Mejeng

Jejak Islam di Aceh: Sebuah Perjalanan Singkat

Dalam jurnal yang ditulis oleh Saifuddin Dhuhri yang berjudul “Aceh Serambi Mekkah (Studi Tentang Peran Ibadah Haji dalam Pengembangan Peradaban Aceh)” mengutip dari buku Bustanussalatin karangan Nuruddin Ar-Raniry, menjelaskan bahwa Aceh merupakan tempat untuk mempelajari serta memperdalam ilmu agama khususnya mengenai rukun haji. Ketika  bekal sudah mencukupi yang ditandai dengan pemberian ijazah maka orang tersebut diperbolehkan menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Oleh karena itu, Aceh dikenal dengan nama Serambi Mekkah.

Islam mulai masuk ke Aceh pertama kali di Pereulak atau Perlak. Masyarakat Aceh sangat menerima ajaran Islam yang dibawakan oleh pedagang-pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ali Hasjmi dala bukunya Bunga Rampai Revolusi Dari Tanah Aceh, bahwa sebuah nakhoda Khalifah dari Arab, Persia dan Gujarat mendarat di Perlak tepatnya di pantai Utara pulau Sumatera. Menurut pengamatan para nakhoda itu, telah berdiri kerajaan Hindu-Buddha penduduknya masih menganut kepercayaan Hindu, Buddha dan dinamisme. Para nakhoda tersebut mengajarkan kepada penduduk mengenai cara berdagang dan bertani yang baik serta berumah tangga yang meyejukkan. Penduduk setempat merasa cocok dan menerima cara-cara yang diajarkan oleh mereka, setelahnya para nakhoda mengatakan bahwa cara-cara seperti itu adalah ajaran dari Nabi Muhammad.

Begitulah masyakarat Aceh menerima ajaran-ajaran Islam yang dirasa lebih baik, sehingga Aceh sampai saat ini mayoritas agamanya adalah Islam, dan hanya sepersekian persen agama non-muslim, seperti protestan dan katolik. Ini menurut pengamatan yang saya lakukan dari perjalanan lima hari di kota Banda Aceh, sebuah perjalanan yang sangat singkat. Namun, sebelum sampai di Banda Aceh, saya dan rombongan Habib Haikal Alaydrus sempat singgah di Perlak untuk berziarah ke makam pendiri Kesultanan Islam pertama di Asia Tenggara bernama Sultan Alaiddin Said Maulana Abdul Aziz Syah yang berkuasa selama 225 H-249 H atau 840 M – 864 M.

Saat berziarah, doa dan al-Fatihah serta selawat nabi yang dikhususkan kepada si mayit terus berlantunan. Setelahnya, Habib Haikal menjelaskan tentang masuknya Islam pertama kali di Aceh dan peran Sultan Alaiddin Said Maulana Abdul Aziz Syah dalam menyebarkan agama Islam sekaligus  pendiri kerajaan Islam di Perlak. Saya juga sempat mendengar ada narasi penolakan terhadap titik nol peradaban Islam di Barus.            

Jika kita melihat data-data sejarah mengenai titik nol peradaban Islam, mengutip dari tulisan Misri A. Muchsin berjudul Kesultanan Peureulak Dan Diskursus Titik Nol Peradaban Islam Nusantara, menjelaskan adanya kedatangan pengikut Ali yang disebut Alawiyin dari Arab ke Perlak. Salah satu pengikut tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir bin Zainal Abidin bin Husain bin Ali Bin Thalib. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat Perlak serta Maharaja Syahir Nuwi, bahkan ia dikawinkan dengan dengan adik kandung Maharaja Syahir Nuwi bernama Puteri Makhdum Tansyuri. Kemudian, mereka dikaruniai seorang anak bernama Abdul Aziz yang nantinya dikawinkan dengan Puteri Meurah Makhdum Khudawi atau Puteri Peureulak.

Dok. Fachri Syauqi

Setelah berziarah ke makam tersebut, rombongan Habib Haikal melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di Idi Raya, kami berhenti sejenak untuk makan siang dan mahalul qiyam. Tradisi mahalul qiyam merupakan ritual pembacaan selawat sebagai bentuk penghormatan kelahiran Nabi Muhammad. Biasanya tradisi ini dilakukan dengan berdiri sambil mendendangkan selawat dan doa-doa diiringi dengan tabuhan rebana. Saya belum pernah mengikuti tradisi ini dan bacaan selawatnya pun kurang familiar, jadi saya hanya menggerakkan mulut tanpa mengeluarkan suara J.    

Mahalul qiyam berlangsung sekitar 30 menit. Setelahnya kami bergegas ke tempat Habib Muhammad yang jaraknya tidak jauh. Habib Muhammad merupakan seorang ulama yang mendirikan pesantren dan masjid yang biaya pembangunannya tidak tanggung-tanggung, sebesar 1 miliar. Ketika sampai, saya melihat kemegahan pada pesantren dan masjid yang dibangun begitu indah. Rombongan kami singgah dan salat di rumah Habib Muhammad. Selesai salat maghrib, kami menyalam Habib Muhammad, saya melihat beliau yang sudah berumur 100 tahun lebih.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Lhoksumawe. Sepanjang perjalanan saya melihat masjid-masjid dan IAIN Lhoksumawe yang megah. Rencananya kami akan mengunjungi satu situs makam habaib lagi, tapi berhubung sudah larut malam, akhirnya Habib Haikal memutuskan untuk menginap di salah satu penginapan di Lhoksumawe.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan mengunjungi salah satu ulama Aceh, yaitu Muhammad Amin yang akrab dipanggil Abu. Saat berkunjung, saya melihat Habib Haikal yang bersimpuh dihadapan Abu yang sudah tua, gaya Abu yang menunduk menunjukkan seorang yang rendah hati menyambut baik kedatangan kami. Habib Haikal memohon doa restu dari Abu akan perjalanan kami ke Banda Aceh dengan selamat sampai tujuan.

Sesudah mengunjungi Abu, siangnya kami bergegas untuk berziarah ke makam Habib Bogak. Habib Bogak bernama lengkap Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh bin Ahmad al-Habsyi bin Muhammad al-Habsyi. Menurut cerita yang dituturkan oleh Habib Haikal, Habib Bogak merupakan orang yang paling dermawan. Kini, saya mengetahui bagaimana jamaah haji yang diberangkat dari Aceh diberi 5 juta sekembalinya dari melaksanakan ibadah haji. Ternyata, ada sumbangsih dari Habib Bogak yang mewaqafkan tanahnya di sekitar Masjidil Haram untuk dibangun hotel. Nah, hasil dari sewa hotel tersebut yang nantinya akan diberikan kepada jemaah haji dari Aceh.             Selanjutnya, kami berziarah ke makam Sultan Malikussaleh. Lokasi makam berada di Desa Beringin, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, penduduk lokal menamakannya daerah Blang Mee yang diyakini menjadi pusat kerajaan Samudera. Dalam tulisan Cagar Budaya Sebagai Salah Satu Objek Wisata Religi di Kabupaten Aceh Utara (Makam Sultan Malik As-Salih Dan Ratu Nahrasiyah) yang ditulis oleh Asmanidar, makam tersebut memiliki inskripsi “inilah Kubur almarhum yang diampuni dan taqwa, yang menjadi penasehat, yang dicintai, yang berketurunan mulia, penyantun sebagai sultan pertama yang bergelar dengan sultan Malik As-Salih al-Fakih, yang wafat pada bulan Ramadhan tahun 697 H atau 1297 M.” [Dyah Hidayati: 2010]

Dok. Fachri Syauqi

Selepas berziarah, kami mengunjungi salah satu pesantren di Samalanga. Pesantren ini memiliki ribuan santri yang menyambut kami. Suasana khas pesantren sangat terasa ketika kami mengelilingi segala sudut ruangan. Mulai dari kelas, masjid, aula, dan kamar mandi. Ketika maghrib tiba, ribuan santri padat mengisi masjid untuk melaksanakan salat maghrib. Sayangnya, kami tidak bergabung salat maghrib bersama mereka, kami melaksanakan salat maghrib di aula yang khusus disediakan untuk kami karena akan melanjutkan perjalanan.

Masih dalam suasana jalan-jalan, malamnya kami lanjut mengunjungi pesantren di Lhoksumawe. Para santri dan warga sekitar sangat antusias dalam menyambut Habib Haikal beserta rombongan dari Medan. Kami dijamu dengan hidangan makan malam. Kemudian, mendengar tausiyah Habib Haekal pada peringatan maulid nabi. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan menuju Banda Aceh.

Kami tiba di Banda Aceh pukul 3 pagi. kami beristirahat sejenak untuk melaksanakan salat Subuh berjama’ah. Keesokan harinya, Jum’at, kami berziarah ke makam TGK. Dianjong yang bernama lengkap Habib Abu bakar bin Husen Bilfaqih dan istrinya Syarifah Fatimah binti Sayid Abdurrahma Al-Aidid. Habib Haikal menceritakan tentang penyebaran Islam di Aceh oleh Tgk. Dianjong, bahwa beliau ketika berangkat untuk menunaikan ibadah haji, beliau sempat berziarah ke makam rasulullah, dan beliau bermimpi bertemu dengan rasulullah yang mewasiatkan untuk berdakwah di Aceh, rasulullah memberikan sebuah papan dengan tujuan apabila beliau tidak bisa menyelesaikan suatu perkara maka rasulullah yang akan menjawab perkara tersebut yang ditulis melalui papan tersebuh, serentak para rombongan membaca subhanallah.

Ziarah dilanjutkan ke makam Syiah Kuala yang berlokasi di Deah Raya, Kec. Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Aceh. Syiah Kuala merupakan seorang ulama yang bernama lengkap Abdurrauf as-Sinkili, mengutip Azyumardi Azra, nama asli beliau adalah Abd al-Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. Menurut Hasjmi, dalam bukunya Azyumardi Azra berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad VII & VIII, al-Sinkili seorang ulama yang berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai di akhir abad ke-13. [Azra: 2013]

Setelahnya, kami bergerak ke masjid Raya Baiturrahman untuk melaksanakan salat Jum’at. Tepat pada tanggal 25 Desember 2020, khatib Jum’at menyampaikan larangannya menyampaikan selamat natal kepada umat kristiani. Memang masyarakat Aceh terkenal ketaatannya dalam menjalankan syariat Islam. Di kota Banda Aceh didominasi oleh agama Islam sedangkan umat non-muslim sedikit sekali. Saya hanya melihat tiga gereja yang berdiri di kota ini, dua diantaranya merupakan gereja protestan dan satu gereja katolik buatan Belanda.

Saya sempat mendapatkan informasi dari kawan, ketika umat Kristiani membangun rumah ibadah di Singkil, masyarakat Aceh menolak dan membakar gereja tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan kota Medan yang memiliki masyarakat majemuk. Tentunya toleransi dimiliki oleh masyakarat kota Medan dibanding masyarakat Aceh yang cenderung homogen.

Khotib Jum’at lebih menyarankan kepada jama’ah untuk memperingati haul tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004. Sepertinya memori kolektif terhadap peristiwa ini lebih mendapatkan perhatian karena ada unsur agama yang mempengaruhinya. Misalnya, keajaiban masjid Baiturrahim yang berdekatan dengan pelabuhan Uleelheue yang tidak hancur terkena tsunami dahsyat pada saat itu. mukjizat akan kebesaran tuhan dianggap berperan besar pada peristiwa yang meluluhlantakkan kota Banda Aceh.

Keesokan harinya, sabtu, 26 Desember 2020, kami berangkat ke desa Lamannyang untuk memperingati haul tsunami Aceh. Lantunan salawat dan doa-doa terus bergema. Setelah beberapa jam, waktu sudah menunjukkan salat zuhur, kami melaksanakan salat zuhur berjama’ah. Suguhan kari kambing telah disediakan untuk makan siang sehingga setelah selesai salat kami pun langsung menyantapnya.

Saya bercengkerama akrab dengan para majelis pengajian Habib Haikal, sekaligus bertanya tentang pengajian tersebut. Rata-rata mereka baru bergabung dengan majelis pengajiannya Habib Haikal. Hal yang paling menarik menurut saya, ketika mereka menjelekkan golongan salafi wahabi. Mereka tidak sepaham dengan salafi wahabi yang menolak ziarah kubur dan pengkultusan terhadap para habaib.

Saya juga menanyakan tanggapan mereka mengenai Prof. Quraish Shihab, mereka menjawab bahwa Prof. Quraish adalah syiah dengan tafsir al-Mishbahbnya yang sesat, padahal mereka belum pernah membacanya sama sekali. Jika kita menolak dengan dalih argumentative yang jelas tentu sah-sah saja, tapi mereka langsung menjustifikasi Prof. Quraish yang sangat produktif dalam hal akademisi. Begitulah sekilas perjalanan saya selama di kota Banda Aceh dengan kegiatan mengunjungi berbagai makam pendiri kesultanan. Rihlah sejarah sangat berguna untuk mengurangi beban tugas kuliah saya selama ini. Akhir kata, terima kasih dan jangan lupa piknik.

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *