Engkol

Kejenakaan Logika Syauqi

Ahli psikologi membagi dua logika sederhana: logis dan pra-logis. Premis logis terkait pada hubungan A ke hubungan B memunculkan kesimpulan C. Sangat sederhana. Sementara pralogis punya premis yang juga sederhana, tapi unik. Hubungan A ke hubungan B berakhir pada kesimpulan: apa itu A? siapa B? Dua logika yang masuk di akal, tetapi berbeda pada pola pikir. Benarkah demikian?

Kira-kira begini, logika berpikir pertama adalah kebenaran yang diamini oleh banyak orang, khususnya para kaum intelektual. Jika ada pernyataan “Semua orang yang jatuh cinta masuk neraka, Syauqi telah 3 kali ditinggal cewek yang dicintainya” maka kesimpulan didapat Syauqi akan di neraka dalam tiga kehidupan. Barangkali begitu. Persoalannya kemudian adalah bahwa kaum intelektual suka mengutak-atik premis-premis tersebut untuk memunculkan berbagai kesimpulan. Mengapa Syauqi bisa ditinggal perempuan? Sampai tiga kali. Apakah neraka bertingkat tiga atau bersekat? Ribet.

Dengan contoh logika pertama tersebut, rupa-rupanya logika yang kita pahami sangat akademis. Berbagai kaitan fenomena atau peristiwa-peristiwa yang ada dapat mengarahkan pada kesimpulan yang umumnya menjadi hipotesa atau bahkan teori. Leibniz sendiri menyebutkan bahwa logika akan menyelamatkan dunia. Sebab yang terkandung di dalamnya adalah kebenaran hakiki, kata Leibniz.

Jika diuraikan bahwa logika adalah penyederhana fenomena. Tujuannya untuk dipahami setiap kalangan. Persoalannya adalah yang kemudian, manusia sangat suka mengotak-atik premisnya atau bahkan kesimpulannya. Tentu sesuai seleranya (dalam hal ini kepentingan). Willard Quine sendiri menyebut bahwa kita sering melebih-lebihkan kadar pemahaman kita. Sehingga yang terjadi adalah memaksa suatu tema menjadi tidak karuan. Contoh semacam ini bisa kita lihat pada acara perdebatan televisi yang pembacawa acaranya serak-serak susah bicaranya (ILC).

Pada akhirnya, logika yang semestinya terbangun dan dipahami awam justru menimbulkan kebingungan. Syauqi orang Medan tidak paham sama sekali bukan apa yang dicakapkan, tapi sebenarnya nonton apa pada acara perdebatan televisi dimaksud. Persis seperti yang para psikolog katakan bahwa masyarakat awam seperti Syauqi memahami pemahaman yang pra-logis. Acara ILC itu apa sih sebenarnya?

Untungnya apa yang dipahami oleh Syauqi mendapat pengakuan dari pakar bahasa semacam Noam Chomsky, bahwa pada dasarnya bahasa terbentuk secara universal. Artinya apapun yang dibicarakan orang, apapun itu, kita punya respon yang berkaitan pada pembicaraan itu. Meskipun pada akhirnya tetap saja yang terjadi adalah berbagi kebingungan. Setidaknya kita menjadi makhluk yang berpikir, kalau mau merujuk pada Rene Descartes.

Bahasa Syauqi

Larry Gonnick menyebutkan bahwa pada mulanya otak manusia hanyalah “otak reptil”. Pola pikir yang sederhana dan tentu saja logis terbentuk nyata sesuai dengan wujud kinestetisnya. Seperti yang pernah Jerome Bruner bilang bahwa pola pikir otak manusia tersusun atas tiga macam: kinestetis, ikonis, dan simbolis. “Otak reptil” masuk ke ranah kinestetis, artinya pemahaman yang didapat dari perbuatan. Saya memperkirakan bahwa Syauqi cenderung menggunakan pemahaman kinstetis. Sebab pemahaman kinestetis dilakukan secara langsung tanpa tedeng aling-aling. Sesuai kondisi yang dirasakan. Pada maqom tertinggi Syauqi mampu melakukan kinestetis dan simbolis secara sekaligus lalu dibalut pada pemahaman pra-logisnya. Contohnya: pada pembahasan seorang perampok yang memiliki anak perampok, dengan santai Syauqi akan berkata, “Pohon jatuh tak jauh dari buahnya”. Atau “Lubang yang jatuh pada keledai yang sama”. (Silahkan tambah lagi, saya yakin bisa dibuat oleh Syauqi).

Tampaknya itu hanya pribahasa yang dibolak-balik. Akan tetapi tiada yang bisa memiliki ketepatan dan kecakapan yang begitu presisi selain Syauqi yang berbicara. Sehingga orang-orang bisa terbahak-bahak, terpengaruh, dan memaksa endorfin dalam tubuh keluar tanpa mengonsumsi cokelat. Oleh sebab itu, Syauqi punya potensi besar dalam beragam profesi, sebagai ilmuan, pengacara, guru, ketua ormas, anggota dewan, bahkan gubernur. Perlu diketahui Syauqi orang Medan, Medan adalah Syauqi.

Pola pikir kinestetis, simbolis yang berpadu pada model pra-logis pasti dapat membingungkan Roman Jakobson yang telah membakukan emotif, konatif, referensial, fatis, puitis, dan metalingustik untuk ungkapan bahasa. Mestinya perlu ditambah satu lagi sebagai syauqistis. Pada akhirnya yang terjadi kita hanya melihat kejenakaan Syauqi, dibandingkan ide-ide dan simbol yang tersembunyi dari dirinya. Saya yakin Dan Brown akan tertarik dari pikiran misterius apa sebenarnya dari Syauqi, sang pewaris tanah Al-Quds. Yang jelas, pola pikir semacam itu bukan diawali oleh Syauqi. Sebelumnya kita mengenal The Simpson dan Spongebob yang menghadirkan “logika-logika terbalik” yang sebenarnya adalah pra-logis. Tentunya menimbulkan tawa, tapi saya merasa ketika menertawainya justru saya menertawai diri sendiri. Dari lubuk hati yang paling dalam, tanyalah pada diri sendiri, bukankah kita selama ini juga berpikir secara pra-logis?

Syaiful Anwar

Penulis adalah pria tertampan di Komunitas Kita Baca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *