Kalau dengar nama Kota Medan, yang muncul dalam benak kita adalah imej metropolitan. Tentu kalau kita lihat wajah kota dari jalan-jalan utama. Ruas jalan yang macet, penuh kendaraan, yang diapit gedung dan pertokoan di kanan dan kiri. Tapi, adakah wajah kota yang lain, yang beda dari potret itu? Misalnya, gambaran tentang rona yang lain, nuansa yang tak sama dengan jalanan sibuk dan bising. Bisa saja, kalau kita lihat dari sisi yang lain, dari jaringan jalan belakang, dari gang.

Selama kuliah di Medan, saya lebih suka bepergian ke satu tujuan lewat gang, bukan jalan besar. Awalnya untuk menghindari polisi karena tidak memenuhi syarat berkendara yang layak. Alasan lain ialah untuk menghindari kemacetan. Tapi itu alasan yang mungkin sama dengan banyak pengendara lain yang mencari jalanan yang lengang. Bagi saya, berjalan kaki atau berkendara lewat gang, punya kenangan khusus sejak awal kedatangan ke kota ini. Sebagai seorang remaja yang baru lulus SMA, pendatang baru, mahasiswa baru, saya diajak jalan-jalan oleh kawan-kawan sekampung yang lebih dulu jadi anak Medan. 

Mereka mahasiswa yang hidup pas-pasan, tinggal di kos-kosan. Saat malam kami jalan-jalan dari gang ke gang lainnya, mengunjungi kawan yang lain, ke Wartel untuk nelpon keluarga, atau sekadar beli jajanan. Suasana baru yang berkesan. Ada anak kos, mahasiswa yang makan ramai-ramai di warung kecil. Ada yang shalat di masjid. Ada yang lalu lalang naik kereta atau jalan kaki. Terasa dekat. Ini beda sekali dengan ruas jalan sibuk, macet, dan bising, yang sesekali kami lihat tepat di ujung gang. Suasana ini yang membekas dan nampaknya punya kesan mendalam. Wajah Medan ini yang menyejukkan, bukan yang metropolitan. Wajah ini seperti wajah kampung-kota, yang ramah. Sisi lain dari kota yang angkuh.

Sisi yang angkuh dari kota ini bukan untuk bermukim warga. Ia tempat pengunjung sementara: hotel, mall, dan kantor. Sisi kampung yang ramah, sebaliknya, tempat kebanyakan orang tinggal. Di sisi yang angkuh ini jalanan padat, orang berpacu, mengejar waktu, saling telikung. Tukang becak, tukang angkot, pengendara kereta, mobil, semua berlomba. Di wajah yang ini pula, gedung-gedung besar dipagari, dijaga tim security, supaya tidak sembarang orang bisa masuk. Di sisi kampung dari kota ini orang jalan, naik kereta dengan pelan, penjual sate lalu lalang, anak-anak main bola, ibu-ibu bercerita. Hanya kadang-kadang, kendaraan dari jalan besar pun masuk dan mengganggu kenyamanan. Sepuluh tahun tinggal di Medan bukan waktu yang lama, tapi juga bukan singkat. Sepanjang itulah saya tinggal di rumah yang terletak di gang.

Gang sudah tentu istimewa bagi saya, dan mungkin bagi banyak orang. Ia menampakkan sisi kehidupan orang banyak. Ia tempat hidup, bukan tempat berpacu. Gang menunjukkan sisi real kehidupan orang kebanyakan. Sementara sisi metropolitan sangat artificial, pekarangan depan yang penuh hiasan, macam etalase toko atau warung makan. Tapi itu hanya untuk pertunjukan, mengesankan kota yang indah. Bukan tempat hidup, bukan tempat bercengkrama.

Kalau memakai logika ‘pembangunan’, ruas jalan besar tidak untuk dihilangkan, malah bisa jadi lebih besar, makin lebar. Namun gang bisa saja hilang, dihilangkan atau digusur demi pembangunan gedung besar dan megah. Apalagi kemajuan biasanya diukur dengan tambahnya bangunan yang megah, hotel, mall, bukan dengan tambahnya gang. Boleh dikata, gang tidak digunakan sebagai dalil pembangunan atau proyek yang membuka lapangan kerja. Rehab gang dengan pengecoran, atau pasang paving block, bisa dikerjakan secara mandiri oleh warga. Sebaliknya, orang-orang elit, ekonom, berkata, pembangunan jalan raya, jalan tol, gedung hotel atau mall, bisa membuka lapangan kerja. Mereka adalah indikator pertumbuhan ekonomi, kalau mau menilai dengan cepat dengan bukti yang tampak oleh mata. Kalau begitu, apakah tumbuhnya metropolitan harus mengorbankan gang? Bukankah gang adalah tempat hidup kebanyakan warga di sebuah metropolitan. Seperti kampung yang dirindukan oleh para perantau, gang adalah di sisi kampung dari sebuah kota, rumah bagi para warganya. Sulit kita bayangkan, sebuah metropolitan yang gemerlap, tanpa sisi kampung yang sejuk dan akrab.

Awang Lantang

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *