Kata “hotel” di kota kecil cenderung ditafsirkan negatif. Walaupun kenyataannya memang ada fakta pendukung yang membuktikan bahwa ada jenis-jenis pekerjaan yang diasosiasikan negatif terkait keberadaan hotel. Di Medan, hotel bukan persoalan. Tapi di kota-kota satelit di sekitarnya, hotel adalah persoalan. Bagaimana tidak, untuk mendapatkan “hotel sehat” di kota-kota di Langkat ternyata begitu sulit. Tunggu, ini perlu diluruskan. Sehat yang dimaksud ya bukan hotel “esek-esek”. Saya berani bertaruh bahwa para pelancong khususnya peneliti selalu kesulitan mendapatkan hotel saat berada di Langkat. Saya termasuk orang yang kesal dengan kenyataan itu.
Pernah pada suatu saat, saya dan tim melakukan riset lapangan ke Stabat, Tanjung Pura, dan Besitang. Saat di Besitang hari sudah sore. Kami harus bermalam dan mencari penginapan. Upaya pun dilakukan mulai dari browsing di Google, namun tidak banyak informasi yang cukup meyakinkan dan lokasi yang tidak pas. Kemudian browsing ke aplikasi penyedia jasa akomodasi terkemuka, sebut saja Traveloka, OYO Hotel, RedDoorz, Agoda, dan sejenisnya. Hasilnya, nyaris semua rekomendasi mengarah ke Medan, Binjai ada beberapa opsi, Stabat nihil, Tanjungpura nihil, Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu nihil. Entah berapa helai rambut gugur ketika saya menggaruk-garuk kepala. Tapi ada satu hotel di Besitang yang sepertinya perlu dicoba walaupun cukup jauh. Kamar langsung kami pesan dan bayar lewat aplikasi. Kami pun meluncur hingga tiba di sana hari sudah mulai gelap.
Kesan awalnya begini. Areal hotel cukup luas, beberapa ruas jalan memisahkan beberapa blok kecil deretan kamar-kamar. Ya, sebagaimana ciri hotel melati sampai bintang dua lah. Tapi ada beberapa hal unik yang belum pernah kami lihat di tempat lain: tirai. Ini menarik sekali, ada deretan kamar dengan tirai kain cokelat, bahkan sopir kami terbelalak matanya melihat tirai. Ya, tirai atau gorden seperti yang ada di jendela rumah kita. Tirai yang indoor. Tapi tirai di sana bukan menutupi jendela, melainkan menutupi teras, bahkan saking besarnya bisa menutupi mobil yang diparkir. Bayangkan itu adalah tirai outdoor saudara-saudara! Pemandangannya tidak hanya itu. Sejumlah remaja perempuan duduk-duduk bercengkerama dan wara-wiri di depannya. Kami saling menangkap ekspresi wajah satu sama lain seakan-akan punya prasangka yang sama: “Wah, gak betul ini!”. Hanya pak sopir seorang saja yang berani nyeletuk dengan kalimat itu sambil geleng-geleng kepala. Kami pun diam tanda setuju.
Pilihannya hanya dua: stay or leave. Setelah melalui pertimbangan yang dilakukan dengan sangat canggung dan diliputi kembimbangan. Kami pun memutuskan untuk menginap. Toh sudah dibayar juga. Akhirnya kami pilih tiga kamar tanpa tirai tepat di depan deretan kamar dengan tirai. Saya dan Ipoel Tamvan sekamar. Kami duduk di teras dan menatap teras-teras bertirai di depan kami. Seperti dua pasukan saling mengintai di medan perang. Tentunya kami tidak melewatkan pemandangan yang sedang wara-wiri, tapi agak curi-curi lah. Ha ha ha. Kami sempat iseng ngirim foto ke grup WA kesayangan. Percakapan di grup jadi seru sampai asap rokok gak berhenti mengepul. Menyenangkan sekali “sebat” sambil mengghibah tentang apa yang ada di balik tirai, mulai dari mobilnya hingga sosok-sosok yang keluar masuk di sana. Tidak tergambarkan suasana batin kami malam itu. Kami hanya mencoba rileks dan santai karena memang butuh tempat untuk rehat.
Malam itu, kami memutuskan untuk tidak berkeliling melihat suasana sekitar dan tetap duduk santai di teras sampai menjelang tidur karena dua alasan: malas dan takut godaan. Wajar kan? Kami saling menguatkan dan meneguhkan iman sebagai sesama muslim, juga karena dia sedang LDR dengan istrinya dan saya waktu itu masih jomblo. Mudah-mudahan istri-istri kami tidak membaca tulisan ini. Ha ha ha.
Menjelang siang hari saat kami check-out, suasana di sana hening. Kami berpamitan dengan tirai outdoor yang sedang dibelai-belai angin. Bertolak ke Stabat kami sedikit mengobrol tentang kesan masing-masing terhadap hotel itu. Ujung-ujungnya ada banyak hal yang mengocok perut hingga suasana di dalam mobil menjadi riuh. Tidak ada sedikitpun kebencian kami kepada ekosistem di hotel itu. Kami hanya menalar korelasi sebab langkanya hotel dengan watak, kebiasaan dan perilaku masyarakat di Langkat. Sepertinya menarik jadi topik riset. Tapi apa pentingnya ya? Takutnya terlalu sensitif untuk dibahas apalagi jika dipublikasikan. Hanya tirai outdoor yang layak untuk dikenang.