Langkahku kian berat ini hari. Entah kenapa perasaan ini, tak enak. Malas pun bagai tak ingin melepaskan pelukannya di pagi yang remang ini. Di depan pintu rumah aku berdiri tegak, memandang lepas ke arah perkebunan kelapa sawit, sambil menunggu datang terang dari kaki langit sebelah timur. Hijau, nampak segar. Sejuk, dibasahi bintik embun. Begitulah rupa dedaunan kebun tempat ayahku bekerja dulu, empat tahun lalu, sekarang sudah di-PHK, tanpa pesangon.
Dari rumah sebelah kanan, terdengar suara seorang ibu membangunkan anaknya, bersiap ke sekolah. Terbayang olehku anak pemalas yang menggeliat badannya itu, membujur di peraduan, menarik selimut. Dan aku, harus menyelesaikan agenda rutin, seperti biasa, mencari sesuap nasi, menyambung nyawa. Rasa-rasanya mau muntah saja aku melihat kenyataan ini. Tapi walau berat, aku paksakan, untuk makan.
Dari rumah, kutempuh jarak lebih dari lima kilometer ke barat. Dengan becak, aku berangkat, penuh harap. Becakku melaju dengan yakinnya, menuju perempatan, di pinggir kota. Sudah dua tahun, sejak kepergianku dari sekolah, kelas lima SD. Di perempatan jalan ini, setiap harinya, tanpa hari libur seperti pegawai negeri, kupetik gitarku sekedar saja. Karena aku tau, mereka juga sekadar memberi, tak ikhlas.
Di persimpangan ini, ‘Simpang Aksara’ kata orang. Aku bersama adikku yang baru satu tahun bergabung denganku. Hah, ternyata adikku mengidolakan aku karena keman-dirianku. Tidak seperti teman-temanku, yang tahunya hanya menodong orangtuanya, bayar uang buku katanya. Aku juga sudah tahu sejak lama, kalau uang buku sekolah mahal, semakin mahal lagi sejak kabarnya sekolah digratiskan. Gara-gara itu sebenarnya aku tinggalkan sekolah. Bagiku tak ada yang gratis di dunia ini, persetan dengan gratis.
Jam enam pagi, setiap hari di perempatan ini, aku harus sudah bersiap, beraksi pasang muka memelas, seperti orang yang tidak makan tiga hari. Tanpa alas kaki, bajuku juga rombeng, sobek, lusuh, bau, lengkap dengan segala atribut kegembelan. Adikku juga seperti itu, mengikuti aku, idolanya. Bagiku dia tak salah, memangnya hanya artis yang boleh diimami dalam setiap lekuk tubuhnya, setiap jengkal potongan pakaiannya, gaya rambutnya, bahkan kesehariannya. Dasar, manusia semakin aneh, mengikut tanpa tujuan, hanya mengikut, membebek. Aneh, tidak seperti adikku.
Seperti biasa, pagi ini tetap macet, dan aku senang itu. Karena macet membawa berkah, aku bisa berlama-lama, hingga tak satu pengguna jalan kulewatkan, tentunya dengan dawai-dawai gitarku. Semakin macet, semakin baik, semakin berkah, rejeki pun banyaklah. Siapa suruh melanggar aturan. Dasar pengguna jalan, egois yang diperturutkan. Siapa yang tidak mau cepat. Atau ini akibat keserakahan. Ya, jalan tetap, tapi kendaraan semakin bertambah, macetlah. Itu juga akibat pemerintah, tidak membatasi pemilikan kendaraan, mana kredit makin mudah, gengsi makin tinggi, semua jadi ingin unjuk gigi, naik mobil pribadi. Itulah kotaku, kotanya orang serakah. Tapi dari cerita yang aku dengar, kota ini mau jadi kota metropolitan kalau tidak salah. Hah, mana bisa, kalau aku saja belum pensiun dari pekerjaan ini, tidak adil, memang serakah.
“Anjar…”. Seperti suara adikku. “Kesini!”, sambil melambaikan tangan adikku me-manggil, seperti tak sabar. Tapi aku tetap saja tak perduli. Disini, searah dengan Jalan Aksara, tapi ini jalan pancing, ya, penghabisan jalan Pancing, dipisahkan oleh jalan Letda Soedjono, yang juga searah dengan Jalan M.Yamin. Keempat jalan ini bertemu, dan saling memotong, tapi tetap tak adil, karena nama simpang ini Aksara. Si Pancing, Si Yamin, Si Letda Soedjono, kalah. Memang, ketidakadilan berserak di sembarang tempat.
“Anjar…”. Panggilnya sekali lagi. Aku tetap tak perduli. Disini teduh, di pemisah dua arah berlawanan dalam satu jalan, di bawah lindungan dedaunan pohon jalanan. Maklum, kami sudah lama saling mengenal, jadi sesekali aku bisa bernaung di bawahnya, melepas penat.
“Anjar….”. Panggilnya lagi. Kali ini beda, aku bisa lihat dari lambaian tangannya. Lagi pula, antrean di seberang sana panjang, tepat di depan sebuah mall, yang sekalipun aku belum pernah berbelanja di dalamnya. “Cepat…!”. Aku harus kesana, sepertinya nampak gitar adikku memberitakan sesuatu yang baik.
Dengan cepat aku berlari menuju adikku, dalam hati aku berkata: aku harus adil dalam bekerja, tak baik kutinggalkan adikku sendiri. Kalau bagian mau sama, kerja juga harus sama. Begitulah aku, dalam bekerja. Andai semua pegawai negeri seperti itu, pengabdian-nya tulus, pasti tidak seperti ini negeriku.
Tanpa berpikir panjang akupun langsung memainkan gitar. Berdiri di depan pintu angkutan, akupun bernyanyi, kali ini tidak sekadar. Di tengah-tengah nyanyian lagu yang sedang masyhur di kalangan pemuda ini, kupandangi lekat-lekat setiap penumpang. Teliti aku memandang, ya, semua penumpang, kadang matanya kupandang. Dari mataku kusampaikan salam ayahku yang sedang bercucuran keringatnya, mengayuh becak. Juga kusampaikan salam ibuku, yang sedang bermandi air sabun cuci di rumah majikan.
Belum selesai lagu, sudah banyak yang memberi. Barangkali mereka terima salam kedua orang tuaku. Hmmm…, jitu juga mata sayu dan wajah senduku. Ya, itulah pemberian Tuhan. Tapi yang paling ampuh itu salam orang tuaku, bukan lagu.
Penat juga menjelang siang ini, tapi aku puas, tunai sudah keadilan tadi. Walau kecil, tetap saja adil. Huh, kubuang nafas ku sampai habis udara kotor dalam paru. Udara dari knalpot angkot busuk yang tak layak pakai lagi. Aku pun lemas, seperti nak kusandarkan saja tubuhku di batang pohon tadi. Dari tempatku berdiri, di depan mall yang tak ramah ini, kulihat ranting dan daun pohon di seberang sana memanggilku, sepertinya mereka ingin melindungi aku, ramah, sangat ramah.
Sambil menungu siang, aku pun kembali ke bawah pohon itu, kali ini, bersama adikku. Menunggu tengah hari, kemacetan kedua dalam sehari. Kami bersandar sambil setengah tidur, berjaga, awas, dari siapa saja yang ingin mengambil hasil jerih payah kami. Tidak banyak, cuma lima ribu.
Udara panas mulai terasa menusuk kulit, sudah tengah hari. Kulihat langit, begitu cerah, biru, tak ada sedikitpun awan-gemawan yang putih. Lenyap. Tepat berada di atas kepala, matahari dengan gagah bersinar, cerah, tiada penghalang. Telah kusapa matahari, langit, awan tidak, aku pun menunduk, pandanganku jadi hitam. Perlahan mulai pulih, dan kuperhatikan sekitar, adikku disebelah kiriku, masih bersandar. Kualihkan pandangan ke jalan. Astaga, antrean panjang. Walau berpikir rejeki bakal melimpah, tapi tidak sanggup juga aku melihat lalu lintas yang tidak tertib ini. Ya, biasalah, di tengah hari, waktunya mahasiswa banyak berpulangan. Tak jauh dari simpang ini, beribu mahasiswa dari pelosok daerah datang berjejal, mencari ijazah. Mereka itu seperti dalam keterpaksaan. Aku tahu dari mata mereka yang kupandang setiap hari. Seperti tak rela menjadi pendidik, wajarlah, gaji mereka murah.
Dengan sigap kubangunkan adikku dari tidur ayamnya, tidur para pengamen sambil menjaga hasil tetesan keringat dan suara yang tak merdu. Cepat-cepat kami turun ke jalan, unjuk muka di depan pintu setiap angkutan yang bosan menungu giliran untuk bebas dari kemacetan.
Di tengah hari begini, kami biasanya tidak main sendiri-sendiri. Kami duet, aku petik gitar, adikku bernyanyi sambil membawa kaleng amal. Dengan cara ini, para mahasiswa pasti menaruh belas kasih kepada kami. Mungkin karena mengingatkan mereka kepada adiknya di kampung. Aku belajar itu dari mahasiswa juga, mahasiswa yang pernah membelikan kami es. Ia juga yang mengajari aku menulis cerita ini. Ia pernah mengatakan bahwa ingatannya terpangil kepada adiknya di kampung halaman karena melihat aku dan adikku. Walaupun aku tahu, banyak juga yang tidak senang dengan pekerjaan kami. Bahkan tak jarang aku kena hardik.
Seperti mata elang, pandanganku langsung tertuju kepada sebuah angkutan ber-warna merah, tak jauh dari tempat kami berdiri. Itulah kalau pemandangan pun sudah banyak makan asam-garam, tak keliru lagi. Di dalam angkutan itu, penuh, sesak, para mahasiswa bersusun, kepanasan. Langsung saja kami hampiri, berharap mereka bermurah hati.
Di depan pintu kami berdua berdiri. Aku bermain gitar dan adikku bernyanyi. ‘Andai Kutahu’, lagu milik Ungu. Dari luar, sambil memainkan gitar, kucermati setiap penumpang. Berdesakan mereka duduk, laki-laki dan perempuan berjilbab, sebagian tidak. Dengan saksama kutujukan pandanganku ke setiap mereka. Semua berpeluh, di muka, lengan, bahkan baju mereka basah. Kupilih seorang perempuan, berjilbab, bajunya ketat, nampak bentuk tubuhnya berbalut kaus putih. Sambil berkipas dengan tangannya, kulihat garis hitam cukup lebar melingkar di dadanya, nampak jelas, hitam, dua bulatan di kiri dan kanan. Hah, malu aku kepada diri sendiri, tapi dia tidak. Aneh.
Belum habis lagu, adikku pun menyodorkan kaleng amalnya kepada penumpang yang gerah. Adikku ini, tak sabar dia mendengar bunyi kaleng dijatuhi logam. “Bang…”, “kak…”, sapanya sambil menudingkan kaleng. Aku pun rindu juga mendengar logam jatuh itu. Satu, dua, tiga orang sudah, belum juga terdengar. Semua menyodorkan tangan terbuka, persis seperti kampanye partai yang mengangkat lengan, menyodorkan lima jari. Sial.
Seperti tak sampai tangan adikku, aku pun sibuk dengan gitarku. Ditariknya kaleng coklat itu, dia sodorkan kepada penumpang belakang lewat jendela. Sama saja. Dari wajahnya, sepertinya mahasiswa ini jumud dengan pelajaran tadi pagi. Atau, hasil ujian mereka jelek, hingga mengeluarkan koin barang lima ratus pun berat. Tapi mungkinkah semua bernasib sama, mana mungkin mereka sama buruknya.
Sekali lagi lewat pintu, agak nekat, adikku pun masuk ke dalam angkot. Kali ini yang kelima, aku masih menunggu bunyi itu. Tidak juga. Dicobanya sekali lagi, yang keenam. Seorang lelaki, wajahnya agak suntuk, tertunduk, mungkin tidur. “Bang, bang”, panggil adikku. Dengan cepat lelaki itu bangun, disambutnya kaleng itu dengan kasar. Dirampas-nya, dan dilemparkan keluar, lewat pintu. Terdengar suara kaleng menumbuk aspal. Astaga, hatiku berdesir. Lalu hardik keras keluar dari mulutnya, “jelek suara kau!”. Kemudian adikku yang berdiri di depannya pun ditolak, sambil berucap, “sana kau!”.
Seperti kalengnya, adikku pun jatuh melewati pintu angkot. Seketika gitar berhenti kupetik. Darahku seperti turun melihat kejadian itu. Penumpang yang lain pun terkejut, hanya terkejut. Dengan sigap kubantu adikku berdiri, seperti telah kompak menjalani usaha ini berdua, kami pun mengucapkan sumpah serapah kepada penumpang itu. Biar suara habis, kukeluarkan semua bahasa binatang kepadanya. Dasar, tak bermoral. Jahanam. Lelaki itu lantas menghentakkan kakinya ke lantai mobil, giginya rapat, matanya melotot seperti mau keluar. Kami pun balik badan setelah sumpah serapah itu puas kami ucapkan. Langsung kami berlari, ke seberang jalan.
Dengan nafas tersengal-sengal dan memburu, aku dan adikku berhenti di depan toko yang berjajar sejurus jalan. Dengan gitar di tangan kanan, aku pun mengambil posisi duduk di teras toko yang tutup ini. Begitu juga adikku kemudian, di samping kananku. Sembari menenangkan diri, mengatur nafas, kuletakkan gitar di belakang. Kutataplah wajah adikku yang baru berumur sepuluh tahun ini, hanya terpaut tiga tahun dariku. Dia pun membalas dengan pandangan yang khas.
Tiada kata terucap, komunikasi batin lah yang sepertinya terjadi diantara dua anak jalanan ini. Kuraih bahu adikku, kusapu, kuremas dengan kuat seolah mengalirkan kekua-tan batin ke seluruh tubuhnya. Pandangan kami pun mengarah ke jalan, masih macet.
Agaknya letih mulai berkurang. Kuangkat tanganku, tepat ke kepalanya. Kusapu rambutnya yang lurus. Tak sadar ternyata air mata membanjiri pipiku, juga adikku, menye-sali nasib. Tidak kuhapus, biarlah air mata ini mengalir sesukanya. Aku pun tertunduk, tertegun, begitu juga adikku, mentafakuri diri. Buat apa sesal itu, aku pilih merenung, bukan menyesal, jauh, dalam, semakin dalam dengan pandangan kosong.
Dalam benakku, bayangan semua pengalaman lalu bermain dengan bebasnya. Ber-munculan pertanyaan tanpa batas, seluasnya, tidak ada yang membatasi, apalagi marah. Guru, juga tidak.
Dalam alam pikirku, terbayang semua kejadian hari ini. Semua berjalan dalam pikian, teratur, tidak seperti lalu lintas jalan. Bayangan itu pun berhenti pada kejadian biadab tadi, tak habis pikirku melihat mahasiswa berbuat begitu. Entah apa yang dipelajarinya belasan tahun di bangku sekolah, apakah gurunya juga seperti guruku ketika sekolah, sering absen karena kerja sampingan, cari tambahan. Makanya jadilah muridnya seperti tadi, mahasiswa biadab, tak punya hati.
Dalam renungan ketika aku menulis cerita ini beberapa tahun kemudian ketika aku beranjak dewasa, aku masih merasa heran. Inikah produk Sisdiknas? kata yang sering kudengar dari percakapan guru-guru, walau Aku tak mengerti jelas artinya. Seperti yang kudengar dari TV tiap malam, ketika kurebahkan tubuh di atas tikar plastik sambil memegang remote control. Disitulah kutanggalkan semua letih di badan, kuusir lelah yang menumpang bak parasit. Kulihatlah iklan seorang botak kepala di depan hingga ke tegah, kata ibuku dulu, itu menteri pendidikan. Peduli apa. Agaknya dia banyak berpikir, mungkin membuat aturan ini itu untuk sekolah. Sungguh, tak sebanding dengan botaknya, kasihan juga aku melihatnya, banyak berpikir tentang sekolah yang mahal, tak terjangkau. Hasilnya, belum tentu punya kualitas, apalagi punya hati yang peka. Seperti yang kulihat ini, mahasiswa dari kampus dekat perempatan, tampak dari tumpukan buku yang dipangku-nya. Bagaimana kalau dia jadi guru dan mengajar muridnya.
Dan aku, biarlah aku menunggu keadilan datang. Saat sekarang ini rela diri bermandi peluh dipanggang matahari, yang penting bebas, sebebasnya. Sekolah? Guru? Mana mau aku diajar oleh guru seperti itu. Bagiku ini cukup. Inilah sekolah jalanan. Dimana kupijakkan kaki, itulah sekolah. Setiap orang yang kujumpai itulah guru. Setiap perbuatan yang kuperbuat, itulah keadilan kuanggap. Bagiku, keadilan bisa dilakukan tanpa makan sekolahan.