala kerusuhan yang terjadi di kota. Ia disebut-sebut sebagai pimpinan dari organisasi paling dicari pada masa itu. Ia dianggap musuh negara dan layak untuk dihabisi. Situasi semakin kacau, sebab seluruh radio telah menyiarkan kabar bahwa pemimpin nomor satu negeri itu telah lengser dari tahtanya. Maka, seluruh hal yang berkaitan dengan sang demisioner, baik partai politik, organisasi masyarakat, atau siapa pun yang pernah terlibat bersamanya, akan dihabisi.
Bulan Oktober yang memanas. Pembakaran desa telah terjadi di mana-mana. Terutama desa yang dianggap sebagai basis dari organisasi terlarang itu. Kini, giliran desa Betsi yang menjadi sasaran.
Adzan Isya telah usai berkumandang. Terlihat para muda-mudi sudah mulai diangkut masuk ke dalam truk-truk mini. Dihadapan wajah mereka seakan telah mendapati penantian akhir. Mereka tinggal mempersiapkan jurang maut yang entah di mana akhirnya mereka berbaring, untuk menikmati liburan dan istirahat yang panjang. Antara surga dan neraka. Walaupun sebenarnya itu adalah urusan Tuhan, namun manusia kerap kali mendahului penghakiman.
Para orangtua menangis histeris, ketika mulai melepaskan kepergian anak perempuannya. Namun ada pula yang meludahi anaknya, diseret paksa keluar, dan menganggap anak anak mereka adalah aib yang tak perlu diberikan perlindungan. Harga diri jauh lebih penting daripada nyawa anaknya.
Beberapa memilih diam di rumah, sebab tidak masuk dalam secarik kertas lembar pendataan. Nama mereka tidak tercatut sebagai simpatisan organisasi terlarang.
Mereka yang tidak terdata itu, lebih memilih untuk mengunci seluruh jendela dan pintu rumah rapat-rapat. Layaknya bersiap untuk menghadapi terpaan badai besar. Tak henti-hentinya pula rapalan-rapalan doa mereka langitkan. Dalam keheningan itu, tak satu pun semut enggan bersuara. Hari merah yang berdarah. Tahun-tahun kehilangan nyawa.
Setelah wanita-wanita itu dikumpulkan, segera pula mereka dimintai keterangan. Mereka berasal dari lansia sampai daun muda. Pertanyaan pada mereka tentunya, seputar aktivitas mereka, sekaligus tentang sepak terjang mengapa mereka bergabung pada Lembaga Kebudayaan Merah. Dan hubungan mereka dengan organisasi terlarang.
“Mengapa kau masuk dan menjadi penari pada Lembaga Kebudayaan Merah? ” Tanya salah seorang prajurit pada Sundari.
“Aku memang berbakat menari sejak kecil, ibuku juga seorang penari, kami hanya mempertahankan kebudayaan dan tradisi dari leluhur kami. ” Jawab Sundari.
“Kalian semua adalah penghianat, dasar pelacur! “
Prajurit itu menendang wajah Sundari, dengan sepatu PDH miliknya. Sepatu itu kuat dan keras. Bagian depannya terbuat dari campuran besi. Sepatu yang membuat anjing terkaing-kaing jika menerima hantamannya. Segera perempuan itu tersungkur dari tempat berdirinya. Dan tidak berapa lama, mengucur darah pada bagian bibir dan hidungnya. Kepalanya memanas, ingin sekali Sundari melayang dibuatnya.
Perempuan yang masih berusia 28 tahun itu menahankan sakit yang teramat. Ia sudah memiliki jabang bayi, yang kurang lebih berusia sebulanan. Sundari sepertinya menjadi santapan pertama bagi mereka, para prajurit Kuda Liar. Sundari memiliki fisik yang indah, yang membuat para prajurit itu lebih mudah untuk naik birahi, dan terlalu cepat ngacengan. Sebelum ia dihadapkan pada dinginnya pistol besi, ia harus dihadapkan pada pistol kulit bajingan milik prajurit itu.
Segera mereka membawanya pada semak-semak tinggi yang berada tepat di sebelah pohon beringin. Mereka menjelajah seluruh mahkota yang Sundari punya. Tidak ada perlawanan dari perempuan itu, sepertinya ia pasrah akan nasib tak manusiawi, yang bakal menimpa dirinya. Ia percaya, bahwa binatang tetap lah binatang, dan tidak akan pernah menjadi manusia. Memang begitulah mereka digembleng untuk mendapatkan seragam kebanggan itu.
Ada satu, dua, bahkan tiga prajurit yang menidurinya. Para prajurit yang kalut atas gejolak birahi, dan haus akan persetubuhan. Setelah puas, suara tembakan pun terdengar dari balik semak-semak itu. Nyawa Sundari melayang. Tembakan itu tepat menyasar tengkorak kepalanya. Ia dikirim begitu cepat untuk keluar dari kefanaan dunia.
Mayat perempuan itu mereka buang ke dalam Sungai Ular. Suatu penderitaan yang paling menderita. Dan kebisuan yang membuat angin saja enggan untuk membisikkan dinginnya malam itu. Mereka semua adalah para prajurit yang selalu ditugaskan untuk menutup tiap lembaran kisah kehidupan.
Ngatino memandangi dari kejauhan. Pandangannya terasa kabur. Sebab embun air mata hadir lebih awal. Ia menyaksikan langsung, bagaimana maut menghampiri kekasihnya malam itu. Sundari telah pergi dengan fitnah yang bercap kan atas dirinya. Fitnah yang terus menerus dilayangkan oleh pak Komar sang kepala desa. Lidah apinya telah membakar seluruh kebohongan. Ia telah menyebarkan fitnah tentang seluruh aktivitas dari para pecinta seni dan kebudayaan, khususnya Lembaga Kebudayaan Merah, yang disebut-sebut memiliki kaitan langsung dengan organisasi terlarang itu.
Fitnah telah menjadikan orang-orang yang tidak bersalah terjerumus masuk pada kubangan kematian. “Lihatlah betapa liciknya ia, ia sedang cuci tangan di atas penderitaan. ” Tulis secarik kertas dari Sundari untuk Ngatino.” Ia berpesan bahwa jika Komar tidak memiliki data orang-orang yang terlibat, maka Komar sendiri yang akan menjadi tumbalnya. Ia dan keluarganya akan dibawa ke markas Kuda Liar, dan tentunya takkan pernah pulang lagi.
Ngatino jengkel, marah, dan tak ada yang lebih menyakitkan dari tidak ada kemampuan untuk berbuat apa-apa. Pada akhirnya, ia memilih untuk mengubur dirinya hidup-hidup setelah lubang kuburnya selesai. Ia ingin menyusul cita, dan cintanya.
Sebab di sana, ada bayi dalam perut mungil Sundari.